Kesalehan Publik versus Kesalehan Otentik, Mau Pilih Mana?

Ada banyak paradoks berkelindan di sekeliling kita dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah itu fenomena biasa bukan peristiwa luar biasa. Paradoks adalah suatu situasi atau kondisi yang tampak dan tidak masuk akal, tetapi bisa mengandung kebenaran yang lebih dalam.
Dalam bahasa sederhana, paradoks seperti "pernyataan yang membingungkan karena kelihatannya salah, tetapi bisa jadi benar adanya." Meski paradoks berkelindan dalam kehidupan sehari-hari tetapi banyak orang tidak menyadarinya.
Suatu paradoks yang sering muncul di era postmodernisme adalah paradoks kesalehan. Dengan kata dasar "saleh", kaselahan merujuk pada prilaku seseorang yang lekat dengan agama, sehingga terdapat istilah kesalehan spiritual (Sang Pencipta) yang biasanya disandingkan dengan kesalehan sosial (manusia).
Ini paradoks yang sederhana bagaimana kesalehan yang sejatinya berhubungan dengan Tuhan dalam konteks agama diperlawankan dengan kesalehan yang berhubungan dengan manusia.
Di tengah era digital yang serbacepat dan serbaterhubung, kita melihat kesalehan ternyata tidak lagi hanya menjadi urusan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Kesalehan kini kerap dipertontonkan, dipoles, dan dipromosikan melalui media sosial.
Fenomena ini melahirkan apa yang kita sebut sebagai paradoks "Kesalehan Publik", yakni ketika nilai spiritualitas yang semestinya bersifat batiniah dan ikhlas justru menjadi tontonan dan bahkan komoditas.
Di sinilah terjadi benturan antara ajaran agama yang menekankan keikhlasan, dengan dorongan zaman yang menuntut validasi sosial. Padahal sejatinya "Kesalehan Otentik" di mana seseorang tidak membutuhkan sorotan yang harus dikedepankan. Kesalehan Otentik hidup dalam laku harian yang jujur, dalam kasih yang diam-diam, dalam doa yang hanya didengar Tuhan.
Fenomena pamer kesalehan bukan hal baru. Ia sudah dikenal dalam tradisi keagamaan sebagai riya', yakni menampakkan amal kebaikan agar dipuji orang lain. Namun di era media sosial, riya' mendapatkan panggung yang lebih luas dan bentuk yang lebih halus. Mengunggah foto sedang bersedekah, membagikan video sedang berdoa atau menangis khusyuk di masjid, hingga menuliskan status penuh kutipan Al-Qur’an atau hadis, bisa menjadi ekspresi keimanan. Namun, bisa pula menjadi jebakan kesalehan performatif.
Banyak orang tidak sadar bahwa apa yang mereka anggap sebagai inspirasi atau dakwah, bisa bergeser menjadi pencitraan spiritual. Tindakan ini menjadi problematis ketika motifnya tidak lagi didasarkan pada keikhlasan, tetapi pada kebutuhan akan pengakuan (recognition) dan penerimaan sosial (social approval). Lebih parah lagi kalau dimaksudkan untuk mencari materi atas ketenaran yang dihasilkannya.
Mengapa orang cenderung memamerkan kesalehan, tidak lain karena kebutuhan eksistensial di mana media sosial membuat eksistensi seseorang ditentukan oleh "likes", "shares", dan "comments".
Dalam konteks ini, kesalehan menjadi identitas yang dijual, dipoles agar tampil baik, dan dijadikan alat untuk membangun citra diri yang "suci" atau "bermoral".
Di era kapitalisme digital, bahkan nilai-nilai spiritual bisa dijadikan alat "branding". Banyak tokoh publik, politikus, influencer, atau bahkan lembaga keagamaan memanfaatkan kesalehan sebagai "produk" yang bisa dijual untuk meraih pengaruh. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi religiositas, ada tekanan untuk tampak saleh. Media sosial hanya memperkuat tekanan itu, karena setiap orang kini bisa menjadi "penonton" sekaligus "penilai" atas kesalehan orang lain.
Banyak orang menjalani ritual keagamaan secara formalistik tanpa pendalaman makna. Akibatnya, kesalehan tidak menjadi pengalaman batin yang autentik, tetapi sebatas tampilan luar saja. Kiranya kita perlu kembali pada nilai-nilai esensial dalam ajaran agama, bahwa kesalehan sejati lahir dari niat yang ikhlas, bukan dari kebutuhan untuk dilihat.
Meluruskan pemahaman ini tidak cukup hanya dengan ceramah atau imbauan moral. Kita perlu pendekatan yang lebih filosofis dan edukatif, misalnya menanamkan kesadaran batin di mana pendidikan agama harus lebih menekankan pengalaman spiritual daripada sekadar hafalan dogma. Mengajarkan kontemplasi, tafakur, dan refleksi diri bisa membantu individu membangun hubungan personal dengan Tuhan tanpa perlu memamerkannya.
Kita perlu mengembangkan literasi digital yang mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu dibagikan dan dipamerkan. Etika bermedia sosial seharusnya mencakup kesadaran tentang kapan dan mengapa kita mengunggah sesuatu, termasuk konten kesalehan.
Dalam dunia yang bising oleh notifikasi dan algoritma, kita butuh ruang keheningan, baik secara fisik maupun spiritual. Kesalehan yang tumbuh dalam keheningan justru lebih kokoh dan tahan godaan.
(Pepih Nugraha)