Pandemi sebagai Kambing Hitam
Pandemi membuyarkan harapan. Cita-cita yang tersusun rapi mendadak hancur berantakan ibarat istana pasir tersapu angin barat. Banyak orang yang merasakan demikian. Saya, kita atau kamu sekalian, boleh jadi merasakan hal semacam itu.
Tetapi, selalu ada hikmah di balik bencana. Tiba-tiba terpikir untuk bikin ini itu yang belum ada sebelum terjadi pagebluk, kemudian jadilah inovasi. Saya yakin, itu tidak banyak. Lebih banyak yang merasakan keterpurukan dan hantaman dahsyat pandemi bernama Covid-19. Menderita.
Saya teringat wawancara seorang teman di sebuah media online luar atas hasratnya yang ingin terus bekerja. Karena suasana kantor yang menurutnya kurang kondusif karena karyawan pada usia 50 sudah diminta pensiun dini, ia yang sudah berusia 55 serasa mendapat tekanan juga yang memaksanya mengajukan pensiun dini.
Ia tetap bersyukur sebab peristiwa terjadi beberapa bulan sebelum pandemi terjadi sehingga mendapat kompensasi yang memadai alias tidak ada yang terkurangi dari yang memang seharusnya ia terima.
Kini setelah pandemi terjadi dan tidak jelas kapan akan berakhir, masing-masing perusahaan semacam mendapatkan "angin segar" (baca: alasan) dalam memecat atau memberhentikan karyawan dengan alasan pandemi. Turunnya pendapatan biasanya alasan yang mengemuka.
Akibatnya, bisa saja perusahaan menurunkan bahkan meniadakan hak yang seharusnya karyawan terima secara utuh, manakala tidak terjadi pandemi.
Itu sebabnya atas kasus 19 PHK karyawan majalah Tempo (grup), saya berada dalam posisi "bersama" karyawan dengan asumsi perusahaan sudah kaya (raya) sebelumnya.
Selain Tempo yang mem-PHK karyawannya, perusahaan media lain yang melakukan hal serupa antara lain Kumparan, Jawapos, dan The Jakarta Post. Harian Kompas, juga menawarkan program pensiun dini bagi karyawan/wartawan, tetapi dengan kompensasi yang memadai sehingga tanpa gejolak apapun
Musim gugur media memang telah tiba, tetai pandemi tidak bisa dijadikan alasan pengurangan hak karyawan yang dipaksa atau terpaksa dipensiundinikan. Maaf, saya tendensius untuk yang satu ini, yaitu menyuarakan hak-hak karyawan, karena saya pernah berada di posisi mereka.
***