Sebiji Sawi
Hari ini, Kota Tanjung Selor tidak seperti hari biasanya, terasa panas terik seakan mentari menyinari bumi menggunakan tenaga surya dari kekuatan ultraman. Terdengar suara gesekan sandal, ketika Jarjit mengadu sandalnya dengan aspal untuk menghentikan laju sepedanya. Dengan sedikit tergesa-gesa, Jarjit memarkir sepedanya di bawah pohon mangga yang rindang dan bergegas memasuki masjid sebelum khotib menaiki mimbar.
Angin semilir memasuki Masjid Jami' Habib Ahmad Alkaf Kampung Arab membuat hawa yang menyejukkan. Sehingga, tak sedikit orang yang mengangguk-anggukkan kepala menahan kantuk. Bahkan, ada yang sudah jatuh tertidur dibuaian angin dan isi khotbah khotib yg seakan seperti lantunan syair.
Biasanya Jarjit malas mendengar khotbah jum’at. Namun, kali ini ia justru tampak antusias. Ada satu kalimat yang membuatnya memperhatikan. Setiap perbuatan ada balasannya, walaupun hanya sebesar biji sawi. Kalimat itu langsung membuatnya berpikir keras. Sejak kapan sawi memiliki biji? Kalaupun ada, sebesar apa?
Rasa penasaran terhadap biji sawi itupun mengusiknya sampai di rumah. Ia masih mempertanyakan eksistensi dari sebuah biji sawi. Khotbah jum’at yang sederhana telah membuatnya berpikir untuk pertama kali.
Sore hari, jarjit pun googling mencari kebenaran dari biji sawi. Matanya melebar ketika ia tahu, bahwa biji sawi itu benar adanya. Terjawablah sudah pertanyaan terbesarnya hari ini. Nanti malam, ia pun bisa tidur dengan tenang dan nyenyak tanpa memikirkan si biji sawi yang membuatnya penasaran tadi.
Keesokan harinya ...
Jarjit pun bergegas untuk menemui mail untuk mempublikasikan temuannya kemarin. Seseorang yang ia yakini akan mendengarkannya. Ia pun mengayuh sepedanya melaju dengan cepat seperti velentino rossi.
Sesampainya di rumah Mail ...
Hari ini adalah hari libur, Mail yang berniat memanjakan diri untuk bermalas-malasan di teras rumahnya, menikmati hangat berpelukkan dengan guling kesayangan. Entah mengapa seperti ada firasat akan ada teman yang datang sehingga memaksanya untuk segera bangun.
Mail sedang tengkurap di teras rumahnya. Ketika jarjit berlari ke arahnya dengan melambaikan lengan hitamnya.
“il, il.. Mail..!” merasa terpanggil, Mail pun mengangkat wajahnya. Tampak lekuk-lekukan di pipinya bekas tikar. Sekilas, wajahnya tampak seperti peta.
“il, kau harus mendengar hal ini. Aku telah membongkar sebuah “konspirasi akbar” yang menyangkut masalah antara agama dan petani.”
Mendengar kata “konspirasi”, Mail pun yang semula lesu langsung mendadak segar kembali.
“konspirasi? Cepat ceritakan, cepat!”
“begini, kau tahu apa itu sawi kan? Ternyata, walaupun sawi tidak mempunyai buah. Salah satu jenis sayuran hijau tersebut tetap memiliki biji il. Sama seperti, duku, anggur, apel dan lain-lain. Jadi, dalil-dalil yang biasa diutarakan para dai setiap ceramah bukanlah tipu daya seorang oknum untuk mengelabui massa. Semua dalil itu benar adanya. Shohih il.”
Jarjit bersedekap bangga. Mendengar hal itu, ingin rasanya Mail menghantam wajah gelap Jarjit yang tega membangunkannya dari tidurnya hanya untuk mendengarkan “konspirasi akbar”nya tentang biji sawi. Tapi, melihat wajah Jarjit yang bersemangat, ia pun menjadi iba. Kali ini, Mail memilih menyimpan kembali tinjunya.
Mail memasang wajah serius dengan kepalan tangan yang menempel ke dagunya.
“coba kutebak, kau pertama kali mengetahui konspirasi tersebut dari khotbah juma’at kemarin. Betul?” Jarjit mengangguk membenarkan.
“dan aku yakin, khotib mengatakan kalimat ini. Setiap perbuatan ada balasanya, walau itu hanya sebesar biji sawi. Betul?”
Sekali lagi Jarjit mengangguk sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Jadi, kenapa kau tidak meresapi arti kalimat tersebut secara keseruluhan? Tidak hanya di bagian biji sawinya saja, tapi juga dibagian setiap perbuatan ada balasannya. Siapa tahu, kau bisa mengetahui sesuatu yang lebih besar” ungkap Mail.
Mail pun merapikan rambutnya yang acak-acakan “bagaimana?”
Jarjit yang sebelumnya bercahaya mulai meredup. Di wajahnya tergambar sebuah tanda tanya besar. 5 menit kemudian, ia pun pergi meninggalkan Mail yang kembali tengkurap.
Lima langkah dari rumah Mail, Jarjit berhenti. Ia melangkah kembali ke rumah Mail.
"il, sepertinya aku telah mengetahui arti dari kalimat khotbah yang kau tanyakan tersebut.” Mail mengangkat wajahnya. Sorot matanya menampilkan ekspresi kesal karena dua kali tidur siangnya terganggu.
“Setiap perbuatan ada balasanya, walau itu hanya sebesar biji sawi".
Menurutku, kalimat tersebut memiliki arti, sekecil apapun perbuatan seorang manusia. Baik itu perbuatan baik seperti membantu ibumu berbelanja di pasar maupun perbuatan buruk seperti tidak membayar hutang. Pasti ada balasannya, baik itu di dunia maupun di akhirat.” Mail pun merinding. Ia tak menyangka, temannya yang ula-ulu itu dapat menjadi sangat bijak dalam hitungan menit.
“jadi?”
“jadi, kapan kau membayar hutangmu? Sudah 3 bulan sejak kau terakhir kali berjanji akan membayarnya. Lagipula, bukankah menangguhkan hutang itu termasuk perbuatan yang tidak baik? Siapa tahu, kau mati terlebih dahulu sebelum hutangmu lunas.” Bulu kuduk Mail pun langsung menari-nari mendengar hal itu. Sementara itu, senyum Jarjit mengembang layaknya adonan donat dengan penuh kemenangan. Hari ini, ia telah mengerti makna dari kalimat khotbah yang telah mengusik pikirannya. Dan, uang hutang Mail yang entah dibayar atau tidak, akan ia gunakan untuk mentraktir Mail makan bakso sebagai ungkapan syukurnya.