Politik

Borneo yang Terus Dibagi-bagi dari Jauh oleh Penguasa dan Oligarki

Kamis, 11 September 2025, 18:14 WIB
Dibaca 6
Borneo yang Terus Dibagi-bagi dari Jauh oleh Penguasa dan Oligarki
Borneo yang dibag-bagi dari jauh.

Pulau Borneo, dengan hamparan hijau yang pernah begitu luas, menyimpan cerita panjang tentang manusia dan tanahnya.

Di Borneo, sumber daya alam berlimpah, tapi pengelolaannya sering kali penuh konflik. Mulai dari penduduk asli yang hidup harmonis ribuan tahun lalu, hingga gejolak kolonial dan eksploitasi modern. Kini, masyarakat adat berjuang keras. Mereka ingin hak mereka diakui. Tanah bukan sekadar komoditas, tapi warisan leluhur.

Bayangkan, 40.000 tahun lalu. Di Gua Niah, Sarawak, manusia pertama kali meninggalkan jejak. Fosil "Deep Skull" ditemukan pada 1958. Itu bukti tertua. Homo sapiens sudah ada di Asia Tenggara. Mereka pemburu-pengumpul. Makan primata, seperti orangutan. Alat batu sederhana. Lukisan gua yang usianya puluhan ribu tahun. Penelitian karbon terkini, tahun 2025, menguatkan hal itu. Nenek moyang Dayak, suku asli Borneo, sudah mendiami pulau ini sejak lama. Hidup mereka berkelanjutan. Tanah dikelola komunal. Tak ada konflik agraria. Populasi rendah. Harmoni dengan alam. Begitulah kehidupan sebelum badai datang.

Pembagian Borneo oleh Belanda dan Inggris 

Abad ke-17. Eropa datang. Belanda dan Inggris haus akan rempah, kayu, damar. Mereka membagi Borneo. Perjanjian London 1824 jadi tonggak. Belanda ambil selatan dan timur wilayah Borneo yang kini termasuk Kalimantan Indonesia. Inggris mengkuasai utara dan barat Sabah, Sarawak, Brunei. Dari mana kuasa mereka? Militer dan diplomasi. VOC Belanda taklukkan kerajaan Dayak dan Banjar sejak 1600-an. Inggris bangun koloni Sarawak tahun 1841, di bawah James Brooke. Sebelumnya, kerajaan lokal seperti Brunei dan Banjar berkuasa. Borneo masih hijau. Eksploitasi terbatas. Tapi benih konflik tertanam. Hak adat diabaikan. Batas geopolitik itu bertahan hingga sekarang. Pulau terbelah. Masalah agraria mulai muncul.

Kemerdekaan Indonesia 1945. Harapan baru. Tapi di bawah Orde Baru, 1966-1998, Borneo merintih. Pembagian administratif dari pusat. Provinsi baru diciptakan: Kaltim, Kalteng. Tujuannya? Mudahkan eksploitasi. Hutan ditebang habis.

Dua juta hektar per tahun. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diberikan ke perusahaan besar. Militer dukung. Dwifungsi ABRI. Penduduk dipindah paksa. Transmigrasi. Sawit, batubara, kayu. Semua diangkut ke pusat. Untuk pembangunan nasional. Lebih kejam dari kolonial? Ya. Karena abaikan UUD 1945 soal hak ulayat. Pada 1970-an, Kaltim kehilangan separuh hutannya. Banjir bandang datang. Konflik dengan adat membara.

Tahun 2025. Deforestasi makin ganas. Dua juta hektar hilang antara 2013-2017. Sawit merajalela. Ibu Kota Nusantara (IKN) tambah tekanan. Dayak tak tinggal diam. Mereka gugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal investor diistimewakan. Tanah adat dirampas. Mereka tegas: Tanah adat lebih dulu dari tanah negara. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 jadi pegangan. Hutan adat tak boleh didiskriminasi. Hak komunal. Lagi, Putusan MK No. 122/PUU-XIII/2015: Penelitian pra-izin wajib. Lindungi ulayat. Di Kalteng, Perda 2020 mulai akui. Hutan adat Dayak Iban, 9.480 hektar. Tapi konflik terus berlanjut. Taman Nasional Meratus ditolak Dayak Meratus. Gerakan FoMMA mendorong kolaborasi. Pelestarian jadi kunci.

Borneo berubah. Dari adat berkelanjutan ke kapitalisme rakus. Tapi perjuangan Dayak beri harapan. Revisi UU Kehutanan. Partisipasi adat dalam kebijakan. Itu jalan keluar.