Sosok

Boloy dan Parden, Pelestari Budaya Dayak Punan dari Pa Amai

Jumat, 11 November 2022, 19:53 WIB
Dibaca 790
Boloy dan Parden, Pelestari Budaya Dayak Punan dari Pa Amai
dokpri

Krodit. Siang itu HP saya hampir hank karena memori full. Foto berseliweran dimana-mana di beberapa media sosial yang saya miliki. WhatsApp, Facebook dan Instagram.

Hari itu tanggal 17 Agustus tahun 2022. Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77 di Kecamatan Krayan Selatan dilaksanakan dengan upacara mengibarkan sang pusaka merah putih. Dipimpin pak Camat, dihadiri Kapolsek dan seluruh personil Polsek yang ada, Babinsa, Kepala-Kepala Desa berikut warganya, yang juga merupakan kesebelasan sepak bola, Kepala Adat Besar dan anak-anak sekolah. Tumpah ruah. Begitulah peringatan HUT RI di Krayan pada umumnya.

Akhir dari upacara, dilanjutkan dengan Pawai Budaya dan Potensi Desa. Di sinilah pesta foto-foto dimulai.

Pawai budaya dan Potensi Desa diinisiasi untuk mengangkat budaya dan potensi khas yang ada di masing-masing-masing Desa. Semua berlomba menampilkan potensi yang ada.

Semua yang hadir menggunakan pakaian dan atribut khas Dayak Lundayeh. Ada yang lengkap dan ada juga yang hanya sekedar saja. Asal pakai kalung manik sudah cukup. Ada pula yang merasa cukup ketika menggunakan saung (kami menyebutnya raung).

Sepasang pemuda tampak berbeda. Sebagian besar foto yang beredar ada mereka. Sepertinya hari itu banyak orang mengidolakan penampilan mereka dan ingin berfoto bersama. Tentu ingin mengabadikan pemandangan menarik dan unik itu.

Di tangan mereka tergenggam kokoh sebuah sumpit. Kepalanya ramai dengan bulu-bulu burung menengang (enggang) dan bulu-bulu burung tuwaw (merak).

Diselip diantara anyaman rotan yang berpilin-pilin membentuk sebuah topi yang khas. Dianyam melingkar di atas alis hingga bagian atasnya membentuk bulatan seperti songkok yang biasa digunakan para umat shalat jamaah di masjid atau seorang pastur yang memimpin ibadah umat di gereja. Bedanya, yang ini dari rotan.

Bak tahta, pada puncak topi itu terikat kokoh kepala pemilik bulu-bulu indah itu. Kepala burung menengang (enggang). Terlihat dari samping, justru pemakai topi itu tampak seperti seekor burung menengang yang gagah.

Tidak seperti yang biasa dilihat pada penampilan kebanyakan orang Dayak Lundayeh, mereka tampil tanpa baju. Hanya sedikit kulit kayu yang melingkar dipinggang sekedar menutup  celana boxer hitam tipis di bawahnya. Eksotis. Otentik.

Badan kekar, sehat dan padat. Postur pendek khas orang Dayak Punan.

Di dada mereka terjuntai tulang belulang, taring dan tengkorak beberapa satwa hasil buruan mereka. Ada juga yang dibuat dari kayu sebagai miniatur taring hewan tertentu – belakangan saya konfirmasi, alasannya untuk menjaga kelestarian satwa. Konservasi. Keren.

Ini adalah kemunculan pertama orang Punan Pa Amai dengan budayanya. Mereka menyebut dirinya Punan Toy. Bak tenggelam oleh pengaruh Lundayeh yang dominan di sekitarnya, mereka terhimpit dalam komunitas yang minoritas. Hari ini nama Punan menjadi pusat diskusi karena berkat kedua pemuda itu.

Mereka bernama Boloy dan Parden.