Filosofi

Serial Kebangsaan (14) Doa yang Bertele-tele, Lalu Teler

Senin, 25 Juli 2022, 06:55 WIB
Dibaca 275
Serial Kebangsaan (14) Doa yang Bertele-tele, Lalu Teler
Berdoa (Foto: SMKIT Insan Toda)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Berkat rekan Gat Khaleb yang menayang-ulang (repost) tulisan pendeta Marx Mahin berjudul "Doa yang Bertele-tele" (dalam tulisan ini saya menambahkannya frasa "Lalu Teler" di akhir judul itu), sampai juga pada pandangan yang sama -setidaknya menurut pandangan saya sebagai muslim- bahwa doa itu memang tidak perlu dipanjatkan secara bertele-tele. Singkat saja.

Pak pendeta membuka tulisan dengan sebuah permintaan kepada istrinya, "Kopi, Ndu", cukup dua kata dan segeralah secangkir kopi hangat tersedia. "Aku tidak perlu kata-kata yang panjang, lebar, tinggi dan dalam, apalagi yang ilmiah, sastrawi dan teologis," katanya.

Kenapa demikian? Alasannya sederhana, hubungan dia dengan istrinya itu adalah hubungan orang dewasa yang saling mencinta dengan mesra. Karena itu sebagai suami ia tidak merasa ragu dan sungkan meminta dan tidak pernah curiga kalau kopi itu akan dicampur racun sianida. "Dalam hubungan yang demikian kami tidak perlu sungkan dan basa-basi," katanya.

Lebih lanjut Marx mengatakan, "Seringkali kita berdosa dan salah dalam berdoa. Kita meletakkan Tuhan sebagai sosok yang tidak tahu apa-apa, sehingga perlu kita dikte dan komando dengan kata-kata yang panjang lebar. Kita tidak menjadikan-Nya sebagai Sang Kekasih Jiwa yang tahu persis akan 'takaran gula, kopi dan air panas' sehingga kehidupan kita menjadi asyik untuk dijalani."

Marx mencontohkan ada beberapa pendeta yang doanya bertele-tele. Ada yang setengah berpuisi. Ada yang mengulang lagi khotbah yang telah disampaikan tapi dalam bentuk doa.
"Ada yang berdoa seperti benang kusut; berputar-putar kesana-kemari. Ada yang berdoa seperti petugas protokoler pemerintahan dengan suara yang dibuat-buat," ungkapnya.

Di Islam sendiri, agama yang saya peluk, banyak cara menyampaikan doa. Bukan hanya para ustad atau ulama yang punya cara memanjatkan doa, tetapi umat biasa pun punya gaya masing-masing. Ada yang menyampaikannya secara datar dan pelan, ada yang menyampaikan doa dengan penekanan pada kata-kata tertentu, ada yang merintih-rintih sedih, bahkan sampai ada yang menangis tersedu-sedu.

Soal menangis, apakah ia memang bersedih, terharu atau memang ada sesuatu yang membuatnya harus menitikkan air mata dengan suara bergetar, harus ditanyakan pada mereka yang berdoa dengan cara ekspresif semacam itu.

Jika Anda bertanya bagaimana saya berdoa menurut keyakinan saya, saya tidak pernah merintih apalagi menangis tersedu-sedu. Agama bagi saya harus menguatkan dan memberi kekuatan dan saya yakin Allah akan memahami doa yang disampaikan dengan cara apapun.

Jadi saya menyusun kalimat doa yang efektif dengan permintaan keselamatan, kemudahan, rezeki yang halal, kesehatan, yang sesungguhnya semua itu sudah tercakup dalam sholat lima waktu. Saya menyampaikan semua itu dengan kebahagiaan, dengan dua tangan menengadah. Bagi saya doa lebih merupakan harapan, bukan permintaan.

Karena saya berdoa dengan gaya "stoik", saya lebih sering menyampaikan harapan daripada permintaan. Dengan menyampaikan harapan, semua masalah internal yang menjadi kendali diri dan ruang lingkup tanggung jawab saya pribadi, bisa saya selesaikan. Sementara, dimensi eksternal yang berada di luar kendali diri saya, biarkan terjadi atas kehendak-Nya. Di situlah saya berserah diri. Ikhlas.

Marx kemudian menganalogikan doa itu seperti payung, di mana payung (sebagai alat) memang tidak dapat menghentikan hujan, tetapi payung (sebagai ikhtiar) membuat kita mampu berdiri dan berjalan menerobos hujan hingga tiba di tujuan.

"Doa memang tidak dapat membuat kita terluput dari berbagai masalah dan persoalan, tetapi doa dapat membuat kita tetap berdiri dan berjalan di tengah-tengah berbagai masalah dan persoalan," pungkasnya.

***