Sosok

Kisah Kesaktian Tohunjung dan Nyaik Kundik

Sabtu, 16 April 2022, 12:12 WIB
Dibaca 1.125
Kisah Kesaktian Tohunjung dan Nyaik Kundik
dokpri

Sekitar akhir abad ke-19 silam. Pada masa penjajahan Belanda di Kalimantan. Kakek buyut kami Patih Suta Kumbang, tetua Kampung Mensuang menyelenggarakan pesta dalok.

Pesta dalok dilakukan untuk membersihkan arwah / jiwa sanak keluarga yang sudah meninggal.

Kala itu rumah penduduk umumnya berbentuk "Behtang". Ketinggian tiang behtang ada yang mencapai sekitar 20 meter dari dasar permukaan tanah. Di sekeliling behtang dibangun "kuhtak" semacam benteng untuk perlindungan warga dari musuh atau kayau.

Bahan kuhtak terbuat dari kayu "tobolion". Kayu ini adalah kayu yang kuat dan tahan terhadap hujan dan panas. Kayu ini adalah kayu kebanggaan suku Dayak Uud Danum.

Pada saat acara dalok sedang berlangsung, datang mata-mata memberitahu bahwa di "Bihtah Kerang" (sekitar 7 menit) berjalan kaki dari tempat acara dalok, ada rombongan penjajah Belanda yang baru tiba.

Bihtah Kerang adalah nama tempat penyeberangan sungai sebelum sampai ke lokasi.

Tentara Belanda tidak langsung menyerbu ke tempat acara. Mereka memanfaatkan oknum penduduk setempat yang mau berkhianat sebagai "opan maram" (pengintai/mata-mata), untuk memata-matai situasi dan lokasi.

Di antara penduduk setempat ada seorang lelaki bernama Tohunjung. Tohunjung adalah seorang lelaki perkasa. Ia memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi.

Ia bisa dengan mudah membengkokkan "uwoi marou" (rotan besar yang berukuran lengan orang dewasa) dengan lengannya sendiri.

Ia mengetahui bahwa di antara penduduk yang menghadiri acara dalok ada mata-mata tentara Belanda.

Untuk menciutkan nyali mata-mata tentara Belanda, ia "nopenjuk" (melompat dari bawah ke atas) dari tanah ke atas teras behtang layaknya orang terbang.

Melihat hal tersebut diam-diam mata-mata Belanda kembali melapor kepada pimpinan tentara Belanda, tentang situasi termasuk keberadaan seorang pemuda gagah perkasa bernama Tohunjung.

Beberapa penduduk lelaki dewasa membuntuti pengintai Belanda sampai ke Bihtah Kerang. Di sana terjadi kontak fisik sehingga menyebabkan tewasnya 3 pimpinan tentara Belanda. Tentara yang lain melarikan diri. Ketiga pimpinan Belanda tersebut oleh orang-orang kampung disebut panglima.

Konon kepala pimpinan tentara Belanda diambil dan dijadikan sebagai "tohucak toras". Tohucak toras adalah tumbal supaya toras dapat didirikan.

Toras adalah sejenis tugu peringatan/ penghormatan kepada arwah keluarga yang telah meninggal dan bersifat sakral serta dikeramatkan.

Bahan toras tersebut dibuat dari kayu belian/ulin yang sudah mati dengan diameter kurang lebih "tahpas ngahap" orang dewasa. Ukuran tahpas ngahap adalah jika kedua tangan direntang melengkung seperti hendak berpelukan tetapi kedua ujung jari tangan kanan dan tangan kiri tidak dapat saling bersentuhan.

Panjang atau tinggi toras tersebut mencapai sekitar dua puluhan meter. Sampai sekarang belum diketahui pasti berapa diameternya. Sebab masyarakat setempat hingga saat ini masih memegang teguh kepercayaan akan pantangan mengukur dan kontak fisik dengan toras.

Dulu pernah ada tamu dari luar yang mencoba mengukur besar toras dengan cara merentangkan tangan seperti orang hendak memeluk, dan orang tersebut langsung sakit.

Acara Dalok pun berlangsung kembali. Pada hari "lehkas" (hari H) lubang untuk menancapkan toras sudah digali. Tumbal sudah dimasukkan ke dalam lobang. Orang-orang hendak mendirikan toras. Namun mereka mengalami kesulitan. Karena toras terlalu panjang dan besar.

Tohunjung pun yang adalah seorang lelaki perkasa tidak mampu melakukannya. Tersebutlah di antara penduduk yang hadir ada seorang perempuan bernama Nyaik Kundik. Beliau adalah seorang nenek yang sederhana tetapi memiliki ilmu tinggi.

Tetua kampung bersepakat meminta bantuan kepada Nyaik Kundik. Nyaik Kundik bersedia membantu. Orang-orang diminta tenang.

Mulut Nyaik Kundik komat-kamit membaca mantra. Dengan menyebut sebaris kalimat "ngonyahpan" toras dengan mudah dapat didirikan.

Ngonyahpan adalah mengucapkan kalimat berupa kesaksian atau pengalaman hidup yang unik. Unik karena seperti tidak masuk akal tetapi benar terjadi.

Di toras tersebut dipahat tiga garis melintang sebagai pertanda bahwa pada saat pendirian toras ada kepala manusia sebagai tumbal yang diletakkan di dalam galian lobang tempat didirikannya toras.

***

Narasumber: Lusianus Juan Ketua BPD desa Mensuang.