Tjiptadinata Effendi, Pegiat dan Penggerak Literasi di Kompasiana
Bagi kalangan Kompasianer -sebutan para penulis dan blogger yang menulis di blog sosial Kompasiana- nama Tjiptadinata Effendi dan istrinya, Roselina, sudah tidak asing lagi. Ia adalah "bapak" bagi para penulis, khususnya para penulis muda.
Dari tangannya, sudah lebih dari 5.000 artikel yang semuanya ditayangkan di Kompasiana, sekaligus menunjukkan betapa loyalnya ia pada Kompasiana, sebuah blog sosial yang saya dirikan 22 Oktober 2018 lalu.
Taruhlah jika ke-5000 artikel itu dijadikan buku dan masing-masing buku terdiri dari 100 artikel, maka dari Kompasiana saja sudah lahir sekitar 50 buku. Sebuah pencapaian yang luar biasa di kala usianya sudah tidak lagi muda.
Akan tetapi, justeru di sini poin terbesarnya; bagaimana seorang senior dari sisi usia masih tetap produktif menulis artikel, menulis setiap hari seolah-olah menulis itu sudah melekat menjadi keseharian sebagaimana makan dan beribadah.
Apa saja bisa ia tulis. Kebanyakan peristiwa dan teladan kehidupan, apakah peristiwa yang dilihat dan dialaminya sendiri atau sekadar membaca dari media massa dan media sosial. Ide menulis tidak pernah padam.
Maka ketika Ikhwanul Halim meminta saya menulis sambutan atau kata pengantar untuk kompilasi 150 penulis Kompasiana, dengan hati saya meluluskannya. Bukan apa-apa, cerita tentang Pak Tjip -demikian saya biasa memanggilknya- sudah ada di kepala, saya tinggal menulisnya dengan cara berbicara, merekamnya menggunakan aplikasi Google Voice di WA, lalu apa yang saya ucapkan pun sudah muncul dalam bentuks teks. Tinggal edit sedikit. Selesai.
Mengapa saya lancar bercerita secara verbal, karena kenangan dan ingatan saya akan sosok teladan ini sudah tertanam di pikiran, tinggal menceritakannya saja.
Menghimpun 150 Kompasianer untuk menulis dengan satu fokus yang sama tidaklah mudah, sebab ada berbagai ragam karakter di Kompasiana, latar belakang berbeda dan preferensi politik berbeda. Namun menulis sosok Pak Tjip, semua atribut itu hilang dengan sendirinya, yang ada adalah rekaman kiprah Pak Tjip saat menuangkan pikiran dan pengalamannya di Kompasiana.
Untuk itu salut layak disampaikan kepada Mas Ikhwanul Halim yang berinisiatif membukukan sosok teladan yang kini mukim di Australia ini. Buku setebal 305 halaman ini diterbitkan oleh PiMedia, yang boleh jadi kelanjutan dari Penitia Media yang sebelumnya digagas almarhum Thamrin Sonata, sebagaimana sempat diulas dalam kata pengantarnya.
Dari 150 Kompasianer tidak selalu dalam bentuk artikel, namun ada pula yang berbentuk puisi. Pokonya enak dibaca dan semua penulis punya kenangan berbeda mengenai sosok Pak Tjip.
Dengan upaya membukukan tulisan daam bentuk "biorafi keroyokan" ini sekaligus menunjukkan, Kompasiana itu adalah harta karun yang belum tergali seluruhnya. Buku berjudul "150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi" ini hanyalah salah satunya.
Harus diperbanyak sosok-sosok semacam Thamrin Sonata, Ikhwanul Halim dan Thamrin Dahan (dengan YTPD-nya) di Kompasiana, sosok yang bisa mengorkestrasi para penulis untuk fokus menulis subyek yang sama, kemudian membukukannya.
Atau bisa saja menerbitkan judul buku tematis sesuai peristiwa atau kekinian apapun. Bahkan, seorang penulis pun harus percaya diri untuk menerbitkan sendiri artikel-artikel yang ditulisnya.
Saya menulis tentang buku Pak Tjip ini di media sosial lain yang juga terlibat dalam pendiriannya, yaitu YTPrayeh.com karena situs ini berfokus pada dunia literasi. Tetapi nanti saya mohon izin untuk menayangkan ulang di Kompasiana, di mana komunitas terbesar penulis se-Asia Pasifik berkumpul di sana.
***