Membangun Dayak Melalui Seni Budaya
Untuk dapat mengenal tentang asal usul dari suku ataupun bangsa yang memiliki suatu budaya yaitu bisa dilihat dari seni yang di tampilkan. Setiap suku atau bangsa mempunyai kekhasan dalam kesenian. Baik itu seni musik, seni ukir, seni suara, alat musik dan simbol-simbol adat lainnya.
Demikian juga dengan Suku Dayak Krayan (lengilo”) yang hidup di lembah dan dataran tinggi Sungai Krayan. Suku Dayak Krayan sampai saat ini tetap mempertahankan salah satu adat budayanya, yaitu melalui sanggar seni yang terorganisir.
Salah satu cara untuk mempertahan dan menghidupkan seni budaya Dayak tersebut yaitu melalui berbagai kesempatan pentas seni budaya. Pentas dalam acara kecil maupun besar yang bernuansa Dayak. Misalnya pesta (irau), pesta perkawinan maupun pesta-pesta budaya lainnya.
Tidak kalah pentingnya juga pada momen-momen penyambutan tamu yang datang ke daerah Dayak seperti yang pernah dilakukan oleh sanggar seni Dayak Ulong Da’a. Sanggar Seni Dayak Ulong Da’a pernah melayani beberapa tamu penting yang datang ke daerah di Provinsi Kalimantan Utara. Para tamu tersebut diantaranya Gubernur dan wakil Gubernur, beberapa pimpinan tinggi TNI,PORI, bahkan Presiden Republik Indonesia, Bapak JOKO WIDODO.
Beberapa waktu yang lalu pada tanggal 16 februari 2021 sanggar seni Dayak Ulong Da’a dipercaya untuk mementaskan seni budayanya bersama masyarakat adat Dayak di Kabupaten Malinau dalam prosesi bersama penyambutan kedatangan Bapak Wakil Gubernur Kalimantan Utara di Kabupaten Malinau. Dr. Yansen TP, M.Si yang di lantik Bersama Gubernur Kalimantan Utara Drs.Zainal Arifin Paliwan,SH.,M.Hum oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, pada tanggal 15 Febuari 2021.
Masyarakat Adat Dayak dari dataran tinggi Borneo Kalimantan Utara dengan penuh syukur dan sukacita menyambut kedatangan Bapak Wakil Gubernur Kalimantan Utara dengan Tarian Perang. Tarian Perang adalah salah satu tarian yang telah terpelihara secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu di Dataran Tinggi Borneo, Kalimantan Utara.
Pada zaman dahulu kala, terutama pada zaman Mengayau bahwa Tarian Perang ini hanya ditampilkan atau dilakukan pada saat upacara Penyambutan Pasukan Perang atau penyambutan kepada seseorang yang telah menang perang. Yaitu saat mereka berhasil mengambil kepala musuh.
Baca Juga: Yansen Tipa Padan, “Outliers” dari Kaltara
Tarian perang tersebut dilakukan sebagai ungkapan kegembiraan, syukur penghormatan Masyarakat Adat Dayak atas jasa, keberhasilan para perjuangannya di medan perang dan atas keberanian dan kepahlawanan yang telah ditunjukkan untuk menjaga dan melindungi martabat dan kehormatan serta keseimbangan kehidupan ditengah-tengah Masyarakat Adatnya.
Namun dengan berjalannya waktu, terutama ketika Agama baru masuk ke tengah peradaban Suku Dayak, maka sejak saat itulah terjadinya pergeseran nilai dan budaya yang cukup signifikan. Jika ada nilai dan budaya nenek moyang yang bertentangan dengan ajaran agama baru itu maka adat leluhur tersebut harus ditinggalkan atau dibuang.
Tidak terkecuali Tarian Perang tersebut juga tenggelam dikarenakan Adat Mengayau Suku Dayak atau budaya suka perang sudah dilarang didalam ajaran agama baru itu.
Tetapi di zaman modern kini, para pencinta adat dan budaya Dayak memandang bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Adat Budaya Dayak yang telah ditenggelamkan dan ditinggalkan tersebut masih sangat relevan untuk terus dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu Sanggar Seni Dayak Ulong Da’a terpanggil untuk menghidupkan lagi Tari Perang tersebut dalam kontek kekinian di Masyarakat Adat Dayak.
Tarian Perang ini hanya dapat ditampilkan secara khusus didalam Upacara Kebesaran Adat Dayak, terutama ditampilkan pada acara penyambutan bagi para tamu-tamu khusus dan terhormat dalam acara-acara besar Suku Dayak, yaitu sebagai tanda penghargaan, penghormatan dan tanda ucapan terima kasih atas kehadiran, jalinan persahabatan dan komitmen hidup berdampingan yang saling menghargai dan hormat-menghormati.
Mengapa dipilih nama Ulong Da’a sebagai nama sanggar seni? Sebab ULONG DA’A atau MONUMEN DA’A yang berdiri tegak tersebut - dan disana terdapat Tulang Tengkorak, Rahang-Rahang, Tanduk dan Gigi binatang asli Borneo yang menempel dari bawah sampai keatas yang dikalangan Suku Dayak ada memiliki arti sebagai berikut:
Pertama, ULONG DA’A adalah sebuah Tanda Kebesaran Adat Dayak yang hidup di Dataran Tinggi Borneo Kalimantan Utara yang dibangun dalam rangka untuk memperingati peristiwa penting dan bersejarah serta melambangkan kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan Suku Dayak. Kedua, ULONG DA’A juga sebagai tanda kebesaran dan kearifan budaya leluhur Suku Dayak di Dataran Tinggi Borneo Kalimantan Utara.
Didirikannya Ulong Da’a tersebut adalah sebagai tanda ungkapan syukur atas ketersediaannya sumber-sumber makanan dan kehidupan bagi keberlangsungan hidup Manusia Dayak itu sendiri. Tanpa ketersediaan berbagai jenis kebutuhan hidup yang baik dan cukup serta berkualitas dalam ekosistem kehidupan Manusia Dayak, maka sangat diyakini bahwa Peradaban Manusia Dayak akan punah.
Sehingga pililihan nama Ulong Da’a bagi sanggar seni ini kami berharap untuk menyampaikan pesan moral kepada kita semua bahwa Suku Dayak mempunyai budaya luhur. Sebuah budaya yang memberi hormat kepada manusia dan alamnya. Tanah, hutan dan sungai di Pulau Kalimantan ini adalah bagaikan sebuah KULKAS BESAR yang menyimpan dan menyiapkan berbagai macam jenis kebutuhan bagi keberlangsungan kehidupan Suku Dayak.
Oleh karena itu kita wajib untuk menjaga keseimbangan hidup yang baik dan berkualitas. Melindungi dan melestarikan budaya. Melindungi dan melestarikan ekosistem bagi ketersediaan sumber-sumber kebutuhan hidup bagi Suku Dayak secara berkelanjutan untuk mewujudkan kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan di Bumi Dataran Tinggi Borneo, Kalimantan Utara.
***