Budaya

Papan Catur Kekuasaan

Selasa, 20 Juni 2023, 18:27 WIB
Dibaca 561
Papan Catur Kekuasaan
Autobiography (Makbul Mubarak, 2022)

Autobiography adalah film panjang debut Makbul Mubarak, yang sebelumnya dikenal sebagai kritikus film. Film ini tayang perdana secara internasional di Festival Film Venesia pada 2 September 2022 dan sesudahnya diputar di sejumlah festival film bergengsi dunia seperti Toronto, Busan, dan Stockholm serta meraih sejumlah penghargaan. Jaringan bioskop Indonesia memutarnya sejak 19 Januari 2023 dan selama masa edar sejumlah 33.407 orang menontonnya. Mulai 13 April 2023, Autobiography mangkal di Amazon Prime Video. Apakah yang ditawarkan film ini?

 

Catatan: Pembahasan ini, mau tak mau, membeberkan spoilers.

 

Saat kredit pembuka turun, kita mendengar suara komentator, yang ternyata membahas pertandingan catur Vishy Anand, grandmaster dari India, lima kali juara dunia. Tokoh kita, Rakib, menontonnya, tanpa baju, sambil makan kacang, kulit-kulit kacang berserakan di meja. Dari luar terdengar suara klakson mobil. Rakib bergegas ke depan, mengenakan kaosnya, menyambut orang yang datang. Tidak langsung diperlihatkan sosoknya. Ia mengenali Rakib sebagai anak bungsu Amir. Rakib menanggapinya dengan segan dan sopan. Kiranya dia adalah majikan Rakib.

 

Melalui sudut pandang Rakiblah penonton pertama kali melihat sang majikan: Purnawinata, purnawirawan jenderal yang tengah mencalonkan diri dalam pemilihan bupati setempat. Bersama Rakib kita melihat Purna di depan mobil dan Rakib juga melihat pantulan wajahnya sendiri di spion. Wajah mereka berdua terlihat sama-sama menghadap ke penonton, tetapi sebenarnya mereka berhadap-hadapan. Seperti dua pemain catur. Sebuah pertandingan bakal segera dimulai.

 

Keseluruhan film—mulai kredit pembuka sampai kredit penutup yang berupa tulisan putih di atas layar hitam—adalah pertandingan catur antara Rakib dan Purna. Bahkan sudah terbaca sejak posternya: mosaik ala papan catur (yang juga jadi salah satu hiasan dinding rumah Purna) berisi wajah mereka berdua dalam posisi menyatu tapi saling membelakangi: mengisyaratkan film ini tidak menampilkan dua lawan tanding yang seimbang, tetapi menyoroti bagaimana Rakib berusaha menolak mengikuti arah pandang (ideologi?) Purna. Berhasilkah dia, seperti Vishy Anand, menaklukkan lawannya?

 

Sebagaimana buah catur memiliki tandingannya masing-masing, film ini juga disusun dalam struktur adegan atau motif kembar.

 

Dua Bapak, Dua Anak. Rakib punya dua bapak. Bapak kandungnya, Amir, masuk penjara karena merusak buldozer kontraktor yang menerjang lahannya. Rakib jadi pembantu Purna, purnawirawan jenderal calon bupati, tinggal bareng di rumah besar banyak kamar, tapi suram kurang penerangan. Pelan-pelan, terpesona oleh kharisma dan perlakuan sang jenderal—memuji pekerjaannya memasang baliho, membuatnya diajak makan bersama VIP, meminjam charger-nya, menyuruhnya mengenakan baju tentara, dan, terutama, menyelamatkannya dari amukan massa—ia memandang Purna sebagai sosok bapak.

 

Di sisi lain, Purnawinata punya dua anak. Sebelum mengasuh Rakib, ia menolong Soewito, yang kini telah sukses jadi perwira polisi, tetapi mengecewakan Purna karena menyepelekan kasus perusakan baliho kampanyenya.

 

Dalam pertandingan catur ini, Amir tak lain pelatih tidak resmi Rakib sejak kecil. Rakib mengaku belum pernah menang melawan bapaknya. “Itu karena kamu panik,” kata Purna.

 

Soewito seorang pengamat. Dia muncul tiga kali. Dialah yang mengamati bahwa Rakib cocok kalau jadi anak atau cucu Purna. Dia mengamati, berdiri agak jauh di belakang, ketika Purna bertakziah. Dia tidak berbicara, tetapi tatapannya menyiratkan: “Saya tahu apa yang Bapak lakukan tadi malam.” Di bagian akhir, dalam adegan bareng Rakib, tampaknya ia siap memainkan peran baru.

 

Menariknya, Amir juga muncul tiga kali: dua kali berbicara kepada Rakib dan satu kali ngobrol dengan Purna. Peran Amir akan dibahas lebih jauh dalam bagian Dua Nasihat.

 

Dua Maaf. Rakib nyaris dikeroyok massa ketika memundurkan mobil Purna dan menabrak pagar masjid. Purna turun dari mobil. Mengenali tokoh penting ini, massa tak berkutik. Purna menyuruh Rakib meminta maaf dan masalah pun beres. “Tenang saja. Kamu bisa merasakan tadi betapa magisnya kata ‘maaf’. Ia bisa mengubah marah menjadi hadiah. Ajaib, kan?” kata Purna, salah satu dari beberapa kesempatan ia menenangkan Rakib.

 

Tidaklah mengherankan kalau pengalaman tersebut sangat berkesan bagi Rakib. Ketika terjadi masalah perusakan baliho kampanye Purna, Rakib menawarkan diri untuk menemukan pelakunya. Kepada Agus, si pelaku, ia menyuruhnya meminta maaf kepada Purna. Tampaknya ia mengira Purna akan menyambut permintaan maaf Agus dengan ramah—sebagaimana ia dimaafkan dalam insiden pagar masjid tadi.

 

Di sisi lain, pendekatannya kepada Agus menunjukkan betapa ia seorang murid yang baik: ia meniru cara-cara Purna memperlakukan dirinya, antara lain melalui sebuah adegan yang, meminjam pembacaan Aurelia Gracia dalam kritiknya di Magdalene, homoerotik yang homofobik. Ironis, Rakib ingin Agus diselamatkan, tetapi sekaligus melecehkan pemuda itu.

 

Nyatanya, Rakib terlalu naif. Ketika ia melakukan kesalahan, dan melibatkan Purna yang ada di mobil, sang jenderal memaksakan permintaan maaf sebagai solusi. Namun, ketika ada pihak lain bersalah terhadapnya, apakah sang jenderal juga dengan senang hati “mengubah maaf menjadi hadiah”?

 

Dua Pintu. Rakib mengira ia akan ikut dilibatkan dalam menyelesaikan masalah dengan Agus. Ternyata Purna menyuruhkan meninggalkan ruangan. Rakib menutup pintu dengan pelan-pelan, mungkin berharap Purna berubah pikiran, membiarkannya tetap tinggal, nyatanya Purna menghempaskan pintu itu keras-keras dari dalam. Purna menarik garis batas: “Di tahap ini, kamu tidak bisa turut campur.”

 

Rakib tersadar: permainan caturnya masih jauh di bawah level Purna. Ia pun memilih bersimpati pada Agus dengan mengunjungi makamnya. Perlakuan Purna terhadapnya selama ini tak lain langkah-langkah strategis seorang pecatur ulung untuk menaklukkan lawannya. Seandainya ia melakukan kesalahan fatal di hadapan Purna, tak ayal nasibnya bakal serupa dengan Agus. Ia membikin perhitungan untuk melarikan diri dari cengkeram Purna, tetapi Purna menggagalkannya dengan unjuk kuasa berlebihan: mengerahkan semobil tentara dari Kodim.

 

Sampailah kita pada adegan brutal yang rasanya baru kali ini muncul dalam film Indonesia: Permandian Rakib. Awalnya Rakib terlihat dari belakang. Entah kenapa pula ia membiarkan pintu kamar mandi sedikit terbuka. Adakah ia tengah membersihkan noda-noda dosa keterlibatannya dalam kasus Purna? Purna muncul. Dengan gugup Rakib hendak menutup pintu, tetapi Purna memaksanya membuka pintu lebih lebar lagi dan menyuruhnya terus mandi. Rakib tertunduk takluk. Tak lama kemudian, Purna menyusul masuk, dan mengguyur Rakib dengan gayung merah. Permandian (baca: baptis) adalah simbol pembasuhan dosa serta pengakuan dan pendakuan: “Engkau sekarang adalah milikku!” (bandingkan dengan lagu Kaulah Segalanya yang mereka nyanyikan di karaoke: dalam konteks relasi kuasa di antara keduanya, alih-alih romantik, lagu itu jadi problematik dan bikin bergidik).

 

Autobiography mengingatkan pada Titian Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, 1982), yang memotret pertarungan antara otoritas keagamaan dan preman kampung. Di sini Makbul Mubarak memaparkan bagaimana seorang mantan tentara berusaha membesarkan dan mempermandikan seorang preman kampung. Menariknya, Purnawinata dan Harun, si gembong preman, tampaknya memiliki orientasi seksual yang sama. Seksualitas Harun ditampilkan lewat adegan singkat tapi lumayan gamblang, sedangkan film ini menyiratkannya lewat sejumlah adegan homoerotik.

 

Di Titian Serambut Dibelah Tujuh, kabut senantiasa menyelubungi kampung. Sebagian besar adegan Autobiography berlangsung di rumah Purna yang berpenerangan temaram, sesekali menyemburat aksen merah: kap lampu kamar, cahaya luar menerobos korden merah, cahaya lampu, jaket dan baju Rakib, gayung merah. Simbol kemarahan yang dipendam dan kekerasan yang disembunyikan di dalamnya.

 

Dalam adegan-adegan di luar ruang, cuaca terlihat selalu mendung: menandakan bahwa kedatangan penguasa nyatanya tidak membawa kecerahan harapan, melainkan menyelubungi warga dengan kemurungan ancaman. Warga yang membangkang disingkirkan. Sebuah dunia kecil yang tidak lulus Bechdel test: bahkan ibu Agus—yang mestinya paling berduka, terlebih lagi seandainya dia tahu bahwa “pemberontakan”-nyalah yang memicu musibah atas anaknya—malah tidak diberi kesempatan untuk sekadar menampakkan wajahnya.

 

Dua Nasihat. Hubungan Rakib dengan Amir ditandai oleh dua ucapan sang bapak, dan film ini memaparkan bagaimana Rakib menerjemahkan kedua ucapan bapak kandungnya itu.

 

Dalam pertemuan pertama, Amir mengingatkan Rakib, “Kib, jangan gampang percaya.” Rakib melengos, meninggalkan bapaknya. Jangan-jangan ia malah menyalahkan bapaknya: kalau saja Amir mau minta tolong kepada Purna, tak perlu ia masuk penjara.

 

Dalam pertemuan kedua, tepat setelah adegan permandian brutal tadi, Amir menyimak cerita Rakib. Tidak jelas apa yang diceritakan. Wajah Rakib tidak diperlihatkan. Kamera merekam ekspresi wajah Amir: antara prihatin dan maklum, berupaya mencerna sesuatu yang pelik, lalu, sebagai orangtua berpengalaman, memberi wejangan singkat-padat pada si anak. “Di rumah aja, Kib. Dinikmati aja. Yang penting kan selamet, sehat,” katanya. Mengingat riwayat keluarganya yang turun-temurun melayani keluarga Purna, mestinya ia bisa mengira-ngira perlakuan Purna terhadap Rakib. Penonton dibiarkan menerka-nerka cerita apa yang disampaikan oleh Rakib—atau tidak disampaikan, tetapi toh terbaca oleh Amir.

 

Kamera beralih merekam ekspresi Rakib. Kali ini ia tidak melengos, tetapi merenung lama. Berganti adegan, kita melihat Rakib termenung sendiri dengan mata berkaca-kaca, lalu air mata meleleh pelan di pipinya.

 

Sudah banyak pujian atas penampilan Kevin Ardilova sebagai Rakib dan Arswendy Bening Swara sebagai Purnawinata, dan keduanya memang bermain solid. Namun, saya ingin menggarisbawahi peran Rukman Rosadi. Dalam penampilan singkat, Rukman amat memikat—ia mewakili mata dan isi hati penonton dalam menyaksikan pertandingan tidak imbang antara Rakib dan Purna.

 

Dua Perburuan, Dua Pemakaman. Berlatih menembak merupakan salah satu cara Purna membentuk dan mengarahkan Rakib. Nyatanya Rakib murid yang terampil dan cepat pintar sehingga bisa segera jadi teman berburu burung. Namun, ketika Rakib muak terhadap perlakuan Purna, ia memanfaatkan kecakapan yang diajarkan Purna tersebut untuk mencelakainya. Sebagaimana Purna beroperasi di ruang-ruang remang, Rakib memburunya dalam kegelapan malam di ladang jagung. Senjata makan tuan.

 

Selain mengakhiri pertandingan, Rakib membalaskan ketidakadilan atas Agus dan keluarganya. Di pemakaman Agus, Purna diminta memberikan kata sambutan dan, secara licin, ia mengaburkan persoalan dan mengalihkan perhatian orang kepada dirinya dengan menceritakan pengalamannya di Timor Timur. Di pemakaman Purna, Rakiblah yang diminta memberikan kata sambutan, tetapi kita tidak diberi kesempatan menyimak ungkapan isi hatinya.

 

Dua Kopi. Pertandingan catur antara Rakib dan Purna diawali dengan kopi dan diakhiri dengan kopi.

 

Pada awalnya, Rakib langsung salah langkah: membikinkan kopi untuk Purna tanpa dipesan. “Siapa bilang saya minum kopi?” kata Purna, lalu memerintahkan Rakib untuk duduk dan meminum kopi itu. Subteks: “Aku yang mengatur di sini.”

 

Sepanjang film, kita menyaksikan bagaimana Rakib pelan-pelan terpesona oleh kharisma Purna, seperti kerbau dicucuk hidungnya melakukan arahan sang majikan, sampai kasus tragis Agus menyadarkannya. Sejak itu ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman sang jenderal, berklimaks pada penembakan di ladang jagung.

 

Sepulang dari ladang jagung, Rakib duduk di ruang besar dengan hiasan dinding mirip papan catur. Apakah ia sudah memenangkan pertandingan?

 

Muncul Soewito, memimpin rombongan yang membawa pulang jenazah Purna, mengucapkan turut berdukacita kepada Rakib. Esoknya, pemakaman secara militer dipersiapkan, tetapi pihak keluarga terlambat datang, dan, melalui Soewito, meminta Rakib menyampaikan kata sambutan mewakili keluarga karena “kamu itu kan sudah seperti anaknya almarhum sendiri”.

 

Soewito lalu berkata, “Kalau perlu apa-apa bilang aja.”

 

“Saya mau kopi,” jawab Rakib.

 

Rakib menempatkan dirinya sebagai sosok yang berlawanan dari Purna yang tak doyan kopi. Simbol kemenangan? Tunggu dulu. Tidakkah ia malah mesti curiga mendapati kasusnya ditutup secara gampang dengan mempersalahkan pihak lain, tanpa tuntutan lebih jauh dari Kodim atau pihak keluarga? Strategi apakah yang sedang dijalankan oleh Soewito? Layaknya lepas dari mulut tentara masuk ke mulut polisi, adakah ia kembali disedot ke dalam lingkaran setan kultur kekerasan?

 

Film ditutup dengan tampang gamang Rakib—seakan ia tengah memandang papan catur baru yang mesti dimainkannya. Kamu sudah belajar baik-baik dari pertandingan terdahulu, Kib?

 

Layar kembali gelap. Kredit penutup turun tertulis putih di atas layar hitam, ditingkahi suara mengentak lantang Fajar Merah:

 

Kita pun sama termangu

Menghitung sisa

Dan bertanya, tanya, tanya… ***