Sosok

Leon Agusta| Ketika Sehidangan Diskusi Puisi dengan Saya

Sabtu, 4 Februari 2023, 23:28 WIB
Dibaca 442
Leon Agusta| Ketika Sehidangan Diskusi Puisi dengan Saya
Agusta dan saya semeja diskusi.

Almanak pada masa ketika itu mencatat: 26 April 2012. Sebab terhalang oleh latar kursi dan belakang saya, hari H itu pun, tiada.

Namun, syukurlah. Data digital ada mencatat peristiwanya. Terima kasih Zuckerberg dan Tim Fb yang menyimpan data.

Saya, antara lain menulis demikian:

Merindui suasana seperti dulu lagi: baca puisi, bedah buku, dan bergiat sastra di kampus. Bersama Leon Agusta, bicara ihwal hubungan Jurnalistik-Sastra.

Penyair dengan kumpulan puisi “Gendang Pengembara” ini sejatinya sudah lama saya kenal, sejak SMA. Baru bertatap muka kemudian, dan kemudian pula, hilang kontak karena ia tiada.
Rekan sesama penulis, Ninknik juga tentu merindui bersastra-ria bersama anak2 muda.

Leon Agusta. Ya, nama yang jadi salah satu legenda dalam sastra Indonesia. Sejak SMP, pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, saya telah mengenal namanya.

Pada gambar. Antusias tampak memancar pada roman muka peserta diskusi sastra, khsusunya bedah buku kumpulan puisi Leon Agusta “Gendang Penggembara”. Dihiasi ucap-kata indah, berkleok haluis mendayu penuh nuansa sastra dari MC, Niknik Kuntarto.

Penyair kelahiran 5 Agustus 1938. Di dusun Sigiran, tepi danau Maninjau. Ah, ranah minang dan Riau memang gudangnya para munsyi dan pujangga. 

Apakah ada gen sastrawan di sana?

Tidak juga! Sebab, kata Agusta,
“Bila sungai-sungai bermuara ke lautan
laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku?”

Sesuatu banget. Dari dahulu kala, semasa remaja dan SMA, mengenal namanya hanya dari buku pelajaran. Kemudian saya bisa duduk semeja, berdiskusi, membahas puisi dengannya.

Sudah tentu. Sekaliber Agusta, janganlah kita pakaikan baju kita ke badannya. Maka bukan mengkritik karyanya. Tapi lebih tepat: mengapresiasi. Menghargai. Maka saya "hanya" menempatkan buku, kumpulaan puisinya pada  pakem "puisi dunia" yang lebih dulu saya baca (Taslim Ali, Balai Pustaka, 1953).

Di sana ada makna-lapis dan makna-simbol pada puisi. Hal itu sekadar memenuhi mimbar akademik saja. Bukan untuk kami berdua, tapi untuk floor dan mahasiswa bahasan dan diskusi itu!

Semua puisi Agusta berada pada level sastra. Bahasa simbol serta makna ada di dalamnya. 

Leon Agusta. Sang gendang pengembara!

Ia, beberapa tahun lalu, kembali ke “api biru”. Namun, abadi namanya dalam larik-larik puisi. Seperti  kata peribahasa, “Vita brevis, ars longa”.

Hidup itu singkat. Tapi seni:  abadi!