Budaya

Resensi Buku: Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang

Jumat, 15 Januari 2021, 13:26 WIB
Dibaca 1.650
Resensi Buku: Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang
Dayak Ludayeh Idi Lun Bawang

Judul: Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang – Budaya Serumpun di Dataran Tinggi Borneo

Penulis: Yansen TP dan Ricky Yakub Ganang

Tahun Terbit: 2018

Penerbit: Lembaga Literasi Dayak

Tebal: vi + 568

ISBN: 978-602-6381-83-5

Buku “Dayak Lundayeh Ini Lun Bawang – Budaya Serumpun di Dataran Tinggi Borneo” ini sangat penting dan harus dikoleksi. Sebab buku ini memuat kisah perjalanan suku Dayak Lundayeh, tata hidup sehari-hari dan karya-karya budaya lisan. Upaya kedua penulisnya, yaitu Dr. Yansen TP, M.Si dan Ricky Yakub Ganang untuk mengumpulkan bahan-bahan yang terdapat dalam buku ini patut dihargai. Pengumpulan informasi semacam ini tentu tidak mudah. Diperlukan ketekunan yang luar biasa untuk mengumpulkan dan menuliskan budaya-budaya lisan ke dalam tulisan. Buku ini bisa menjadi sumber berharga dalam penulisan sejarah suku Dayak Lundayeh ke depan.

Sebagai sebuah suku yang menempati wilayah dataran tinggi Kalimantan, dan sering disebut sebagai wilayah hearth of Borneo, suku Dayak Lundayeh mempunyai sejarah panjang di wilayah ini. Suku Dayak Lundayeh tersebar di wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam. Pemisahan wilayah ini bukanlah kehendak dari suku Lundayeh, melainkan akibat dari era kolonialisme. Meski terpisah dalam tiga negara berbeda, budaya mereka tetap bertahan. Rasa sebagai satu suku tetap terjaga.

Budaya

Interaksinya dengan alam yang sudah berlangsung beratus tahun membuat budaya orang Lundayeh sangat akrab dengan alam lingkungannya. Dalam hal bertani misalnya, orang Lundayeh memiliki kearifan yang tak merusak alam. Sistem tebang bakar yang dilakukan beratus tahun terbukti tidak merusak alam. Mereka menggilir pembukaan ladang dengan seksama. Mereka juga memiliki cara bakar yang membuat apinya tidak menimbulkan kebakaran kecuali di wilayah yang dikehendaki. Tuduhan bahwa sistem tebas bakar adalah praktik pertanian yang merusak hutan adalah sebuah tuduhan keji. Sebab sampai dengan era industrialisasi hutan dimulai, kerusakan hutan Kalimantan tak pernah terjadi. Harus jujur diakui bahwa tuduhan bahwa sistem pertanian tebas bakar merusak hutan adalah upaya pengalihan. Sesungguhnya industrialisasi hutanlah yang merusak hutan.

Seperti suku-suku Dayak lain di Kalimantan, orang Lundayeh juga hidup di rumah panjang. Kehidupan di rumah panjang ini diyakini adalah sistem komunal yang cocok dengan kehidupan di hutan yang lebat dengan populasi manusia yang masih sangat terbatas. Orang Lundayeh mengembangkan aturan-aturan sosial demi ketertiban hidup bersama di rumah panjang.

Dalam buku ini juga disinggung tentang tata cara pernikahan orang Dayak Lundayeh (hal. 109). Tata cara yang rumit dan mahal tersebut disebabkan keyakinan orang Lundayeh bahwa pernikahan bukan hanya bersatunya antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Pernikahan berarti bersatunya keluarga besar kedua mempelai.

Baca Juga: The History of Dayak (3)

Seperti halnya suku-suku Dayak lainnya, Suku Lundayeh dahulu kala juga mempunyai budaya mengayau. Budaya mengayau adalah budaya memenggal kepala musuh (hal 114). Budaya mengayau dilakukan dengan sangat sportif, yaitu melakukan tantangan terlebih dahulu kepada kampung yang akan diserang. Budaya ngayau ini sirna ketika Agama Kristen mulai masuk ke kehidupan orang Dayak (hal 117).

Dalam buku ini juga dijelaskan mengapa binatang buaya menjadi simbol dari suku Lundayeh (hal. 157). Yansen TP memberikan tafsir baru tentang mengapa orang Lundayeh menghargai buaya dalam budaya mereka. Menurut Yansen, buaya memiliki sikap yang sigap dan karakter pemberani; buaya bisa hidup di dua dunia yang menunjukkan fleksibilitas orang Lundayeh; buaya menggunakan semua bagian dari tubuhnya untuk menghadapi musuh yang menggambarkan kemampuan orang Lundayeh dalam menggunakan segala potensi untuk bisa hidup sukses; dan buaya memiliki sikap yang tenang.  Namun demikian, dari kisah masa lalu, buaya adalah binatang yang dijadikan simbol keberanian dan hakim bagi orang Lundayeh. Orang Lundayeh mempunyai simbol Ulun Buaya (Ulong Buaye), yaitu tiang kayu yang didirikan di dekat patung buaya yang dibuat dari tanah. Ulun Buaya dipakai sebagai tempat ritual kepahlawanan dan sumpah.

Kehebatan lain dari buku “Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang” terletak di bagian kedua buku ini (Bab VI; hal. 164 -567). Bagian kedua buku ini ditulis oleh Ricky Yakub Ganang. Ganang mengumpulkan dan menuliskan cerita rakyat, tembang, dongeng, nyanyian dan puisi-puisi. Sayang sekali hampir semua cerita rakyat, tembang dan puisi yang dikumpulkannya tidak ada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris, sehingga bisa dimengerti oleh pembaca yang tidak paham Bahasa Lundayeh. Tiadanya terjemahan ini diakui oleh Ganang karena kesulitan beliau menterjemahkan Bahasa Lundayeh kuno tersebut.

Cerita Rakyat Tentang Masa Lalu dan Penyebaran

Kisah masa lalu yang tersimpan dalam cerita rakyat orang Lundayeh membuktikan bahwa mereka adalah suku yang sudah terorganisir dan mempunyai sistem sosial yang maju. Ada tiga mitos (cerita rakyat) yang menggambarkan asal-usul orang Lundayeh. Ketiga mitos tersebut adalah mitos Pun Taror Aco Rang Dongo, mitos Putri Raja Merindukan Bulan dan mitos Buah Ulin. Kisah Rang Dongo yang mendapat istri dari telur yang didapatnya dari bukit api sangat mirip dengan cerita asal-usul orang Bulungan, yaitu Putri Telur (Terur Aco). Cerita tentang putri yang keluar dari telur ini pasti menggambarkan sebuah peristiwa yang sangat penting. Penelitian lebih mendalam diperlukan untuk mengungkap makna dari putri yang berasal dari telur ini.

Kisah Putri Raja Merindukan Bulan menceritakan bagaimana orang Lundayeh tersebar di banyak tempat. Upaya untuk memenuhi keinginan putri raja (racha) yang ingin mendapatkan bulan adalah dengan membangun Menara yang sangat tinggi. Ketika semua warga kerajaan tersebut telah memanjat menara, menara tersebut rubuh, sehingga warga kerajaan tersebar ke banyak tempat. Inipun perlu dicari hubungannya dengan penelitian ilmiah tentang penyebaran masyarakat Lundayeh. Kisah Buah Ulin juga menyajikan penyebaran masyarakat Lundayeh.

Baca Juga: Menulis Cerita di Kepala

Di Bab III, penulis memberikan informasi tentang penyebaran rumpun Dayak Lundayeh Idi Lun Bawang. Di bab ini dijelaskan bahwa orang Brunai Darussalam adalah bagian dari rumpun Dayak Lundayeh Ini Lun Bawang (hal. 81).  Dalam menjelaskan suku Lundayeh di Brunai, penulis menggunakan cerita rakyat, yaitu cerita tentang tokoh Yupai Semaring.

Ternyata orang Brunai juga memiliki kisah Yupai Semaring (hal. 87). Sedangkan penyebaran masa kini ditampilkan di Bab V. Penyebaran masa kini lebih didorong oleh keinginan orang Lundayeh mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan karena tuntutan pekerjaan.

Bertemu Kekristenan dan Nilai-nilai yang Didapat dari Kekristenan

Saat ini orang Lundayeh telah memeluk Agama Kristen. Agama Kristen dikenalkan oleh penginjil bernama Rev. David C Clench, Rev. J.W Brill dan Rev. G.e. Fisk pada tahun 1929. Perjumpaan Lundayeh dengan Kekristenan dianggap sebagai sebuah anugerah. Perjumpaan ini membawa transformasi budaya. Sebab kekristenan membawa pencerahan kepada orang Lundayeh. Melalui perjumpaan dengan kekristenan inilah orang Lundayeh mengenal pendidikan modern. Seiring dengan banyaknya anak-anak Lundayeh yang menempuh pendidikan, kemampuan berorganisasi orang Lundayeh juga semakin baik. Anak-anak yang berpendidikan inilah yang mula-mula menerapkan organisasi modern dalam kehidupan bermasyarakat orang Lundayeh.

Perjumpaan dengan kekristenan ini juga membuat kepercayaan orang Lundayeh terhadap kepercayaan animism hilang dan berubah menjadi kepercayaan kepada Tuhan dalam Yesus Kristus. Kekristenan juga membuat orang Lundayeh lebih meyakini kebenaran ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Kumpulan Cerpen yang Jarang Laku

Pendidikan dan organisasi ini telah membawa orang Lundayeh mampu bersaing dan bersanding dengan suku-suku lain dalam pergaulan global.

Pendidikan yang masif ini telah membuat orang Lundayeh memiliki karier diberbagai bidang. Kebanyakan orang Lundayeh berkiprah sebagai pendeta dan pekabar Injil, guru dan pengajar, POLRI, TNI dan wiraswastawan. Karier di berbagai bidang ini menuntut orang Lundayeh untuk pindah ke berbagai tempat dan membangun komunitas baru di tempatnya yang baru.

Pendidikan dan organisasi telah membuat orang Lundayeh mampu berperan dalam pemerintahan, setidaknya di wilayah sendiri, yaitu di Krayan dan Kabupaten Malinau. Orang-orang Lundayeh banyak yang menjadi pejabat pemerintahan di dua wilayah ini dan di berbagai wilayah di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur.

Namun harus diakui bahwa kekristenan yang masuk sangat cepat ini telah membuat orang Lundayeh meninggalkan seluruh budaya lamanya (hal. 124). Padahal tidak semua budaya orang Lundayeh bertentangan dengan kekristenan. Upaya untuk mengembalikan budaya Lundayeh dilakukan oleh Yansen TP saat menjabat sebagai Camat di Kecamatan Mentarang. Upaya ini akhirnya berhasil untuk membawa kembali budaya-budaya yang menjadi identitas Lundayeh.

Seperti telah saya singgung di atas, buku ini mempunyai peran yang sangat penting dalam dokumentasi tentang Suku Dayak Lundayeh. Buku ini bisa menjadi rujukan dalam penelitian dan penulisan tentang sejarah suku Lundayeh dan perannya dalam kehidupan global.

***