Budaya

Dayak: Ethnic Identity yang Terbentuk Tidak Sengaja

Jumat, 28 Agustus 2020, 08:17 WIB
Dibaca 795
Dayak: Ethnic Identity yang  Terbentuk Tidak Sengaja
Rumah betang Tumbang Anoi kini: lokus diselenggarakannya Pertemuan Akbar orang Dayak se-Borneo untuk menghentikan praktik pengagayuan. Di baliknya, ternyata ada taktik kompeni Belanda untuk menguasai puak Dayak yang saling berseteru, yang dalam istilah akademik disebut: salt starvation --politik menyatukan suku yang saling kayau untuk kemudian dikuasai. Jadi, di Borneo, bukan divide et impera.

Tumbang Anoi titik balik "kemerdekaan" sekaligus awal persatuan Dayak. Di sini, selama dua bulan lebih, diselenggarakan Pertemuan Akbar orang Dayak se-Borneo untuk menghentikan praktik pengagayuan. Di baliknya, ternyata ada taktik kompeni Belanda untuk menguasai puak Dayak yang saling berseteru, yang dalam istilah akademik disebut: salt starvation --politik menyatukan suku yang saling kayau untuk kemudian dikuasai. Jadi, di Borneo, bukan divide et impera.

Pemerintah kolonial Belanda masuk dan menduduki kepulauan Borneo boleh dikatakan paling akhir dibandingkan pulau-pulau lain di Nusantara, seperti Jawa dan Sumatra (Davidson, 2003: 2). Akan tetapi, intervensi dan pengaruh Belanda khusus di Borneo Barat tidak dapat berjalan dengan bebas sebab di Sarawak sudah bercokol kekuasaan petualang Inggris, Sir James Brooke yang juga dikenal dengan “Si Rajah Putih”.

Sebagaimana diketahui, setelah membantu Sultan Brunei menumpas para pemberontak Dayak Bidayuh melawan Sultan Brunei, Brooke kemudian segera menjalankan politik “rust en orde”. Ia mulai membangun dinasti Negeri Sarawak, menerapkan nepotisme, kekuasaan dibuatnya berpusat di satu tangan. Brooke 27 tahun lamanya menjadi raja negeri Sarawak (1841-1868).

Jadi, Rajah Putih hampir sama masanya menjadi penguasa Sarawak dibanding Pak Harto dengan Orde Barunya. Brooke digantikan keponakannya, Charles Brooke (1868-1917) sebagai raja kedua, dan raja ketiga adalah Charles Vyner Brooke (1917-1941).

Menarik mencermati bagaimana Brooke menjadi “Rajah Putih” di tengah-tengah etnis Dayak dan Melayu. Intinya, petualang Inggris itu menerapkan politik rust en orde (menciptakan damai kemudian memerintah). Hal ini sesuai risalah politik Machiavelli: dalam politik, awal yang tampak baik, bisa jai bertujuan buruk. Persis yang dilakukan Brooke.

Politik Sang Rajah di Sarawak diadopsi oleh oleh Belanda. Belanda menyadari bahwa di kalangan etnis Dayak pada pengujung abad ke-18 terjadi saling kayau. Politik rust en orde pun dijalankan. Pada 1894, pemerintah kolonial Belanda menginisiasi sebuah pertemuan besar di kalangan etnis Dayak di Kalimantan untuk menghapus praktik perbudakan, perang, dan ngayau. Pertemuan itu melahirkan kesepakatan yang dikenal dengan “Perjanjian Tumbang Anoi”. Pertemuan hari pertama  22 Mei 1894 dan berlangsung selama lebih dari 2 bulan.

Meski diselenggarakan kompeni Hindia Belanda dengan tujuan menguasai, toh Pertemuan ada sisi baiknua juga. Perjanjian menghentikan H-3 (hakayau, habunu, hatetek) + H jipen (perbudakan) di kalangan sesama suku bangsa Dayak.

Suasana Pertemuan 22 Mei- Juli 1894.

Apa pun tujuannya, harus diakui bahwa Perjanjian Tumbang Anoi merupakan cikal bakal pembentukan identitas etnis Dayak yang sebelumnya saling kayau satu sama lain. Itulah awal bagaimana etnis Dayak, sebagai indigenous people Borneo dipisahkan dari kalangan Muslim, sebagai non-Muslim. Dengan demikian, kesadaran-diri etnis Dayak dengan mudah dapat dibangkitkan dan dimobilisasi.

Menyusul tumbuhnya kesadaran-diri etnis Dayak, kesadaran politik pun menjadi sesuatu yang mungkin. Seperti diketahui, di Kalimantan Barat khususnya, jauh-jauh hari sebelum pemerintah Hindia Belanda melebarkan pengaruhnya, sudah lebih awal para misionaris dari Eropa menjejakkan kaki di bumi Borneo.

Di benak pemerintah kolonial Belanda, untuk mengangkat derajat etnis Dayak dan “menobatkan” mereka dari animis menjadi beragama maka kerja sama dengan para misionaris menjadi penting. Diilhami oleh Politik oleh Etis, 1901, pemerintah kolonial mulai aksi “membudayakan” etnis Dayak di Borneo.

Penampakan Sungai Kayan, Tumbang Anoi: kini dan dahulu.

Sebagaimana dicatat oleh para pionir misi dari Belanda, di Kalimantan Barat fokus misi adalah mengangkat etnis Dayak yang masih terbelakang ke derajad sama dengan etnis Melayu yang waktu itu dianggap sudah beradab (Hulten, 1990). Oleh karena itu, misi diarahkan di Hulu Kapuas di mana kaum Dayak mayoritas belum terjamah pengaruh Islam dan masih bebas dari cengkeraman sultan-sultan Melayu yang menindas. Pada 1890, sebuah stasi kecil Misi dibuka di Semitau (Kapuas Hulu) yang segera diikuti pembukaan stasi lain dan pendirian sekolah Misi di Sejiram.

Peran misi Katolik seperti ditegaskan Davidson sangat penting di dalam meletakkan pondasi bagi pembentukan identitas Dayak. “Importantly, missionary education was the medium through which western idealism --democracy, egalitarianism and self-empowerment-- were inculcated to PD’s founders. This expanding school network laid the structural basis for a provincial Dayak elite to coalesce (Davidson, 2003: 6).

Kebangkitan putra-putra Dayak yang dididik dan disekolahkan oleh misi segera terasa. Kombinasi antara pengalaman masa lampau dan reformasi mendorong mereka segera membangun aliansi strategis untuk membawa Dayak ke arah yang lebih baik dan segera mengakhiri penderitaan yang selama ini. Kebangkitan itu juga disokong misionaris.

Kenyataan ini memupuk dan pada akhirnya membentuk saling ketergantungan antara pemuka Dayak dan Gereja. Doktrin Gereja tidak membolehkan melakukan “politik praktis”, namun apa yang dilakukan Gereja berdampak politis yakni usaha untuk membebaskan etnis Dayak dari berbagai keterbelakangan, kungkungan, dan penindasan.

Misi melihat dua bidang yang mendesak dilakukan untuk mengangkat derajat etnis Dayak, yakni bidang pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, misi mendirikan sekolah-sekolah misi dan membangun rumah sakit rumah sakit. Pembangunan di bidang pendidikan dan peningkatan kesejahteraan sosial etnis Dayak oleh misi, bukan hanya meletakkan pondasi untuk pembentukan identitas etnis Dayak. Hal ini juga memicu tumbuhnya kesadaran politik.

Diawali “kesadaran baru”, yakni kesadaran akan identitas oleh angin Perjanjian Tumbang Anoi, etnis Dayak semakin terbentuk identitasnya dengan kehadiran Gereja. Lama kelamaan kesadaran itu berkembang menjadi self-perception (persepsi diri) sebagai satu etnis yang –pada waktu itu— terbelakang dan tertindas.

Persepsi diri ini kemudian “memaksa” seseorang untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu --sesuai dengan teori pembentukan identitas suatu kaum/ suku bangsa.

Perjanjian Tumbang Anoi dan buah karya Misi telah membentuk keempat komponen utama identitas etnis Dayak yang sebelumnya sporadis, tercerai berai oleh berbagai sebab dan kepentingan.

Dalam konteks Perjanjian Tumbang Anoi, setiap individu yang mendiami Borneo pada saat itu mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu. Sedemikian rupa, sehingga “koinsidensia” dengan politik Hindia Belanda yang “rust en orde”. Maka mulai tumbuhlah kesadaran akan identitas di kalangan etnis Dayak akan pentingnya kebersamaan, atas dasar kesamaan tertentu --dijajah dan terbelakang.

Identitas etnis berbeda dari identitas pribadi seseorang sebagai individu, meskipun timbal balik keduanya dapat mempengaruhi satu sama lain. Menurut Phinney (1996), jika proses identifikasi itu berjalan, maka seorang individu cenderung mengklaim sebagai pewaris kelompok etnis tertentu. Terdapat empat komponen utama identitas etnis:

Pertama, kesadaran etnis (pemahaman seseorang dan kelompok lain).
Kedua, identifikasi diri etnis (label yang digunakan untuk kelompok sendiri).
Ketiga, sikap etnis (perasaan tentang diri sendiri dan kelompok lain).
Keempat, perilaku etnis (pola perilaku tertentu kelompok etnis).

Perjanjian Tumbang Anoi dan buah karya Misi telah membentuk keempat komponen utama identitas etnis Dayak yang sebelumnya sporadis, tercerai berai oleh berbagai sebab dan kepentingan.

Dalam konteks itu, benarlah apa yang dikemukakan Phinney, “Ethnic identity is sometimes used to refer simply to ethnic group membership or label…. Ethnic identity has been conceptualized as an enduring, fundamental aspect of the self that includes a sense of membership in an ethnic group and the attitude and feelings associated with that membership” (Phinney, 1996: 922).

Haruslah diakui bahwa indentitas seseorang sangat kompleks. Identitas terdiri atas berbagai faset dari latar belakang sosial dan budaya yang meliputi aspek preferensi bahasa, orientasi seksual, usia, gender, agama, kelas sosial, generasi, dan sebagainya.

Kendati awal mula kesadaran akan identitas etnis Dayak diinisiasi Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya pemerintah kolonial Belanda di Kalimantan Barat "berseberangan" dengan misi Katolik karena berbeda aliran Gereja. Pada 1702, Paus Inosensius XII mendirikan Vikariat Apostolik Borneo, namun Vikariat tidak dapat berkembang karena Vikaris Apostolik (pemimpin Gereja setempat di tanah misi) dibunuh atas perintah Sultan. Baru 1807, ketika Negeri Belanda ditaklukkan Prancis, kebebasan beragama diakui di sana, misionaris Belanda ke Borneo lagi dan dipersatukan dengan Prefektur Apostolik Jakarta.

Pada 1884, pastor-pastor Mill Hill dari Borneo Inggris pernah menawarkan diri berkarya di wilayah Borneo Barat, tapi ditolak pemerintah Hindia Belanda yang khawatir diboncengi politik Rajah Putih yang sudah bercokol di Sarawak. Pada 1885 tiba di Singkawang pastor Jesuit, Staal, yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik Jakarta. Baru pada 1905, Ordo Kapusin Proninsi Belanda menerima tanggung jawab atas Prefektur Apostolik Borneo, misi tiba pada 30 November 1905 di Singkawang, membuka stasi di Sejiram pada 1906 dan 1908 di Laham. Pada 1909, Pontianak menjadi pusat misi ditandai dengan ditetapkannya Pontianak sebagai kediaman Prefek Apostolik Mgr. Pacifikus Bos.

Sejak itu, Pontianak menjadi pusat kegiatan misi di Kalbar. Di Kalbar, "pembudayaan" dan majunya etnis Dayak lebih karena peran Gereja. Gereja pula yang kemudian mendidik dan memfasilitasi Pertemuan Dayak in Action (DIA), pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, dan pusat-pusat kesehatan, juga susu dan makanan ketika pada masa sulit terutama di masa perang dan pendudukan Jepang.

Pertemuan Tumbang Anoi yang diinisiasi pemerintah Hindia Belanda yang mengumpulkan para pemimpin Dayak untuk menghentikan praktik pengayauan dari berbagai pelosok Borneo pada saat itu memang bertujuan untuk “rust en orde”. Akan tetapi, dampaknya sangat luar biasa. Yang tidak disangka-sangka adalah bahwa bersamaan dengan itu tumbuh kesadaran “sensus Dayakus” dan pembentukan identitas etnis Dayak.

Agak berbeda dengan wilayah lain, di mana Hindia Belanda juga melakukan evangelisasi sambil memerintah dan menjajah, khusus di Kalimantan Barat Hindia Belanda tidak begitu akrab dengan padri-padri misionaris Katolik. Kedatangan para misionaris Katolik di Kalimantan Barat semakin mengentalkan “sensus Dayakus” dan pembentukan identitas etnis Dayak. Gereja (Katolik) dengan misinya yang mulia “mengangkat martabat dan taraf hidup orang Dayak” segera masuk jalur pendidikan, mendirikan rumah sakit, dan berbagai kegiatan karya kemanusiaan lainnya.

Setelah meletakkan pondasi pendidikan dan peningkatan kesejahteraan sosial etnis Dayak di Kapuas Hulu, misi juga pada 1917 membuka sekolah di sebuah kampung terpencil yang terletak di kaki gunung Poteng bernama Nyarumkop, sebelah utara sekitar 15 kilometer dari kota Singkawang. Kursus pendidikan guru (Cursus Normaal) segera dibuka, kemudian diperluas menjadi program pelatihan guru program Cursus Volksschool Onderwijzer (CVO).

Pada awal-awal misi Katolik beroperasi mendirikan sekolah di kampung-kampung Dayak, para gurulah yang aktif mencari murid. Tidak jarang, para guru menemui orang tua murid di rumah dan di ladang-ladang mereka. Kelak, anak-anak itu menjadi terdidik dan cakap. Merekalah pasukan-pasukan elite yang menyebar ke berbagai tempat di wilayah Kalimantan Barat, menjadi guru dan katekis, sampai akhirnya pada 1941 mengadakan retret di Sanggau yang menjadi embrio pembentukan DIA. Retret para guru ini atas inisiatif Oevang Oeray, seorang murid seminari Nyarumkop.

Sampai kini, "ruh" koinsidentia itu terus dikumandangkan terutama ketika pilkada di Kalbar. tidak ragu-ragu para aliran romantisme memasang besar-besar foto Oevang Oeray dan tokoh PD: tataplah wajah kami. Bahkan, kampanye-kampanye yang mendukung Dayak menjadi orang no. 1 di aras kabupaten dan provinsi selalu mengenang kejayaan Dayak di masa lampau.

Tags : budaya