Bagaimana Menafsirkan Pancasila Secara Kreatif?
Dalam tulisannya Negara Berideologi Satu, Bukan Dua (2006), Abdurrahman Wahid Gus Dur menegaskan bahwa telah "terjadi penyempitan pandangan mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mereka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila tersebut."
Pemahaman yang lebih longgar? Sebagai generasi yang dibesarkan pada era Orde Baru, pertanyaan itu amat menggelitik. Sejauh ini Pancasila terkesan sakral, sudah final, tak dapat diganggu gugat, lengkap dengan 36 butir pedoman yang gamblang untuk mengamalkannya dalam hidup sehari-hari. (Pada 2003, MPR menambah pedoman itu menjadi 45 butir, tetapi tampaknya tidak bergaung secara luas.) Sejauh manakah kelonggaran itu?
Pemahaman yang longgar mengingatkan saya pada istilah multitafsir dalam karya seni. Dapatkah Pancasila didekati sebagai semacam puisi, ditafsirkan secara lentur dan kaya makna? Atau, sebuah pertanyaan lain melintas: bagaimana jika Pancasila ditafsirkan secara kreatif melalui karya seni, misalnya film?
Saya teringat dua paket karya gemilang Krzyztof Kieślowski, sutradara Polandia, Dekalog (1988-1989) dan trilogi Three Colors (1993-1994). Dekalog adalah sepuluh drama seri televisi, masing-masing berdurasi satu jam, yang diinspirasi oleh Sepuluh Perintah Allah dalam Kitab Keluaran. Adapun Three Colours adalah tiga film berdasarkan tiga warna bendera Republik Prancis (Blue, White, Red) yang melambangkan semboyan negara itu: kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan.
Kedua paket film itu sama-sama merupakan penafsiran yang longgar atas sumbernya. Dekalog tidak menyodorkan khotbah moralistis hitam-putih; Three Colours juga tidak berisi ceramah tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik. Sebaliknya, keduanya menawarkan cerita memikat tentang tokoh-tokoh yang mesti bergelut dengan tantangan etis yang nyata, pelik, dan ironis.
Dalam film kedua Dekalog, misalnya, seorang perempuan mendatangi dokter, bertanya apakah suaminya yang sedang sakit akan mati atau bertahan hidup. Jika suaminya sembuh, ia akan melakukan aborsi. Jika suaminya mati, ia akan mempertahankan kehamilannya. Perempuan ini mengandung benih laki-laki lain.
Ada pula model yang lebih rileks. Film komedi India Lage Raho Munna Bhai (Rajkumar Hirani, 2006) menampilkan Munna Bhai yang dapat melihat roh Mahatma Gandhi. Melalui interaksinya dengan Gandhi ini, ia mulai menerapkan ajaran Gandhi untuk menolong orang-orang di sekitarnya memecahkan masalah mereka.
Nah, mungkin ada sutradara Indonesia yang tertarik mengambil langkah serupa: menggarap lima film berdasarkan masing-masing sila Pancasila? Atau, menghadirkan sosok Soekarno dalam latar kekinian, berdialog dengan anak muda era digital, bersama-sama menggumuli isu-isu kontemporer dalam terang nilai-nilai Pancasila?
Atau, sebenarnya sudah ada film semacam itu? Saya mencoba mengais-ngais ingatan, mencari film Indonesia yang menawarkan tafsir atau penggambaran nilai-nilai Pancasila secara segar. Dan, mencuatlah Cahaya dari Timur: Beta Maluku (Angga Dwimas Sasongko, 2014). Film ini berkisah tentang Sani Tawainela, tukang ojek dari Tulehu yang kemudian menjadi pelatih sepakbola tim Maluku.
Kemudian, menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 2018, beredar Lima, sebuah film yang berangkat dari lima sila ideologi negara kita: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Film ini dikerjakan secara keroyokan oleh lima sutradara, yaitu Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Lola Amaria, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo.
Cahaya dari Timur dibuka dengan adegan Sani terperangkap di tengah kerusuhan saat berbelanja terigu di Ambon. Seorang bocah sama-sama berlindung, tetapi ia lalu melarikan diri, meninggalkan kalung rantai di tangan Sani. Di rumah, menyimak berita di televisi lokal, Sani melihat si bocah ternyata tewas tertembak. Kamera mendekati tangan Sani yang meremas kalung rantai peninggalan si bocah.
Ketika kerusuhan menjalar ke kampungnya, Sani terusik melihat bocah-bocah kecil berhamburan menontonnya, tak waspada kalau-kalau terkena celaka. Terpikir olehnya untuk melindungi mereka. Apa modalnya? Ah, rupanya tukang ojek ini dulunya pesepakbola andal, sempat ikut pelatnas PSSI U-15, namun gagal merintis karier sebagai pemain profesional. Ia pun menawari mereka berlatih bola. Anak-anak itu, yang mengenali kecakapan Sani menggocek bola, antusias menyambutnya.
Pada bagian awal, film ini menampilkan bagaimana sepakbola sebagai suaka perlindungan bagi anak terhadap kerusuhan. Pada paruh kedua, ketika Sani memutuskan untuk mencampur pemain beragama Islam dan Kristen menjadi satu tim, film bergeser menggunakan sepakbola sebagai laboratorium kebhinekaan. Konflik antaragama yang di awal film digambarkan dengan adu parang dan bom molotov, di lapangan meledak sebagai adu mulut dan perkelahian yang tajam dan menyesakkan dada.
Pesan film ini tersampaikan dengan kokoh tanpa kesan menggurui. Ketika Sani mengamuk dan berceramah menjelang akhir film, kita tidak menangkapnya sebagai sosok tukang ceramah. Sebaliknya, kita melihatnya sudah habis akal. Malahan kita jadi ikut tertampar. "Beta melatih kalian sejak kanak-kanak karena beta ingin memberi kalian kenangan yang baik (di tengah kecamuk kerusuhan)," katanya. Ah, jadi ingat sosok ayah dalam Life is Beautiful, yang melindungi anaknya dari kengerian holocaust itu.
Menggarisbawahi soal konflik yang terseret sampai ke lapangan, ia berkata, "Waktu tidak cukup untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tapi kita harus berjuang untuk hidup lebih baik." Lagi-lagi, ini bukan seruan seorang motivator ulung, tetapi luapan rasa frustrasi seorang pelatih atas kebebalan anak-anak asuhnya, seseorang yang turut bersama-sama merasakan dampak kerusuhan.
Cahaya dari Timur ditutup dengan rangkaian adegan yang disunting secara gemilang, membawa kita ulang-alik Jakarta-Maluku, dan di Maluku kita diajak meloncat-loncat dari masjid, gereja, sekolah, rumah penduduk, dan warung kopi. Adegan yang dinamis dan efektif secara sinematik, mengundang tawa segar, sekaligus mengguratkan pesan secara menggetarkan.
Usai menontonnya, saya tercenung-cenung. Selama kita masih dalam bingkai pemikiran mayoritas versus minoritas, bukan bersaudara sebagai satu keluarga besar, sulit kita meraih kemenangan bersama. Ini memang film tentang Maluku, tetapi mau tak mau kita akan menariknya ke wilayah yang lebih luas: tentang Indonesia Raya.
Berbeda dari Dekalog dan Three Colours, Lima tidak menafsirkan tiap sila Pancasila menjadi satu film tersendiri. Lima dibesut sebagai satu film utuh yang mengandung lima bagian. Masing-masing bagian mewakili satu sila, tetapi tetap berkelindan dengan bagian-bagian lainnya.
Bagian pertama, misalnya, berpangkal pada kematian Maryam. Ketiga anaknya—Fara, Aryo, dan Adi—berdebat tentang cara yang layak untuk memakamkan sang ibu. Maryam perempuan Muslim, tetapi pernah menjadi Kristen, lalu berbalik kembali menganut Islam, bahkan sudah naik haji. Fara juga Muslim, tetapi Aryo dan Adi beragama Kristen. Bagaimana mereka menyelesaikan persoalan pelik ini?
Secara keseluruhan, film ini lumayan memuaskan, menawarkan penafsiran yang cukup segar terhadap sila-sila Pancasila. Dengan berpangkal pada pergumulan hidup satu keluarga, bagian demi bagian dapat terangkai menjadi kesatuan kisah yang runtut.
Sukses utama film ini adalah keberhasilannya untuk tidak berceramah, tetapi secara lentur menuturkan kisah. Dengan niat awal mengangkat nilai-nilai Pancasila, ada kekhawatiran Lima bakal terjebak jadi film yang penuh petuah. Kekhawatiran itu tertepis. Film ini berhasil menghadirkan tokoh-tokoh yang membumi, dengan pergumulan yang riil dan relevan dengan situasi kekinian. Nilai-nilai Pancasila tidak dilontarkan secara frontal dalam bentuk ceramah, tetapi secara laten menjiwai keputusan yang diambil oleh masing-masing tokoh.
Namun, dengan durasi hanya 110 menit, dan mesti mencakup kelima sila, eksplorasi kisah jadi kurang detail. Ilustrasi atas tiap-tiap sila belum merata. Penggambaran sila pertama kuat, tajam, dan terhitung berani mempersoalkan problem-problem toleransi beragama. Sebaliknya, sila kedua terkesan kurang tuntas. Kejahatan keji yang disaksikan Adi kurang jelas duduk perkaranya dan, alih-alih terkena getahnya, polisi secara relatif gampang melepaskan Adi. Bagian terakhir juga terasa bergegas mengejar ending yang manis. Jadi berangan lagi, mudah-mudahan nanti ada yang mau bikin film Pancasila satu sila satu film.
Beberapa kutipan dialog tak sekadar motivasional mengelus perasaan, tapi menyentak memantik refleksi. “Haram? Aku lahir dari perut Mama juga, Mbak. Sama kayak Mbak. Kenapa sekarang aku jadi haram, terus Mbak halal?” kata Aryo menggugat. Atau, ucapan Fara, “Sesama keluarga tidak saling meninggalkan.” Terkesan klise, tetapi ketika diucapkan seorang majikan kepada pembantu rumah tangganya, nuansanya jadi berbeda.
Pada akhirnya, film ini dapat menjadi pangkalan yang asyik untuk memperbincangkan kembali penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita. Bagaimana jika kita diperhadapkan pada situasi serupa? Pilihan mana yang akan kita ambil? Nilai-nilai apa yang melandasi keputusan kita?
Lima secara lembut mengingatkan, problem besar bangsa ini terletak pada pemahaman dan pengamalan sila pertama. Selama nilai keagamaan lebih ditinggikan dari nilai kemanusiaan; selama kesalehan pribadi lebih diagungkan daripada, bahkan jika perlu dengan mengorbankan, kesalehan sosial; selama prinsipnya manusia-untuk-agama, bukan agama-untuk-manusia, bangsa ini akan susah beranjak ke mana-mana.
Ketuhanan dalam aspek kesalehan pribadi mestinya seperti akar pohon, yang menghunjam dalam-dalam, kuat mencengkeram, menyediakan dasar yang teguh, bukan menceruat ke permukaan, merintangi dan bahkan melukai. Kesalehan sosiallah yang perlu mekar mengembang di ranah kehidupan bersama, merangkul satu sama lain sebagai keluarga. ***