Tjahjo Kumolo dan KTP Saya
Tjahjo Kumolo (TjK).
Dikenal sebagai sosok yang ugahari. Saya mengenalnya tidak secara langsung face to face atau secara fisik. Melainkan melalui media.
Hanya sekali waktu saja. Itu pun dari kejauhan. Ketika sedang berada di ruang tunggu terminal bandara internasional Soekarno-Hatta. Ia masuk ruang tunggu VIP. Saya ruang tunggu biasa saja. Sekelebat saja. Ia berjalan biasa. Tanpa ada protokoler berlebihan. Dan pengawalan ketat sebagaimana biasa pejabat negara.
Dari penampakan media dan kejauhan. Kelihatanlah bahwa sosoknya tinggi besar. Warna kulit cukup terang. Dan berpenampilan rapi.
Hal yang khas darinya adalah bahwa pria tersebut selalu mengenakan kacamata. Tebal. Dengan gagang khas orangtua pula.
Saya lalu berpikir: Andaikan kacamata itu direbut. Bagaimana ya? Masih bisakah dia awas? Saya memang suka iseng.
Dalam diri Tjahjo Kumolo. Saya temukan kebenaran jargon keberpihakan pada "wong cilik". Retorika yang sedikit sekali dilakukan. Namun, banyak diwacanakan.
Tapi ternyata, Pak Tjahjo yang berhasil merebut "kacamata" saya. Ia menjabat Menteri Dalam Negeri RI ketika itu ( 2014 hingga 20 Oktober 2019). Tatkala saya sewot. Mengurus kartu tanda penduduk (KTP) elektronik yang tak kunjung jadi. Saya coba mencari tahu. Diadu ke mana?
Dari seorang sahabat. Saya mendapat nomor WA pak Mendagri. Haikul yakin nomor WA beliau. Saya pun curhat. Ihwal perilaku birokrasi negeri ini. Perkara penting yang perlu ia pangkas. Kemudian, di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Indonesia (PAN-RB), mungkin telah banyak pula ia lakukan pembaruan.
Birokrasi kita memang perlu (terus) direformasi. Terutama ihwal kewajiban pelayanan publik oleh Negara. Yang kini, meski warga membayar pajak, seakan-akan jika kita berurusan, kitalah yang "mengemis".
Chat WA beliau masih saya simpan. Di HP lama. "Sudah boleh ke kecamatan. Sudah beres!" singkat saja teksnya.
Saya menyampaikan terima kasih.
Saya ke kecamatan. Gak berani menanyakan latar belakangnya. Mengapa bisa secepat itu? Langsung serah terima KTP. Tapi saya mafhum. Tentu kuping mereka kena jewer big boss. Mestinya, sih. Jangan juga demikian. Saya juga lancang. Tapi mau gimana lagi? Begitulah kondisi pelayanan publik di negeri ini. Masih belum banyak berubah.
KTP saya. Dan keugahariannya. Itu yang saya kenang dari Tjahjo Kumolo. Lelaki kelahiran 1 Desember 1957 di Surakarta itu telah tiada. Ia menghadap "Api Biru" 1 Juli 2022. Di rumah sakit Abdi Waluyo, Jakarta.
Setiap dari kita. Pasti punya cerita tentangnya.
Dalam dirinya. Saya temukan kebenaran jargon keberpihakan pada "wong cilik". Retorika yang sedikit sekali dilakukan. Namun, banyak diwacanakan.
Kata kawan, yang mengenalnya sangat dekat. Tjahjo orangnya sederhana. Saya menyebutnya "ugahari" --lebih sederhana dari sederhana. Sulit melukiskannya. Orang Jawa bilang: sa' madya. Secukupnya saja.
"Ke mana mana pakai kijang Innova. Mobil pribadi," tulis teman saya. Memberi testimoni. Pada pesan WA.
Jika mau terbuka. Senantiasa ada suri teladan dari seseorang. Yang patut kita bukan sekadar kenang, tapi juga lakukan.
Pak TjK contohnya.
Menarik pula testimoni sohib saya. Mantan Camat nun jauh di pedalaman hutan Kalimatnan Barat.
Saya tangkap saja selayar HP pengalamannya dengan TjK.