Sastra

Kumpulan Cerpen yang Jarang Laku

Kamis, 14 Januari 2021, 12:48 WIB
Dibaca 1.311
Kumpulan Cerpen yang Jarang Laku
kc saya Raut Wajah Senja: tujuannya kepuasan batin, bukan finansial.

Kumpulan cerpen (kumcer) yang dibukukan, praktik literasi sejak zaman kuda menggigit besi. Namun, selama itu pula, perilakunya sama saja: tak pernah laku sebagai komoditas. Ada apa?

“Jarang laku” tentu relatif. Hal itu tentu terkait kategori perilaku penjualan buku oleh penerbit, yang menggolongkan tiga: fast moving, moderate, dan slow moving.

Kategori pertama, laris manis dalam setahun 3.000 eksemplar. Kategori kedua, mencapai titik impas yakni modal (X) berbanding uang masuk (Y) dalam kalkulasi hitungan suku bunga bank setara terjual 1.500 eksemplar/tahun. Kategori ketiga, terjual di bawah 1.500 eksemplar/tahun.
Kumcer tak pernah naik kelas selamanya. Tetap ada di zona tidak-aman, tak pernah terjual di atas 1.500 eksemplar/tahun.

Cerpen yang dibukukan, meski tebalnya ratusan halaman, tetap cerpen. Tidak pernah disebut novel. Sebab ceritanya lepas-lepas, meski dipilah pertema. Kisahnya pun tidak tuntas. Peristiwanya tunggal, berbeda dengan novel.

Kumcer kurang laku dibukukan. Hal itu terkait perilaku konsumen Indonesia: lebih suka dibaca sekali duduk, sebab bila diteruskan kemudian akan kehilangan mood. Itu sebabnya, cerpen disebut "sastra koran".
Namun, cerpen-cerpen yang pernah dimuat sebelumnya jika dibukukan "mendingan" dibandingkan cerpen yang baru sama sekali. Ini terkait semacam "akreditasi", sebab cerpen yang telah dimuat, lazimnya sudah terseleksi editor bidang dan mengalami proses editing.

Sejak zaman A.A. Navis, "Robohnya Surau Kami"; cerpen-cerpen yang terserak di mana-mana, sudah dibukukan. Inilah sebuah kumcer yang terbit 1956. Terdapat 10 cerpen di dalamnya. Era 1980-an, terbit kumcer Orang-Orang Bloomington (Budi Darma) dan Seribu Kunang-kunang di Manhattan Umar Kayam yang sempat menjadi buah bibir. Termasuklah Dilarang Mencintai Bunga-bunga: Kumpulan Cerpen karya Kuntowijoyo.

Perbincangan tentang kumcer pun masih seru tahun 1990-an dengan diterbitkannya kumcer Cerpen Pilihan Kompas. Yakni dibukukannya cerpen-cerpen yang pernah dimuat harian yang usianya lebih separuh abad itu. Meski disangga gerai toko terbesar negeri ini, buku kumcer masih belum beranjak dari buku dengan kategori “slow moving”.

Namun, yang terasa cukup fenomenal, ialah karya Leila S. Chudori, 9 dari Nadira. Menyusul Karena Kita Tidak Kenal karya Farida Susanty.

Hal yang menarik, ada kumcer yang diterbitkan ulang kemudian berubah judul. Lazimnya, judul kumcer mengambil judul salah satu cerpen yan dianggap terbaik dan mewakili. Atau, intisari yang dirangkai dalam tiga hingga lima kata yang mencerminkan semua cerita.
Sebagai contoh kumcer yang diterbitkan ulang dan diubah judulnya: Bukavu (Helvy Tiana Rosa) menjadi Juragan Haji, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat (Budi Darma) sebelumnya berjudul Kritikus Adinan, Bibir dalam Pispot (Hamsad Rangkuti) diubah judulnya menjadi Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Era baru, media baru. Konvergensi media seperti saling mengisi, bukan meniadakan. Generasi digital semakin kreatif mengemas kisahan menjadi makin bernas, sekaligus laku sebagai komoditas. Muncul cerpen kreatif karya Cari Aku di Cantik (Wa Ode Wulan Ratna), Sepotong Senja untuk Pacarku (Seno Gumira Ajidarma), Milana: Perempuan yang Menunggu Senja (Bernard Batubara), Rectoverso (Dee Lestari), atau Mereka Bilang, Saya Monyet! (Djenar Maesa Ayu).

Cerpen bukanlah novel yang dipendekkan. Tetapi sebuah cerpen bisa dikembangkan menjadi novel. Kedalaman dan hanya permukaan menjadi penciri utamanya. Karena itu, banyak orang merasa kurang puas dengan cerpen, lalu memuaskan diri melalui novel.

Dalam pada itu, kumcer tak pernah bisa laris sebagai komoditas. Bilangan jari sebelah mengalami cetak ulang. Berbeda dengan novel yang dari sisi industri dapat memerkaya penerbit sekaligus penulisnya. Novel Saman (Ayu Utami) misalnya. Terbit perdana 1999, novel ini cetak ulang 5 kali setahun. Sejak terbit, sudah puluhan kali cetak ulang.

Novel, berbeda dengan cerpen, punya sisi industri-ikutan. Novel bisa diekranisasi menjadi sinetron atau film. Nilai industrinya nirbatas! Pengarang menandatangani pasal Surat Perjanjian Penerbitanyang menyebut adanya sisi industri-ikutan itu. Apalagi, di era ekonomi kreatif, menulis novel bisa menjadi profesi.

Tapi cerpen punya ruang gerak terbatas oleh karena pencirinya. Jika dalam bisnis buku dua cara menaikkan omset: dari menambah jumlah barang atau meningkatkan penjualan. Untuk kumcer, adalah musykil meningkatkan penjualan . Hanya satu cara kreatif : menerbitkan kumcer baru!

***