Birokrasi dan Politik sebagai Jalan Pengabdian (Persamuhan 2)

Tidak terasa waktu beranjak malam. Di luar pusat perbelanjaan kelas atas di jantung Jakarta ini orang-orang berkendaraan mungkin masih terjebak kemacetan, berusaha untuk segera sampai rumah. Ketika kopi sudah mulai mendingin, kata Masri Sareb Putra, diskusi malah semakin menghangat. Gambaran yang tidak terlalu tepat, sebab saya tidak pernah membiarkan kopi menjadi dingin meskipun diskusi belum menghangat. Sama seperti menempa besi, saya cenderung meneguk kopi selagi panas.
Mengapa diskusi dalam setiap persamuhan seperti itu cenderung menghangat dan kemudian memanas seperti mesin diesel bekerja? Jawabannya sederhana, ada beberapa materi percakapan yang tidak menemukan titik temu. Tetapi itu bukan berarti dari sana tumbuh pertentangan. Kadang sebuah topik dapat disepakati bersama, namun ada beberapa subjek yang tidak perlu dikawinkan secara paksa, khususnya dalam pemikiran.
Sebagai penganut filsafat pragmatisme modern Richard Rorty, saya tidak punya pemikiran melankolis dan mendayu-dayu. Saya cenderung mengambil jalan pintas dan tidak berusaha mencari jalan memutar untuk sampai kepada tujuan yang sama. Saya cenderung memahami realitas kekinian, bukan malah menghindarinya. Salah satu topik yang hangat dibahas itu adalah mengenai konsep dan pengertian pensiun (retired) yang akan saya bahas dalam bagian akhir tulisan ini. Sekarang kembali ke… ponsel!
Jika kita sepakati politik adalah seni untuk melayani rakyat, maka seharusnya seorang pemimpin adalah pelayan, bukan pedagang. Yansen yang saya kenal sejak 13 tahun lalu, saat memimpin Kabupaten Malinau sebagai bupati selama dua periode dan berlanjut menjadi wakil gubernur Kaltara, benar-benar menghidupkan filosofi ini. Dalam arti yang benar-benar benar, di mana ia lebih berperan sebagai pelayan dirapada pedagang jika berhubungan dengan kepentingan rakyat. Ia tidak memandang kekuasaan sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk menciptakan perubahan.
Tetapi, Yansen baru merasakan sulitnya menciptakan perubahan pada rakyatnya sendiri, warga Kalimantan Utara, tetapi hal itu harus dilakukannya meski dengan risiko terpental dari putaran kekuasaan. Ia ingin rakyat Kalimantan Utara berubah ke arah yang lebih dengan titik tolak dari rakyat Kalimantan Utara sendiri. Maka ia menawarkan politik tanpa uang atau “No Money Politics” dalam Pilkada, memercayakan Gerakan Masyarakat pada para sukarelawan yang seide dan secita-cita.
Upaya mengubah prilaku politik akar rumput dalam setiap perhelatan Pilkada untuk mencari pemimpin agar bersikap ideologis alih-alih pragmatis sesaat, ternyata belum berhasil. Sebagian besar rakyat Kalimantan Utara masih bertindak pragmatis ketika berhadapan dengan godaan uang politik. Cita-cita dan utopia menjadi kelas kedua.
Yansen merasakan hal itu dan itulah mungkin upaya terakhirnya mengubah moral dan mental warga Kalimantan Utara. Dalam kamus kebaikan, “No Money Politics” yang digelorakannya adalah entri tersendiri yang sulit terhapuskan. Ketika kekuasaan terampas darinya melalui cara-cara yang tidak jujur, ia tidak berputus asa. Ia memilih jalur lain untuk tetap mengabdi.
Keputusannya untuk menjadi "guru bangsa" dan “teladan” bagi setiap orang menunjukkan, Yansen memahami bahwa perubahan sejati tidak hanya datang dari dalam sistem, tetapi juga dari luar. Seorang guru bukanlah sekadar pengajar dalam arti sempit, tetapi seorang pemimpin pemikiran, seorang inspirator, dan seorang pembentuk karakter bangsa. Dengan memilih jalur ini, Yansen ingin menunjukkan bahwa perjuangan untuk membangun negeri dalam pengertian yang lebih luas (baca: tidak sekadar Kalimantan Utara) tidak harus dilakukan dari dalam pemerintahan; ia bisa dilakukan melalui pendidikan, gerakan sosial, dan kepemimpinan moral.
Sebagai seorang pelopor, Yansen tidak ingin sekadar menjadi figur inspiratif yang hanya dikenang dalam wacana. Ia ingin bergerak, menciptakan perubahan nyata di bidang-bidang yang menyentuh langsung kehidupan rakyat. Bidang ekonomi kerakyatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat adat, dan pembangunan daerah terpencil adalah beberapa sektor di mana seorang pemimpin seperti Yansen dapat memberi dampak yang besar.
Menjadi pelopor berarti berani membuka jalan baru. Ini bukan tugas mudah, tetapi dalam sejarah, perubahan besar selalu dimulai oleh individu-individu yang memiliki keberanian untuk melawan arus. Yansen memiliki potensi untuk menjadi salah satu dari mereka—bukan sekadar politisi yang gagal, tetapi seorang pemikir, seorang pejuang, seorang penggerak yang membawa harapan bagi mereka yang percaya bahwa politik seharusnya dijalankan dengan kejujuran.
(Bersambung)