Moyobu, Mengenal Sistem Perladangan Dayak Kancikgh (7)
Selang beberapa hari setelah tomuyok, lazimnya akan segera bermunculan tunas-tunas padi (kecuali ada fenomena alam ekstrim tertentu yang menyebabkan padi tidak mau tumbuh, seperti kekeringan yang amat sangat). Sayangnya, bersamaan dengan tumbuhnya tunas-tunas padi, biasanya bermunculan juga tunas-tunas rerumputan atau bibit vegetasi di ladang yang tentunya dapat mengganggu pertumbuhan padi karena berebut nutrisi yang berguna untuk kesuburan.
Agar kesuburan padi tetap terjaga atau bahkan meningkat, maka bibit-bibit rerumputan dan vegetasi lainnya tersebut harus dibersihkan atau dimusnahkan melalui pekerjaan yang disebut “moyobu.”
(baca juga: Tomuyok, Mengenal Sistem Perladangan Dayak Kancikgh (6))
Tradisi gotong royong Suku Kancikgh pada siklus “moyobu” juga memiliki ritual yang disebut “tomoi lompaokh.” “Tomoi” artinya menabur sedangkan “lompaokh” adalah sejenis buah-buahan yang berasa asam kecut, di kalangan masyarakat Suku Kancikgh buah lompaokh merupakan simbol untuk perawatan padi (sebagai obat, sebagai pupuk dan lain-lain). Pada acara gotong-royong “tomoi lompaokh,” pemilik ladang mengundang tetangga dan kerabat kerja untuk melakukan pekerjaan moyobu di ladang mereka. Tua muda, laki-laki dan perempuan bergotong royong membersihkan bibit rerumputan dan/atau vegetasi lainnya yang tumbuh secara liar di sela-sela tanaman padi. Pembersihan dilakukan dengan cara manual yaitu dengan mencabut atau paling dengan mengikis rerumputan tersebut dari lahan menggunakan peralatan yang disebut “tajak” yaitu semacam pisau yang dilipat siku-siku sedemikian rupa sehingga matanya berposisi di bagian bawah.
Ritual “tomoi lompaokh” dipimpin oleh seorang imam yang dipilih khusus oleh si pemilik ladang. Sementara para undangan sedang bekerja membersihkan ladang, Sang Imam melakukan ritual yang intinya adalah mengobati secara simbolik padi yang ada di ladang dengan ramuan-ramuan alami yang dikumpulkannya. Ramuan-ramuan tersebut direndam dalam air kemudian airnya digunakan untuk mereciki padi atau dibakar sehingga asapnya melayang-layang ditiup angin dan melingkupi padi yang ada di ladang.
Air dan asap bermakna membersihkan dan mengusir penyakit dan hama yang menjadi musuh si peladang seperti tikus, burung pipit, monyet, kadal, wereng, ulat dan belalang.
Jika tidak ada prahara yang menimpa, padi yang telah dibersihkan dari rerumputan tersebut secara normal akan bertambah kesuburannya, rerumputan yang kering dan membusuk berfungsi juga sebagai pupuk bagi padi yang semakin bertumbuh subur. Namun demikian, sang peladang tetap harus memeriksa dan merawat padi yang bertumbuh tersebut. Jika terdapat area-area tertentu yang rerumputannya bertumbuh kembali maka sang peladang harus membersihkan ulang area tersebut. Selang beberapa waktu (biasanya sekitar 1 atau 2 mingguan) padi sudah mulai kelihatan mengandung artinya dalam waktu dekat padi tersebut akan mengeluarkan bunga dan bakal bulirnya. Si pemilik ladang mestinya semakin intensif menjaga padi tersebut dari serangan hama, terutama hama wereng yang memang doyan merusak bunga padi sehingga batal menghasilkan bulir.
Secara tradisional, upaya yang dilakukan adalah sesering mungkin mengasapi ladang dengan asap dari pembakaran ramuan-ramuan alami yang dapat mengusir hama wereng. Saat-saat kritis dan penuh waspada adalah ketika bunga padi sudah mulai keluar dari kandungannya, pada saat-saat kritis ini ladang harus didatangi dan diasapi setiap hari sampai dengan munculnya tanda-tanda bahwa bunga tersebut sudah berubah menjadi bulir padi. Tidak lama berselang, bulir-bulir tersebut akan semakin montok dan secara bertahap berubah warna dari hijau menjadi kuning, itu pertanda bahwa bulir padi sudah mulai masak dan sebentar lagi akan siap untuk dipanen.
Walaupun demikian bukan berarti padi sudah aman dari hama dan penyakit. Peladang dihadapkan dengan hama baru yang tidak kalah ganasnya yaitu kawanan burung pipit yang siap mendahului peladang untuk memanen bulir padi tersebut. Cara tradisional yang biasa dilakukan oleh petani untuk mengusir pipit adalah dengan membuat orang-orangan atau bunyi-bunyian.
Tradisi moyobu merupakan bentuk kearifan lokal Masyarakat Suku Dayak Kancikgh dalam mengelola lahan pertanian mereka dengan cara yang sederhana dan ramah lingkungan.