Mendayung Sambil Mengenang Frankenstein di Danau Bang Abak
Mendayung sampan sendirian membelah air danau yang tenang selalu menjadi obsesi manakala saya mendapatkan kesempatan, apalagi itu dilakukan pada malam hari dengan suasana yang menekan saat rembulan tertutup awan. Obsesi ini bermuara pada satu gara-gara, yaitu Victor Frankenstein!
What! Gara-gara Victor Frankenstein? Bukankah ia sekadar tokoh fiktif hasil rekayasa Mary Shelley dalam novel yang ditulisnya berjudul "Frankenstein; or The Modern Prometheus?"
Benar, memang begitu. Akan tetapi, adegan doktor jenius yang menghindar dari kejaran makhluk ciptaannya yang ia buat dari sekumpulan daging dan tulang mayat yang kemudian dialiri listrik itu sedemikian menancap dalam ingatan saya. Sampai-sampai setiap kali saya melihat danau dengan sampannya yang menganggur, saya ingin mengikuti jejak Victor Frankenstein.
Keindahan Danau Jenewa ibarat foto dalam sebuah kalender. Danau itu bertepikan kaki pegunungan dengan pohon-pohon rindang yang memagari tepian danau. Di beberapa tempat, terdapat rumah-rumah bergaya khas Eropa dengan bayangannya yang terlukis di atas permukaan air danau yang beriak tenang.
Danau di mana Frankenstein melarikan diri dari kejaran makhluk berwajah seram dengan kekuatan dahsyat berlipat-lipat kekuatan manusia normal itu adalah nyata, yaitu Danau Jenewa.
Saat saya melancong ke Swiss dan 8 negara Eropa lainnya pada Mei 2017 lalu, saya menyempatkan berkunjung ke tepian danau terbesar di Eropa Barat seluas 582 kilometer persegi yang kurang separuhnya dimiliki Perancis itu. Saya duduk termangu, membayangkan Frankenstein yang mendayung perahu kecilnya sendirian ke tengah danau pada malam berpayung bulan.
Maka ketika saya mendapat undangan Bupati Malinau Dr. Yansen Tipa Padan (YTP) mengunjungi kembali Malinau setelah kunjungan pertama enam tahun sebelumnya, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan mendayung sampan sendirian ke tengah danau saat berada di Bang Abak, Kuala Lapang, Kecamatan Malinau Barat, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
Di sini, saya ingin mengenang Victor Frankenstein yang melarikan diri ke Danau Jenewa sebelum tertangkap oleh makhluk ciptaannya yang menuntutnya dibuatkan pasangan hidupnya di Kutub Utara yang beku.
Undangan dari bupati yang pada April 2021 nanti akan mengakhiri masa jabatan keduanya setelah 10 tahun memimpin Malinau itu resminya "berlibur" sambil menyaksikan peluncuran buku kelima yang ditulisnya selaku birokrat "qua" akademisi berjudul "Kaltara Rumah Kita". Peluncuran buku di mana saya terlibat selaku salah satu editor sekaligus pengarah itu dilangsungkan di Cafe Tubu, di bibir Sungai Sesayap, Sabtu 8 Agustus 2020 lalu. Total waktu acara peluncuran buku itu sendiri paling berlangsung 5 jam plus ramah-tamah. Selebihnya memang untuk berlibur. Salah satu tujuannya tentu saja Bang Abak.
Di Bang Abak ini, keluarga Yansen memiliki tanah, sawah, kebun, gunung, empang, ternak, dan danau yang menjadi satu kesatuan utuh yang lebih dari sekadar "ranch" biasa. Sapi dan kerbau dibiarkan hidup liar di salah satu punggung bukit dan lembah yang dibatasi pagar tinggi agar ternak yang tidaik diberi kandang itu tidak melintas batas.
Unsur-unsur yang tadi saya sebutkan, adalah objek wisata itu sendiri di luar beberapa pondok dan aula permanen yang berdiri terpisah. Ada juga tempat menginap tiga lantai yang konstruksinya mengikuti tebing, langsung berhadapan dengan kolam ikan di depannya.
Saat mobil memasuki "YTP Ranch" di Bang Abak itu, terlihat alat berat yang sedang beristirahat. Alat berat itu digunakan untuk memangkas tebing, meratakan jalan, bahkan menggali permukaan tanah. Yansen menyicil pengerjaan lokasi yang lebih cocok sebagai tempat wisata itu sejak lama.
"Barangkal ini baru seperempat pengerjaan sampai tempat ini selesai seluruhnya. Kapan selesainya, saya tidak tahu. Saya berdo'a saja," katanya saat berbincang dengan YTP -demikian nama panggilan Yansen Tipa Padan- di "tower" dua tingkat yang berdiri di atas salah satu bukit.
Perlu kiranya saya gambarkan, "tower" yang sejatinya aula terbuka tanpa dinding itu berpemandangan "three-sixty" alias 360 derajat. Mata bisa berputar ke 8 penjuru angin. Mentari terbit dan tenggelam bisa terlihat dari tempat itu dengan hanya memutar posisi badan 160 derajat. "Tower" itu dikelilingi teras selebar satu meter dengan pembatas. Kursi bisa diletakkan di sekeliling "tower" menghadap keluar, membelakangi aula.
Di bawah aula "tower" terdapat ruangan yang digunakan untuk menyimpan delapan toren berkapasitas besar dengan instalasi yang sudah jadi. Delapan toren itu sekaligus sebagai penampugn dan reservoir air bersih untuk berbagai kebutuhan. Di Aula dan pondok yang berbilang jarak dari "tower", juga dilengkapi instalasi air terpisah. Tenaga listrik sebagai penerang menggunakan energi surya yang ditanam di beberapa tempat.
Dari seluruh "objek wisata" yang ada di "YTP Ranch" selain kolam ikan berisi ratusan ikan patin "jumbo", tentu saja danau yang melingkupi bukit, sehingga bentuknya tidak seperti cekungan kawah hasil erupsi gunung berapi, melainkan seperti setengah cincin denan beberapa "anak danau". Bang Abak itu sendiri dalam bahasa setempat bermakna "cekungan yang berada di kaki bukit".
Danau tanpa perahu ibarat pacaran tanpa rasa cinta, hampa. Maka di sana tersedia tiga perahu kecil, dua di antaranya berkapasitas satu orang. Saya tentu saja memilih perahu kecil dengan kapasitas satu orang itu, sebab Frankenstein mengayuh perahunya sampai ke tengah Danau Jenewa juga hanya bertemankan angin malam dan bulan yang tertutup awan. Saya tidak mau ditemani siapapun!
Jangan bayangkan menaiki perahu kecil semudah mengayuh sepada, perlu keberanian sempurna. Ini permainan kombinasi nyali, keseimbangan dan sekaligus percaya diri. Ketika pantat sudah menempel di salah satu ujung perahu dengan pengayuh di tangan, belum tentu keseimbangan muncul begitu saja.
Kesimbangan ternyata harus diciptakan sendiri, tidak lahir atas bantuan tangan-tangan tak terlihat. Angin yang berembus dan ombak air danau yang beriak seolah-olah menguji nyali dan kesimbangan itu. Jika tidak percaya diri dan tidak mengikuti berat badan sendiri, dijamin perahu langsung tenggelam oleh berat badan yang gemetar dan kaku tanpa gaya kesimbangan.
Saya anggap berdayung dengan perahu di danau ini sekadar "urusan kecil" (tanpa harus menjentikkan jari), sebab saat bertugas di Makassar, bersama rekan Kiblat Said, saya biasa berdayung dengan bantuan layar untuk memancing ikan di laut. Meski harus berdayung berdua, tentu saja tantangannya lebih berat karena ombak lautan yang bergolak berbeda dengan ombak danau yang hanya beriak.
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, maka semudah memanjat dan mengayuh sepeda, dalam beberapa detik saja perahu kecil itu sudah membawa tubuh saya ke tengah danau Bang Abak. Berbeda dengan rekan Dodi Mawardi dan Sapto Raharjo yang masing-masing harus ditandem Masri Sareb Putra dengan perahu berkapasitas dua orang agar bisa menikmati sensasi danau Bang Abak.
Sambil mengenang Frankenstein, saya mendayung mengelilingi danau, menyeruak pepohonan yang rimbun di sana-sini, tentu saja sambil membayangkan makhkuk ciptaannya mengawasi saya di suatu tempat yang tidak saya ketahui. Tahu-tahu makhluk menyeramkan itu sudah duduk mencangklong di dahan yang melintang, menunggu perahu saya lewat di bawahnya,
Satu jam waktu yang cepat berlalu sungguh sangat saya sesali, padahal saya ingin menyempurnakan kenangan bersama Frankenstein sampai malam tiba, ketika senja merah turun berganti sinar rembulan. Kenangan akan danau tenang itu tidak lenyap begitu saja meski destinasi selanjutnya adalah melihat kolam ikan patin yang menurut Adi, putera sulung Yansen, kolam dan danau itu sudah ada sejak ayahnya masih menjabat Sekda Malinau, sebelum menjadi bupati Malinau di tahun 2011.
Menikmati kopi susu sambil menanti senja tiba di Bak Abak (Foto candid: Dodi Mawardi)
Usai mengenang Frankenstein di danau itu, kami kembali berkumpul di "tower", bergabung dengan Yansen dan istri, Ping Ding, sambil menikmati pisang goreng, kopi susu dan sekerat senja di langit barat yang akan segera tenggelam. Yansen bertanya tentang kesan kami -saya, Dodi, Masri, Sapto- tentang berdayung-sampan di danau itu. Saya menjawab, "Tidak bisa saya ceritakan sekarang, nanti saja saya lukiskan dalam sebuah tulisan."
Yansen tersenyum saja mendengarnya.
Ketika senja sudah menghilang dari pandangan, kami semua menuruni "tower" yang dilengkapi titian berupa tangga tembok yang di kiri-kanannya terdapat pohon lada. Tonggak kayu yang mencuat lurus agar tanaman lada merambat di sepanjang tubuh kayu itu seolah-olah tentara yang berbaris, menjaga "tower" itu.
Dengan berat hati saya harus meninggalkan danau tenang dan perahunya di Bang Abak. Mendayung perahu sendirian saat malam tiba dengan bulan yang tertutup awan sebagaimana Frankenstein mendayung perahu kecilnya ke tengah Danau Jenewa, belum bisa saya laksanakan.
Saya bertekad akan melaksanakannya jika masih ada kesempatan, tidak lain agar kenangan tentang tokoh fiktif rekaan Mary Shelley itu hadir lebih sempurna.
***