Ekonomi

Pesona Pusat Cincau Indonesia Di Tepian Sungai Citarum

Minggu, 3 Juli 2022, 21:11 WIB
Dibaca 559
Pesona Pusat Cincau Indonesia Di Tepian Sungai Citarum
Peson Cincau Citarum

Dodi Mawardi

Penulis senior

 

Setiap kali lewat jalan ini, saya selalu terpesona. Bertanya-tanya pula.

Siapa nih yang punya gagasan? Brilian.

 

Sepanjang sekitar 100 meter, di kanan kiri jalan raya Cianjur – Bandung, persis sebelum jembatan Sungai Citarum di perbatasan Cianjur dan Bandung Barat. Berderet-deret pedagang cincau (sebagian orang Sunda menyebutnya Cingcau atau tahulu). Banyak jumlahnya. Dugaan saya lebih dari 100 pedagang. Dan… mayoritas pedagang adalah kaum hawa. Ibu-ibu dan remaja. Mojang Priangan.

 

Setiap pedagang cincau menyediakan tempat duduk. Dua lembar tikar di atas tempat yang sedikit lebih tinggi dibanding badan jalan. Cukup nyaman disinggahi. Dan teduh karena beratap terpal. Tidak panas karena banyak pohon yang memayungi di sekitar.

 

Saya penggemar minuman ringan es. Mulai yang tradisional sampai yang modern. Paling saya gemari: es cendol. Apalagi kalau sudah ketemu Es Cendol Elisabeth Bandung, plus ditambahi sebiji durian. Saya bisa lupa daratan dan lautan. Karena kesukaan itu pula, saya sempat menjadi pedagang es cendol ala Elisabeth (kw-nya Elisabeth karena hanya ala saja). Dagangan saya dilanjutkan oleh adik dan paman. Laris manis pada masanya.

 

Yang kedua, es cincau. Duh, seperti ketika melihat es cendol, tenggorokan ini seperti memanggil-manggil. Begitu cincau melewatinya, ia berteriak kegirangan. Segar sekali. Apalagi kata para pakar per-cincau-an, es yang satu ini punya khasiat keren: menurunkan panas dingin dan tekanan darah tinggi.  Kelak, kalau sudah memasuki masa kompetesi seperti pada 2024 bolehlah para kontestan menyeruput es cincau terlebih dulu. Biar tidak panas dingin dan terhindar dari tekanan darah meninggi.

 

Konon, cincau ini berasal dari Tiongkok. Patut diduga karena dari namanya saja berbau Tiongkok. Cincau, dua suku kata: cin dan cau. Mengingatkan saya pada kata: yin dan yang. Orang Tiongkok menyebut minuman ini: pinyin xiancao. Pinyin-nya hilang, tinggallah xiancao alias cincau yang dikenal hingga sekarang di Indonesia.

 

Saya paling gemar cincau hijau (jenis tumbuhan Cylea Barbata Miers) karena bentuk gel atau jelly-nya lebih sedap disantap. Nyes adem sekali. Rasanya menjadi makin istimewa karena berkolaborasi dengan gula aren, sedikit santan, dan campuran es yang dicacah. Segar.

 

Cincau yang ada di perbatasan Cianjur – Bandung Barat ini, mayoritas cincau hijau. Lebih sedap dinikmati di tempat, sambil menghirup udara segar di tepian sungai Citarum. Tentu saja akan menjadi lebih syahdu lagi jika diiringi oleh lagu nostalgia semacam “Semalam Di Cianjur” yang dimandangkan dengan sempurna oleh suara bulat Alfian.

 

“'Kan kuingat di dalam hatiku

Betapa indah semalam di Cianjur

Janji kasih yang t'lah kau ucapkan

Penuh kenangan yang takkan terlupakan…”

 

Saya menyebut lokasi para pedagang di sana sebagai Pusat Cincau Indonesia. Saya belum menemukan tempat lain di mana pun dengan jumlah pedagang cincau sebanyak itu. Saya beruntung, pada edisi mampir yang kesekian kali pada 3 Juli 2022, berjumpa dengan sang koordinator pedagang sekaligus pengurus Paguyuban Pedagang Cincau di sana, Kang Dede.

“Jumlah pedagang di sini 155 orang. Sebagian besar memang ibu rumah tangga dan remaja putri. Semuanya warga Desa Haurwangi kecamatan Bojong Picung Cianjur. Mereka warga satu RW…” kata pemuda usia 30-an ini, yang sekaligus bertugas menjaga ketertiban di lokasi.

 

Jujur saya salut dengan kiprahnya. Saya lebih sering berwacana dan beride. Dia sudah langsung beraksi memulai pusat cincau ini sejak 2011 silam. “Saya yang mengkoordinir. Daripada warga menganggur lebih baik memanfaatkan waktu dengan berjualan cincau. Apalagi di sini banyak tumbuhan cincau,” lanjutnya sambil mengawasi situasi.

 

“Apakah ada perhatian dari pemerintah?” saya bertanya dengan rasa ingin tahu ala wartawan.

“Sejak awal, ini inisiatif kami sendiri. Bahkan, pada era bupati Cianjur sebelumnya, sempat ribut dulu. Kami dilarang dan diusir. Tapi sekarang, walaupun tidak ada bantuan dari pemerintah, paling tidak kami bisa aman berjualan di sini. Alhamdulillah…” jawabnya penuh syukur.

 

Mendengar jawabannya saya sedikit termenung.

“Bukankah seharusnya pemerintah bersyukur ya ada inisiatif seperti ini? Seharusnya didukung. Bukan dilarang. Dibantu dan ditata. Malah kang Dede ini layak dapat penghargaan. Meski mungkin dia tidak mengharapkan hal itu.” Panjang juga permenungan saya…

 

“Pernah pak Ridwan Kamil lewat, berhenti, turun, beli lalu tanya-tanya…” sambungnya.

“Kang Dedi Mulyadi juga pernah datang dan meminta saya membuka di Purwakarta,” pungkasnya.

 

Jujurly (gaya bahasa anak Jaksel nih), sejak awal saya memang sudah terpesona dengan deretan pedagang cincau di tepian Sungai Citarum ini. Idenya keren. Brilian. Tidak mudah memberdayakan ratusan orang untuk berdagang satu produk seperti cincau. Tak mudah pula meyakinkan mereka untuk mau berjualan di sana. Tapi, Dede dan kawan-kawannya sukses memberdayakan warga se-RW membuka lapak usaha yang sudah berjalan selama lebih dari 11 tahun. Setiap hari, rata-rata mereka mampu menjual 20-40 gelas cincau dengan harga pergelas Rp5.000,-. Kalau pada hari raya atau hari libur, jumlah gelas terjual bisa berlipat.  

 

Orang-orang seperti Dede dan warga se-RW di Haurwangi Cianjur inilah yang patut didukung dan dibina sehingga mampu berdiri di atas kaki sendiri, sekaligus memberi inspirasi buat banyak orang.

 

“Satu perbuatan baik lebih berdampak dibanding 1.000 kata-kata biasa.”