Sosok

Surga Tersembunyi di atas Ketinggian 480 Mdpl

Selasa, 4 Oktober 2022, 08:21 WIB
Dibaca 698
Surga Tersembunyi di atas Ketinggian 480 Mdpl
Siapa sangka gunung yang hanya memiliki ketinggian 480 Mdpl ternyata menyimpan keindahan alam yang tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang memiiki ketinggian ribuan Mdpl.

Cuaca di Tanjung Selor pagi ini benar-benar cerah, matahari nampaknya sedang antusias memancarkan kehangatannya ke bumi. Pagi ini hanya ada satu mata kuliah yang aku ikuti sehingga aku pun bisa pulang lebih awal dari hari-hari biasanya. Jam menunjukkan pukul 10.00 Wita aku berdiri di bawah pohon rindang sejenak menikmati hembusan semilir angin yang menerpa tubuhku.

“Lang, lagi dimana?”, ucapku ditelpon.

“nih lagi di kossannya Wendy”.

“Lagi di sana! baiklah aku ke sana sekarang”, ucapku kepada Gilang sembari menutup telpon.

Motorku melaju perlahan, menyusuri jalan sempit menuntunku ke arah bangunan kos yang letaknya tidak terlalu jauh dari jalan raya. Namaku Lenny Ariana mahasiswa ekonomi semester 7, sepulang kuliah aku singgah ke kossannya Wendy. Wendy merupakan salah satu adik tingkatku di kampus, dia merupakan mahasiswa teknik sipil semester 3 yang memiliki rambut gondrong sebagai ciri khas mahasiswa teknik. Walaupun tampilanya terkesan urak-urakan tapi yaa bukan mahasiswa teknik namanya kalau tampil dengan dandanan rambut yang rapi. Kossan Wendy selalu menjadi markas untuk aku dan keempat temanku berkumpul (sebut saja Olive, Gilang, Ari, dan David). Kosssan yang selalu menjadi tempat kami berdiskusi, bertukar pikiran maupun sebagai tempat persinggahan untuk istirahat sejenak dari rutinitas kampus.

“Tok..tok..tok…! Wen.. Wendy …”, aku mengetuk pintu kos. Tidak berapa lama kemudian Wendy pun membuka pintu, aku mengintip dari sela-sela pintu yang mulai terbuka, terlihat seorang lelaki berada di dalam kamar kosnya.

“Eh ada Ari”, ucapku.

Ari merupakan mahasiswa teknik sipil semester 5 di kampusku, dia merupakan sosok yang humoris.

“Mana  David dan Olive?”, tanyaku kepada Wendy.

“Oh.. mereka masih di kampus, sebentar mereka kesini Len”, jawab Wendy sembari mempersilahkanku masuk.

Akupun duduk di dekat pintu, di pojok kiri ruangan terdapat Ari yang sedang duduk sembari sibuk mengutak-atik gitar akustik milik Wendy. Wendy yang masih setengah sadar kembali merebahkan badannya di kasur. Seakan hari ini adalah hari bermalas-malasan baginya. Gilang yang berada di tengah-tengah ruangan sedang asyik bermain mobile legends. Gilang merupakan teman seangkatanku di kampus hanya saja kami berbeda jurusan, Dia merupakan mahasiswa teknik sipil sama seperti yang lainnya.

“Eh jalan yuk, aku bosan nih enggak ada kegiatan yang dilakuin di hari weekend gini”, ucapku.

“Jalan ke pantai tanah kuning aja yuk!”, sahut Ari.

“Arrgh ... terlalu jauh, mana jalannya rusak, enggak deh enggak”, ucap Gilang sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Walaupun tatapan matanya masih tertuju pada game mobile legends yang ada di layar handphone-nya.

“Ke Berau aja yuk”, ucap Wendy.

“Berau? kejauhan Wen, yang ada malah kita yang capek di jalan”, pungkasku.

Tidak berapa lama kemudian. Olive pun datang …

“Hei, sudah pada ngumpul aja”, ucap Olive sembari membuka sepatunya di depan pintu.

Olive merupakan adik tingkatku semester 1 yang baru saja tahun ini diterima menjadi mahasiswa teknik sipil. Diantara kami berenam hanya aku saja yang berbeda jurusan, it's okey. 

“Eh Olive, Liv jalan yuk! Punya ide enggak tempat yang bagus untuk dikunjungi ?”, ucapku.

“Emang kalian pada mau pergi kemana?”, tanya Olive yang masih penasaran dengan pertanyaanku tadi.

“Kemana aja deh yang penting bisa healing”, ucapku.

Olive pun berpikir keras, seakan mencari solusi terbaik buat healing.

“Eh kenapa enggak hubungi David aja, si David kan sering jalan-jalan, siapa tau dia punya rekomendasi yang bagus untuk healing”, ucap Olive.

“oh iyaa yaa benar juga”, akupun langsung merogoh hamdphone yang ada di saku celanaku mencoba menelpon David.

“David lagi dimana?”

“Nih lagi mau ke tempatnya Wendy”,

“oh mau kesini juga, oke deh aku tunggu”, ucapku.

15 menit kemudian, David pun datang.

Belum lagi David melangkahkan kakinya masuk ke dalam kos, aku sudah mencercanya dengan sebuah pertanyaan.

“Vid, jalan yuk?”, ucapku.

“jalan kemana?”, tanya David.

“Kemana aja deh, bosen nih di Tanjung mulu”, ucapku sambil menghela napas.

“Eh bagaimana kalau kita pergi mendaki ke Gunung Rego saja”, ucap David kepadaku.

"Mendaki ! jauh enggak tempatnya?”, tanyaku yang mulai penasaran.

“Deket Len, enggak jauh. Mending kita kesana aja yuk, tempatnya masih asri belum banyak diketahui orang juga”. David yang mencoba meyakinkan kami semua.

“Oke… oke.. ayo kita kesana”.

Akhirnya, tanpa berpikir panjang kami semua bergegas menyiapkan perlengkapan dan logistik untuk pendakian. Tidak lupa juga aku membawa tracking pole. Pendakian dengan persiapan yang super singkat, hanya dalam kurun waktu kurang dari sejam, kami berkumpul kembali di kossan David.

Tidak seperti pendaki pada umumnya yang membawa peralatan khusus camping, justru yang kami bawa hanyalah ransel dengan berat 25 liter berisi perlengkapan pribadi dan logistik, terpal biru, hammock, sebilah parang untuk menebas rumput, dan 4 buah jerigen yang berisi air minum. Benar-benar diluar ekspektasi. Jarum jam menunjukkan pukul 12.00 Wita, kami pun bergegas berangkat. Perjalanan menuju Gunung Rego membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam setengah dari Tanjung Selor sesampainya di pos penjagaan David dan Gilang pun turun dari motor menghampiri penjaga pos untuk menanyakan arah jalur pendakian. Penjaga pos pun memberikan rute jalur yang harus kami lewati di secarik kertas. “Terlihat seperti peta yang ada di film kartun Dora”, ucapku.

Kami pun menelusuri jalan yang masih beragregat tanah melewati perkebunan sawit, terdapat persimpangan jalan dan kami pun berhenti sejenak.

“Kita lewat mana Vid”, tanya Gilang kepada David yang sedang melihat rute jalur di kertas.

“Kalau dari rute ini sih, kita mesti lewat kanan”, ucap David sembari melihat rute pendakian yang telah diberikan oleh penjaga pos. Kami pun melanjutkan berjalanan hingga akhirnya kami sampai pada satu titik pemberhentian, terlihat ada motor terparkir di area kebun sawit.

“Kita parkir motor di sini aja, motor enggak bisa masuk ke dalam lagi nih,” ucap David.

Kami pun melanjutkan pendakian dengan berjalan kaki. Karena David merupakan yang paling tua diantara kami akhirnya kami memutuskan David sebagai leader dalam pendakian ini. David berjalan di depan barisan menebas semak belukar yang menutupi jalan kami menggunakan sebilah parang yang telah dibawanya. Sudah 20 menit kami berjalan menelusuri semak belukar tapi tidak juga menemukan bekas jejak pendaki lain. Langkah kaki Gilang, Ari dan Wendy mulai sempoyongan karena lelah membawa jerigen berisi air, begitupun aku dan Olive. Terik matahari yang sangat menyengat seakan membakar kulit kami. Keringat yang terus saja keluar dari pori-pori kulit membuat kami ingin menyerah. Aku mengamati pemandangan di sekeliling, sejauh mata memandang hanya hamparan pohon sawit yang dikelilingi oleh semak belukar dan satu gunung yang lumayan tinggi di antara lainnya yang berada di bagian arah kiri kami. David yang masih terus saja menebas rumput liar, tanpa kenal lelah untuk membuka jalan pendakian ke arah kanan. Disaat David sedang mengarahkan parangnya ke arah semak, aku pun memberhentikan langkah kaki.

“Vid, kita enggak salur jalur?, gunungnya di sebelah kiri loh itu”, ucapku dengan napas yang setengah ngos-ngossan.

“Enggak ini bener jalurnya”, David tetap kekeh dengan keyakinannya sendiri.

Aku pun mencoba meyakinkan David kembali. “Vid, coba perhatikan baik-baik bagian kanan enggak ada gunung hanya ada bukit, kita salah jalur”, ucapku.

Gilang, David, Ari dan Olive pun memperhatikan posisi gunung.

“Iya bener Len, kita salah jalur!”, ucap mereka berempat.

“Arrggh shiiitttt …. Sudah jauh mendaki begini malah salah jalur,” gerutu Olive sembari duduk di hamparan rumput bersama David, Ari dan Gilang yang sudah kepanasan, mencoba mengipas badan mereka dengan daun kering berukuran besar.

Setelah perdebatan yang cukup alot. Akhirnya, kami berenam memutuskan untuk kembali ke pos penjagaan. Sesampainya di pos penjagaan Aku dan Gilang pun bertanya kembali ke penjaga.

“Pak, ini benar jalur pendakiannya ke arah ini, kami tadi sudah jauh mendaki ke arah kanan justru tidak ada bekas jejak pendaki lain”, ucap Gilang.

“Kalian di simpangan belok mana?”, tanya petugas kepada kami.

“Kami belok kanan pak”, ucapku.

“Wah kalian salah dek, seharusnya kalian belok ke kiri”.

“oowh begitu yaa pak, baiklah pak. Terima kasih pak”.

Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi, sesampainya di simpangan kami pun berbelok ke arah kiri. Tidak berapa lama, kami pun melihat tanda lokasi yang menunjukkan jalur pendakian Gunung Rego. Selembar papan yang terpasang di kayu tertulis jelas ketinggian Gunung Rego yang memiliki ketinggian 480 Mdpl dan arah panah yang menunjukkan arah masuk Gunung Rego.

“Akhirnya kita sampai juga”, ucap Olive yang tersenyum sumringah.

Perjalanan menuju kaki gunung pun dilakukan, aku melirik jam tanganku yag sudah menunjukkan pukul 14:15 Wita. Kami telah menyusuri jalan kurang lebih 25 menit terlihat langit yang mulai gelap dan berawan seakan menandakan akan turun hujan lebat dan benar saja tidak berapa lama kemudian rintik-rintik hujan pun turun membasahi tubuh kami. Tidak ada tempat untuk berteduh akhirnya kami memutuskan untuk tetap melakukan pendakian. Gilang dan Ari berjalan lebih dulu mendahului kami, langkah mereka terlalu cepat hingga sulit bagiku untuk mengimbanginya. Aku dan David berada di barisan tengah dan Olive bersama Wendy berada dibarisan paling belakang.

Baru pertengahan pendakian napasku sudah terengah-engah. Rasanya seolah napasku seakan mau berhenti.

“Host… host … host .. “ aku terpaksa menghentikan langkah kakiku.

“Lenny, apa kamu baik-baik saja?” tanya David yang kemudian ikut menghentikan langkahnya.

“Napasku enggak kuat Vid, rasanya sudah mau kehabisan napas,” sahutku sembari menyandarkan tubuhku pada sebatang pohon.

“Minumlah dulu!” ucap David sembari menyodorkan sebotol air mineral yang dibawanya. Aku langsung meneguknya tanpa pikir panjang. David mengeluarkan terpal dari tasnya untuk menutupi kepalaku dan kepalanya agar tidak kehujanan. Perjalanan pun kami lanjutkan lagi, sebab aku tak ingin ketinggalan lebih jauh dengan Gilang dan Ari.

“Aku akan mencarikan jalan yang landai untukmu, Sebetulnya kalau ingin cepat, kita bisa pakai jalan yang terjal. Tapi untukmu, aku akan mencarikan jalan yang lebih landai,” jelasnya.
“Maaf ya, pasti aku jadi merepotkanmu deh. Andai saja fisikku seperti mereka, pasti kita tidak tertinggal jauh seperti sekarang,” ucapku cemas.
“Kamu ngomong apa sih? Udah! Perhatikan saja jalanmu, jangan ngomong yang bukan-bukan.”

Perjalanan yang tadinya terasa sulit kulalui, kini terasa sangat mudah. Dalam setiap perjalanan, David terus menggenggam tanganku. Ia bahkan tak membiarkan tanganku lepas dari tangannya. Pernah sekali tanganku terlepas, waktu aku terpeleset. Lantaran jalanan yang licin, akibat air hujan. Namun dengan sigap cowok tinggi semampai itu langsung meraih tanganku.
Bersama dia, pendakian ini pun membuatku merasa aman. Aku jadi lebih terjaga. Sebab David selalu siap menjagaku dan tidak pernah melewatkan sedetik saja untuk memantau keadaanku. Dalam setiap istirahatku, ia juga tak lupa menyodorkan minuman yang dibawanya.

Senja begitu dingin, aroma tanah basah yang masih menyeruak. Jalanan pendakian yang mulai terhalang oleh redupnya cahaya sang surya. Langit mulai berubah warna, seakan siap menyambut datangnya waktu malam.


“Berhati-hati Len, akar pohon yang kamu pegang licin,” celetuk David.
“Iya,” sahutku mengangguk pelan.
“David, bisakah kita istirahat sebentar?”
“Tentu saja. Tapi sebaiknya kita naik sedikit lagi, di depan sedikit landai tanahnya.”
Mau tak mau, aku harus tetap memperkuat langkah dan napasku. Tak lama kemudian, tibalah di tempat yang dimaksud oleh David. Kami beristirahat sejenak. Setelah cukup beristirahat, kami bergegas melanjutkan perjalanan lagi. Setelah beberapa menit berjalan, nampak awan mulai gelap. Jalanan pun jadi mulai tak terlihat. “Bagaimana ini?” gumamku kebingungan.  Sementara David tetap saja menarik tanganku dan memintaku untuk mengikuti jejak langkahnya. Lelaki itu lagi-lagi tak membiarkanku jalan sendiri. Ia terus saja menggandeng tanganku. Macam sudah ada perekat, tangan kami selalu menempel.

Tidak berapa lama terdengar suara Gilang dan Ari yang sudah sampai lebih dulu di puncak gunung, Aku dan David mempercepat langkah kami, hujan pun sudah mulai beranjak reda, Terpal yang kami pakai, David kemas kembali. Akhirnya pendakian kami berakhir juga. Ya, aku dan David telah sampai ke puncak. Terlihat Gilang dan Ari yang sedang memasang hammock di pohon. Tidak berapa lama Olive dan Wendy pun sampai di puncak juga.

“wah.., benar-benar sepi, hanya ada kita berenam”, ucapku.

“seperti VVIP bukan”, sahut Gilang yang tersenyum sumringah.

“aarghh kamu lang, yang benar saja”, pungkasku.

Olive mengajakku naik ke atas pohon untuk melihat pemandangan dari atas tetapi aku menolak ajakan Olive karena aku mesti mendirikan tenda. David menghampiriku dan mengatakan kepadaku, “Len, tinggal aja tendamu biar aku dan Wendy yang akan mendirikan tenda” ucap David sembari menunjuk Wendy yang berada di belakangnya.

“Baiklah, aku pun mencoba naik ke atas pohon bersama Olive, perlahan kami memanjat dengan memegang kayu yang telah tersusun rapih hingga ke atas seperti menyerupai tangga, di atas pohon terdapat sebuah tempat duduk dari susunan bambu dan kayu yang sengaja dibuat oleh pendaki lain yang telah lebih dulu mendaki ke puncak ini.

Sesampainya di atas terlihat pemandangan yang sangat luar biasa indah, sejauh mata memandang terlihat hamparan hijau pepohonan dan samar-samar cahaya senja yang seakan malu menampakkan gemerlap cahaya jingganya.

Waktu terus berlalu cuaca sore ini ini memang benar-benar sangat dingin terasa menyayat kulit. Dinginnya merasuk hingga ke bagian dalam kulit. Aku dan Olive pun kembali turun ke bawah. Guna mengatasi cuaca yang amat dingin, Ari dan Gilang segera memasak air. Teh dan kopi pun siap dinikmati.

Baru akan meneguk secangkir teh panas buatan Ari. David memanggilku.

“Len, kemarilah! Tendanya sudah jadi!” seru David memanggil. Gagal deh, aku harus segera menuju ke tenda yang dibuat oleh David.
“Masuklah!” serunya dari luar tenda. Sontak aku masuk kedalam tenda. “Kamu pasti lapar kan?! Tenang saja, kita akan buat pop mie!” imbuhnya kemudian.
David segera memasak air. Dibantu oleh Wendy yang menuangkan air ke dalam panci. Sementara aku hanya menyaksikan mereka memasak.
Tak lama kemudian air mendidih. David lekas menuangkan air yang mendidih tersebut ke dalam gelas-gelas pop mie.
“Nah, sekarang makanlah ini! Biar kamu tidak lapar!” ia menyodorkan segelas pop mie itu padaku. Aku langsung memakannya secara pelan-pelan bersama dengan yang lainnya juga.

“Beginilah kalau digunung!” celetukan David menggema di telingaku. Celotehan Gilang dan Ari membuatku dan kawan lainnya yang berada di luar tenda tertawa terbahak-bahak. Kami tak bisa berhenti dibuatnya tertawa. Ya begitulah Gilang dan Ari, sedari dulu tidak ada yang berubah darinya. Ia memang suka sekali membuat candaan yang tak masuk akal. Sampai ujungnya siapapun yang diajaknya mengobrol pasti terpingkal-pingkal.
Usai bercanda tawa, aku tak bisa mengingkari diriku. Mataku sudah mulai mengantuk. Melihat hal ini, David lekas menyuruhku untuk tidur lebih dulu. “Tapi kamu gimana?” celetukku.
“Tenang saja! Kalau jam segini aku masih belum bisa tidur! Kamu tidurlah duluan,” pungkasnya. Aku pun masuk ke dalam tenda.

Entah apa yang terjadi, aku tak bisa tidur. Di luar terdengar suara angin kencang. Aku semakin khawatir melihatnya. Sementara Olive tertidur nyenyak di sebelahku. Tapi aku tak bisa menahan kekhawatiranku. Akhirnya kuputuskan untuk keluar tenda. Di saat aku keluar tenda terlihat David, Wendy, Gilang, dan Ari yang masih duduk menghadap depan api unggun, aku pun menghampiri mereka.

“Kalian belum pada tidur!” seruku.

“Belum Len, kamu kenapa malah keluar tenda”, tanya David kepadaku.

“Aku enggak bisa tidur”, ucapku.

Aku menghampiri mereka yang berada di depan api unggun. “Eh, kalian pada dengar enggak suara angin ribut itu?”, tanyaku yang masih penasaran kenapa tidak ada angin yang berhembus di luar tenda.

“oh angin itu, itu hanya terjadi di bahu gunung Len”,  jawab Ari. Angin kencang yang aku dengar dari balik tenda ternyata hanyalah angin yang berhembus di bahu gunung, terdengar pula suara gemericik hujan dengan derasnya tetapi air hujan tidak sedikitpun membasahi puncak gunung. Unik sekali gunung ini, pikirku. Akhirnya aku pun mengobrol dengan mereka berempat hingga larut malam ditemani dengan alunan suara jangkrik dan hewan-hewan kecil yang berada di pepohonan yang saling bersahut-sahutan. Api unggun mulai redup aku kembali tidur ke tenda sementara David dan yang lainnya kembali tidur di hammock yang bergantung di pohon.

Kabut belum berganti dengan aroma sukma. Matahari tampak mengintip dari balik gumpalan-gumpalan awan kelabu, seperti berusaha memberikan sedikit demi sedikit kehangatan di pagi yang terasa dingin ini. Kubuka korsleting tenda, terlihat masih sepi di luar, aku pun berjalan menuju ke arah hammock tempat Gilang, David, Ari dan Wendy tidur. Aku pun  mencoba membangunkan mereka dengan menggoyangkan ayunan hammock yang bersusun empat.

Jam menunjukkan pukul 7.00 pagi, Aku, olive dan Wendy menaiki pohon untuk melihat keindahan semesta, kami mesti naik bergantian karena kayu yang menjadi tempat kami duduk di atas pohon tidak mampu menopang banyak orang. Di atas ketinggian 480 Mdpl kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa indah, yang mungkin hanya bisa dilihat pada ketinggian ribuan meter, tapi di Gunung Rego ini kami bisa meliihat keindahan gumpalan-gumpalan kapas putih yang menyelimuti semesta seakan kami berada di negeri dongeng. Cahaya surya bersinar menerobos menerangi gumpalan-gumpalan awan tersebut. “Benar-benar indah”, ucapku.

Usai menikmati keindahan gunung dan berfoto-foto selfie bersama. Akhirnya kami memutuskan untuk turun. Kami membereskan barang-barang termasuk membawa sampah yang ada di sekitar sana. Siang ini kami memutuskan untuk turun. Kami menuruni jalan setapak, melewati pepohonan besar, sambil bercanda riang tak terasa di pertengahan jalan kami disuguhkan lagi oleh pemandangan hamparan pohon sawit yang bersusun rapi baris berbaris. Kami beritirahat sejenak dan melanjutkan kembali perjalanan menuruni kaki gunung. Sesampainya di basecamp tempat kami memarkirkan motor, kami pun beranjak keluar perkembunan dan kembali pulang. 

***