Menjadi Kaya: Mengamini Sebuah Label
Jangankan bermimpi. Firasat pun tidak. Tahu-tahu saya terdetek, dan dimasukkan, dalam senarai buku 101 Tokoh Dayak Jilid 3 (Desember 2019).
Apa pasal?
Ternyata, saya terindikasi punya senoktah sumbangsih bagi kemajuan dan peradaban orang Dayak. Contoh bahwa, siapa pun dia, bisa menuju takdirnya untuk sukses. Kata Penulisnya, di sanalah saya menjadi “news”, bernilai. Sebab dari tiada menjadi ada.
Aku anak penoreh karet. Bemodalkan "dengkul", nekad dan berani datang ke ibukota. Kejam, memang! Tapi saya berupaya mengubah nasib. Kemiskinan ibarat pendarahan, kata salah seorang pegiat ekonomi kerakyatan di Kalbar. Karena itu, harus dihentikan.
Bayangkan! Dari dusun ke kota berbekal hanya dengkul saja. Dan menjadi seperti yang sekarang ini. Bahwa anak kampung bisa hidup di Jakarta saja, sudah prestasi. Namun, supaya tidak terkesan “menyombongkan diri”, berikut narasi profil saja di buku 101 Tokoh Dayak itu (halaman 232 - 235 ). Saya “Aminkan!” saja judulnya. Bukankah itu sebuah doa?
Berikut ini narasi di buku itu.
Miliuner Muda Penoreh Karet
Tak banyak anak muda Dayak bernyali, sekaligus berani mengadu nasib di Jakarta. Pasalnya, jika gagal dan terlantar, tak berani pulang, lantaran dirundung aib menanggung malu. Dan akan mendendangkan siang malam nyanyi “Siapa Suruh Datang Jakarta”. Oleh sebab itu, pemuda yang berani datang bertarung masa depan di ibukota negara, termasuk langka.
Supardius anak muda Dayak langka itu. Pertama menginjak kaki di Jakarta pada 2003, Pardi –panggilan akrabnya— usianya belum kepala 2, masih belia, 19 tahun. Di usia remaja, ia berani meninggalkan tanah kelahiran, Kampung Cempedak, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Ayah bunda ugahari. Sehari-hari peladang. Bercocok tanam padi, palawija, sayur mayur di tanah yang tak begitu subur.
Selain itu, orang tua juga menyadap karet, jika tidak hujan, di kebun karet belakang rumah yang sederhana, beratapkan rumbia.“Sejak SD aku sudah biasa diajak noreh karet bersama Bapak. Kerja keras banting tulang dan tidak manja, menjadi ritual kehidupanku,” kenangnya.
"Matahari masih bersembunyi dalam gelap, baru jam empat, aku sudah harus bangun ikut ayah noreh karet."
Pardi mengisahkan, pada awal mula ikut ayah nyadap karet, ia belum terampil. Masih mulai belajar. Itu sebabnya, ayah menugaskannya mengambil “kulat-kulat” (bekas lateks mengalir di batang karet yang kemudian menjadi kering). Praktis, tak ada waktu yang tidak bermanfaat. Pulang nyadap karet pun, Pardi kecil masih memetik pakis di kiri kanan jalan untuk sayur di rumah. Setelah itu, baru Pardi ke sungai untuk mandi, kemudian pergi sekolah.
Ia menamatkan Sekolah Dasar 27 Cempedak. Malangnya, oleh sebab SMP belum ada di kampungnya, Pardi puber melanjutkan ke SMP Terbuka. Ia belajar mandiri di rumah modul-modul pelajaran. Berkat ayah yang guru Pemberantasan Buta Huruf (PBH), Pardi remaja pun diajari guru PBH.
Aku anak penoreh karet. Bemodalkan "dengkul", nekad dan berani ke ibukota. Kejam, memang. Tapi saya berupaya mengubah nasib. Kemiskinan ibarat pendarahan, kata salah seorang pegiatan ekonomi kerakyatan di Kalbar. Harus dihentikan.
Pada musim buah durian, Pardi tak malu-malu. Ia mencari di tembawang buah berduri itu, menjualnya ke pasar, yang tidak laku dijadikan tempoyak. Hasil jualan diserahkan ke mama untuk belanja dapur.
Tamat SMP, ia berniat melanjutkan pendidikan menengah atas di ibukota kabupaten, Sanggau. Ia mendaftar, dan diiterima di SMK Tridarma. Malangnya, karena ayah tak sanggup membiayai, ia tak bisa mendaftar ulang waktu kenaikan ke kelas II. Tak hendak putus asa, dan bersikeras tetap sekolah, Pardi pun ikhlas menjadi kuli kasar di sebuah toko bangunan.
Setahun menjadi kuli bangunan, Pardi pindah kerja pada perusahaan air minum isi ulang. Ia bertugas mendorong gerobak. Membawa botol-botol bekas, untuk kemudian dibersihkan, dan digunakan lagi, untuk isi ulang.
Namun, perjalanan hidupnya berubah. Tatkala bertemu seorang pendeta Gereja Bethel Indonesia (GBI), Moses Hasibuan. Sang pendeta mengajaknya kuliah di Sekolah Tinggi Teologia IKSM SA, Jakarta. Ia pun menantang Jakarta, ibukota yang disebut-sebut lebih kejam daripada ibu tiri.
Baca Juga: Kisah Anak Transmigran yang Bercita-cita Jadi Presiden
Tiba di Jakarta, 2003, ia mengantongi bekal uang Rp200.000 dari sang penginjil GBI. Ia tinggal di asrama mahasiswa di Condet, Jakarta Timur. Sembari menjadi guru Sekolah Minggu, Pardi berkanjang pada pilihan hidup, dan tetap tegar menantang Jakarta.
Menyandang gelar S-1, ia mendapat kesempatan jadi guru SMP milik gereja. Ia mengajar pelajaran Sosiologi dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Lama-lama, ia masuk dunia marketing. Pak Wahyu mengajaknya bergabung sebagai staf marketing pompa air untuk gedung-gedung tinggi.
Ketika mendapat bonus Rp10 juta dari perusahaan, pada 2012, Pardi yang mulai tercelik di dunia usaha, berpikir usaha mandiri. Ia pun berdiskusi dengan sang tunangan, Heny, dara kombinasi Dayak-Cina dari Sintang, membuka usaha. Atas jerih payahnya, usaha free lance sales, talenta pun berlipat menjadi sekian dinar.
Kran rezeki, setelah itu, seperti terus mengalir terbuka untuknya. Tender demi tender didapatnya, hingga bilangan angka miliaran rupiah.
Kini anak kampung penoreh getah berhasil menundukkan Jakarta. Bukan seperti kacang lupa pada kulitnya. Pria bertinggi badan 170 cm, dengan bobot 70 kg, ini tetap ugahari. Di keluarga besar Dayak asal Kalbar (Forum Dayak Kalbar Jakarta), Pardi aktif. Lelaki kelahiran 15 Februari 1984 larut dengan saudara-saudara seasal. Tak tampak ia seorang miliuner.
Barangkali latar dan masa lalunya membuatnya demikian. Baginya, lebih baik dikira miskin tapi kaya. Daripada sebaliknya.
Lalu pada tabloid Suara Borneo (Agustus-September 2015), di rtubrik "Kesaksian", profil kisahan hidup saya "menjadi", dimuat 2 halaman full.
1. Mental Baja Membawanya Menjadi Milyarder.
2. Tender Pertama, Motor Diikat Tali Rapia.
Saya pikir-pikir, benar adanya. Kita menjadi seperti apa yang kita pikirkan.
***