Sabran Achmad | Tokoh Dayak Itu Telah Pergi ke Asalnya
Juni 2016. Ditemani Dr. Suriansyah Murhaini, saudara angkat saya seorang Bakumpai. Saya diantar ke rumahnya. Dia bukan saja saksi sejarah Kalimantan Tengah. Juga pelaku. Pemangku adat. Penjaga kemurnian Dayak: Sabran Achmad.
Dari ayahnda Sabran, saya mafhum. Bahwa tidak ada dikotomi Dayak di Kalimantan Tengah atas sekat agama dan kepercayaan. Cukup berbeda dengan di Kalimantan Barat. Di Kalteng benar. Bahwa garis keturunan, darah Dayak, penciri etnisitas esensial seseorang. Bukan yang lain. Sabran, setidaknya bagi saya, contoh hidup. Bahwa Bhikena Tunggal Ika bukan sebatas simbol. Tapi nyata. Ia seorang Dayak yang Indonesia. Saya mengaguminya.
Kini, pendekar adat, seni, dan budaya Dayak itu telah pergi. Petang tadi (27/04-2021), Sang Khalik memanggilnya pulang. Sabran meninggalkan kebaikan.
Sabran salah satu saksi sejarah pembentukan Kalimantan Tengah. Ia berkisah. Palangka Raya masihlah sebuah kampung kecil bernama Pahandut yang dikelilingi rimba. Sabran turut mengantar Soekarno dan rombongan. Mereka bertolak dari Kabupaten Kapuas, Kalteng menuju Palangka Raya untuk merajut masa depan yang lebih baik. Usaha dan kerja keras itu tidak sia-sia. Palangka Raya akhirnya ditetapkan menjadi ibu kota Kalteng pada 17 Juli 1957.
Dalam perbincangan dengannya, banyak kekayaan sekaligus kearifan suku Dayak terkuak. Bahwa Dayak satu. Agama dan kepercayaan tidak menghapus garis keturunan. Etnisitas ditakar dari hubungan darah. Bukan dari yang lain.
Oleh sebab itu, di Kalimantan Tengah, kita saksikan Dayak kompak. Dayak kualitas (KW) satu, dua, atau tiga; tidak pernah menjadi masalah. Di setiap acara, kita saksikan. Semua mengenakan atribut yang sama.
Salah satu tokoh yang berjasa menyatukan Dayak di Kalimantan Tengah itu: Sabran Achmad. Boleh disandang predikat. Bahwa ia "Bapak pemersatu" Dayak Kalimantan Tengah.
***
Namun, siapa sebenarnya Sabran Achmad?
Sabran Ahmad adalah puak Dayak Ngaju. Ia saksi hidup sejarah Dayak, sekaligus perkembangan Kalimantan Tengah hampir tiga generasi. Panjang umurnya. Usianya hingga menutup mata untuk selamanya 90 tahun. Sabran lahir di Kuala Kapuas pada 1930.
Sebelum ajal mejemput, ia tetap seorang yang bersemangat. Di masanya Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah, semangat, elan vital, itu yang senantiasa diembuskannya. Ia dikenal sebagai pribadi yang siap sedia mengawal masyarakat adat di wilayahnya.
Meski datang dari keluarga mapan, Sabran seorang ugahari. Ia tinggal di rumah sederhana di Jalan Pierre Tendean, Palangkaraya. Hal yang menarik, Sabran adalah satu dari segelintir saksi hidup terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah. Melalui Undang-Undang Darurat No 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swantara Tingkat I Kalimantan Tengah resmi terbentuk pada 23 Mei 1957.
Ide awal terbentuknya provinsi ini agar perhatian pemerintah pusat kepada Kalteng semakin besar. Betapa tidak! Dengan jarak jauh dan medan berat dari pusat, tak terhitung social cost mendirikan provinsi ini.
Dengan mata kepala sendiri, Sabran menyaksikan Soekarno mengunjungi ranah Dayak ketika itu lewat usaha dan perjuangan melelahkan. Soekarno menumpang kapal selama dua hari dua malam menyusuri sungai dari Banjarmasin. Demikian menurut penuturannya.
Ketika itu, terang Sabran, Palangka Raya masihlah sebuah kampung kecil bernama Pahandut yang dikelilingi rimba. Sabran turut mengantar Soekarno dan rombongan. Mereka bertolak dari Kabupaten Kapuas, Kalteng menuju Palangka Raya untuk merajut masa depan yang lebih baik. Usaha dan kerja keras itu tidak sia-sia. Palangka Raya akhirnya ditetapkan menjadi ibu kota Kalteng pada 17 Juli 1957.
Toh sejarah bisa berjalan tertatih-tatih, bahkan berat sebelah, bergantung pada siapa di depan (pusat) yang memimpin. Justru di era otonomi daerah, menurut Sabran, janji pemekaran provinsi Dayak itu dikhianati.
Puncaknya adalah ketika Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah menolak Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Di mata Sabran, Permentan tersebut diskriminatif dan merugikan masyarat adat. Maka selaku tokoh DAD, ia menolaknya keras.
Menurutnya, Permentan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah (pusat) lebih peduli dan berpihak pada investor daripada masyarakat adat. Namun, setelah Kalteng dan pemerintah provinsi terbentuk, Sabran dan rekan-rekan tak lagi dipedulikan.
Kini perjuangan Sabran di dunia telah purna. Selamat jalan ke keabadian! ***