Sosok

Takdir & Peluang

Kamis, 22 September 2022, 07:46 WIB
Dibaca 598
Takdir & Peluang
Manusia memang memiliki garis takdir kehidupan masing-masing tetapi di dalam takdir tersebut terdapat peluang-peluang yang bisa kita ambil ketika kita berani untuk memulainya.

Pukul jam 6 pagi, ayam berkokok saling bersautan bersamaan dengan alarmku yang berdering seakan memekakkan telinga. Aku yang masih setengah sadar mesti memaksakan diri untuk bangun dari tidur nyenyakku. Teringat bahwa pagi ini ada mata kuliah studio perancangan arsitektur IV yang tidak boleh kulewati karena dosen kali ini tidak mengenal kompromi. Aku pun segera bergegas bangun dari tempat tidurku, bersiap untuk pergi ke kampus pagi ini.

Namaku Reni Amanda Lestari. Seorang mahasiswi arsitektur semester 5, Kebiasaanku yang selalu menyendiri dan menghindari keramaian membuatku hanya memiliki segelintir teman tapi itu tidak masalah bagiku karena bukan anak introvert namanya kalau memiliki banyak teman.

Beginilah hidupku setiap pulang kampus sampai malam kerjaanku hanya di depan laptop dan buku. Dibandingkan dengan teman-temanku yang lain dan orang-orang yang lebih memilih berada di luar rumah hanya untuk sekedar jalan-jalan atau berbelanja di waktu jam kosong yang menurut mereka menyenangkan, huuufft tapi tidak bagiku.

Aku melangkahkan kaki menuju kampus, kampus yang terletak di Jalan Merdeka mirip dengan nama kampusku Universitas Merdeka. Orang-orang biasa menyebut kampusku dengan sebutan “Kampus Merah” karena bangunan gedung kampus yang terlalu didominasi dengan warna merah, bahkan genteng bangunan pun berwarna merah.

Sinar mentari menerobos masuk lewat dinding-dinding kaca di ketinggian 5 lantai. Di kampusku hampir seluruh bangunan terbuat dari kaca, dari sinilah aku bisa menikmati hangatnya sang mentari yang beranjak naik menampakkan kemasyurannya. Pukul 07.30  aku pun masuk ke ruangan kelas mengikuti mata kuliah Pak Tito mengenai studio perancangan arsitektur 4. Pak Tito merupakan dosen yang sangat disiplin dan keilmuannya juga memang diperhitungkan daripada dosen-dosen yang lainnya, yang hanya sebagai fasilitator saja dalam kelas. Aku mengikuti perkuliahan dengan seksama. Tak terasa 2 jam berlalu akhirnya satu mata kuliah telah rampung.

Disaat aku sedang mengemas buku catatanku, tiba-tiba saja handphone-ku berdering.

“Ren, kantin yuk!” ajak Arya di telepon.

“Aku lagi males ke kantin Arya”, ucapku.

“Ayolah Ren.. kali ini saja kamu jangan menolak ajakanku, apa kamu tidak bosan di depan laptopmu itu terus ?”

Entah kenapa kali ini aku mengucapkan kata “iya” kepada orang itu, seakan-akan aku luluh pada ucapannya. “Baiklah, tapi aku tidak ingin berlama-lama berada di tempat yang penuh dengan manusia!”

“Iya.. iya.. Kutunggu di depan lift lantai 1 yaa”, ucap Arya.

“Oke”, Jawabku.

Arya adalah salah satu temanku yang mempunyai sifat yang bertolak belakang denganku. Ya dia adalah seorang ekstrovert. Entah kenapa dia bisa betah berteman denganku yang notabanenya bukanlah seorang anak ekstrovert.

Arya merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 5 di kampusku. Ia merupakan seorang anak yang jago public speaking, cocok saja dia masuk jurusan komunikasi.

Aku berjalan menyusuri lorong kampus yang terlihat lumayan ramai dari hari-hari biasanya, terlihat ingar-bingar mahasiswa yang sedang bersenda gurau dengan temannya. Mungkin mereka sibuk. Tak apa, aku tidak terlalu memikirkan itu.

Sesampainya di depan lift kampus, sesekali aku membuka buku, memeriksa apakah ada yang tertinggal ataukah ada yang kurang. Tanpa kusadari, pintu lift terbuka, akupun segera masuk ke dalam lift, memencet tombol satu untuk menuju lobby kampus. Sesampainya di lobby kampus, pintu lift terbuka. Aku melihat mahasiswa sudah mengantri di hadapanku, aku mencoba menerobos kerumunan mahasiswa yang mulai berdesak-desakkan untuk masuk ke dalam lift. Tiba-tiba saja lengan bahuku ditarik oleh seseorang yang mencoba membantuku keluar dari kerumunan tersebut.

“Sorry Ren, aku tarik lengan kemejamu”, ucap Arya.

“Enggak apa-apa Arya, makasih yaa sudah bantu aku keluar dari kerumunan tadi”.

“Iya Ren, sama-sama. Ayok kita ke kantin”

“Ayo …” ucapku.

Aku dan Arya berjalan keluar gedung kampus melewati halaman kampus menuju kantin.

Sesampainya di kantin …

Aku dan Arya duduk di dekat jendela kantin yang berhadapan dengan gedung Fakultas MIPA, terdapat  beberapa mahasiswa yang ada di dalam kantin, tidak terlalu banyak orang, pikirku.

“Kamu mau pesan apa Ren?” Tanya Arya kepadaku.

“Aku pesan segelas coklat panas, Arya”

“Baiklah”, ucap Arya.

Arya pun beranjak pergi dari kursinya untuk memesan cemilan dan minuman yang kupesan. Tidak berapa lama setelah Arya pergi meninggalkanku, Aku melihat dari kejauhan sebuah motor klasik Honda C70 berwarna biru muda melintas di halaman kampus. Helm bogo berwarna hitam dengan tempelan stiker, tubuh berperawakkan tinggi putih dengan lekukan kaus putih dibalut dengan kemeja krem kotak-kotak dan celana jeans hitam, sepatu convers hitam lengkap dengan kacamata hitam. Tak lain dan tak bukan ia adalah Bima, kakak tingkatku semester 7 di Fakultas Teknik.

Bima hanyalah satu diantara ribuan mahasiswa Universitas Merdeka yang termasuk mahasiswa paling populer karena kekritisanya, Sekretaris Jendral Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Universitas menjadikannya sosok Bima sangat mudah untuk dikenali di hampir setiap sudut kampus.

Wajar saja bagi seorang aktivis seperti dia membuat susah bangun di pagi hari. Terlebih Pak Anggoro, Dekan Fakultas Teknik sudah memberi peringatan kepada Bima karena dianggap terlalu banyak aktifitas diluar perkuliahan bahkan memberikan ancaman secara terbuka di depan teman sekelasnya karena sering terlambat bahkan absen dari perkuliahan hanya demi aktifitas kampus.

Dengan sigap dia turun dari motor sesaat setelah dia berhasil memarkirkan motor layaknya pembalap, sambil terus bergumam pada diri sendiri.

“Mampus…. Mapuuusss…. Aku telat….” Gumam Bima.

Dia berlari menyusuri jalan kampus sambil sesekali menerima sapaan kawan-kawan yang memberikan lambaian salam hangat buat Bima. Itu sudah menjadi kebiasaannya jika sedang berada di kampus atau bahkan ketika sedang asyik nongkrong di kafe langgananya. Bima hanya bisa memberikan lambaian tangan atau kode dengan menunjuk jam tangan.

Pandangan mataku yang masih saja tertuju pada Bima.

“Dia lagi.. selalu saja terlambat!” gumamku. Tanpa kusadari Arya menepuk pundakku.

“Siapa Ren yang terlambat” ucap Arya.

“Itu .. si Bima terlambat lagi” sembari memberikan kode pada Arya melalui tatapan mata.

Aku dan Arya duduk bersama, kami mengobrol berbagai hal mulai dari mata kuliah hingga perkembangan politik masa kini. Tanpa terasa hampir sejam kami mengobrol dan tiba-tiba saja suara dering handphone Arya berbunyi. Seketika obrolan kami terhenti. Arya pun mengangkat telpon dari Bima.

“Hallo”

“Arya, kamu dimana ?”

“Aku di kantin Bim, nih ada Reni juga disini”, ucap Arya sembari menatap Reni di sampingnya.

“Ooh oke, aku ke kesana”, ucap Bima. Ia pun menutup telpon dan bergegas ke kantin.

Tidak berapa lama kemudian Bima pun menghampiri Reni dan Arya.

“Hei…kalian berdua sudah lama disini?”, Ucap Bima. Ia pun menaruh tas kecilnya di atas meja dan menarik kursi yang ada di depannya untuk ia duduki.

“Lumayan Bim, adalah sejam kami disini”, ucap Reni sembari menyeruput minuman coklatnya yang sudah tidak panas lagi.

Ketika mereka bertiga sedang asyik mengobrol, tiba-tiba saja pandangan Arya teralihkan oleh sosok yang tak asing baginya.

“eh.. coba lihat disana! Bukankah itu Pak Budi Pradono yaa?”

“Yang mana?” Aku dan Bima pun menoleh kearah luar dari balik jendela kantin yang transparan.

“Eh iya, itu Pak Budi Pradono”, ucapku.

Pak Budi Pradono merupakan seorang arsitektur terkenal yang mendunia berkat karyanya Dancing Mountain House yang merupakan salah satu karya yang dibangun dengan menggunakan rancangan yakni konsep dari borderless home atau yang dikenal dengan istilah rumah tanpa sekat.

“Wah iyaa bener itu Pak Budi Pradono”, ucap Bima.

“Ren, bukankah kamu ngefans banget yaa sama Pak Budi Pradono? Kamu enggak mau nyamperin Pak Bud? Mumpung beliau lagi di kampus kita Ren”, ucap Arya.

“Iya sih, aku memang ngefans sama beliau berkat karya yang luar biasanya tapi aku malu bertemu beliau” ucapku.

“lhoo kenapa mesti malu Ren, ini kesempatan yang bagus untuk bertemu langsung dengan beliau”, ucap Bima.

“Aku malu Bim, banyak mahasiswa disana yang berfoto dengan Pak Budi!”

“Ayoklah Ren, apa perlu aku temanin kesana?”, jawab Bima.

Bima terus saja meyakinkanku untuk berani menghampiri Pak Budi Pradono. Walau aku sudah menolak ajakannya berulang kali, Dia tetep saja memaksaku. Ditambah lagi dengan Arya yang juga berusaha meyakinkanku bahwa adanya Pak Budi disini menandakan bahwa itu merupakan takdir yang Tuhan telah rencanakan dihidupku.

“Ah yang benar saja”, gerutuku.

“Oke..oke.. baiklah aku akan kesana tapi dengan satu syarat” ucapku kepada Bima dan Arya.

“syaratnya apa?”, Ucap Arya dan Bima serentak.

“Syaratnya, kaliana harus temanin aku kesana”.

“Oke kami temanin kesana”.

Kali ini aku tidak bisa lagi menolak ajakan mereka berdua, "aarghh benar-benar membuatku semakin tidak percaya diri", gerutuku. Akhirnya, kami bertigapun beranjak dari tempat duduk berjalan keluar gedung kantin menghampiri Pak Budi Pradono yang berada di depan gedung serbaguna.

Sesampainya di depan gedung serbaguna …

“Permisi pak, maaf pak boleh minta waktunya sebentar teman saya ingin berfoto dengan bapak?” ucap Bima yang mulai membuka pembicaraan deluan dengan beliau.

“Oh boleh”, ucap Pak Budi.

Sosok paruh baya itupun memberikan senyum hangat kepada kami bertiga.

Arya pun mendorong pelan badanku kearah pak Budi. Perlahan akupun berada persis di samping kiri beliau. Bima merogoh saku celananya untuk mengeluarkan handphone dan mengambil beberapa jepretan gambar fotoku bersama Pak Budi.

“Terima kasih pak”, ucapku kepada pak Budi.

“Iya sama-sama”, ucap beliau kepadaku diiringi dengan senyuman hangatnya.

Beliau juga melontarkan beberapa pertanyaan kepadaku hingga akhirnya kami berdua larut dalam obrolan singkat. Aku benar-benar tidak menyangka, beliau menawariku tiket gratis untuk datang pada seminar nasional “Sustainable Urban Renewal” yang beliau selenggarakan di Jakarta Covention Center minggu depan.

“Kalian dengarkan apa yang dibilang Pak Budi tadi kepadaku” ucapku kepada Arya dan Bima yang masih berada disampingku.

‘Iya kami dengar Ren”. Ucap Arya dan Bima yang tersenyum kepadaku.

Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan yang luar biasa untuk mengikuti seminar Pak Budi Pradono secara gratis. Padahal aku tahu bahwa untuk bisa mengikuti seminar beliau, harus membeli tiket yang lumayan mahal bagi kantong mahasiswa sepertiku.

“Ini seperti mimpi bagiku”, ucapku yang masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi tadi.

“Ren, inget ini peluang yang bagus, jangan disia-siain”, ucap Arya yang mencoba meyakinkanku lagi.

Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu langsung dengan Pak Budi Pradono. Seorang yang humble dan murah senyum. Sosok yang sangat membuatku terinsipirasi oleh karyanya yang luar biasa. Karena beliau aku tertarik mengambil jurusan arsitek ini.