Sosok

Yurnalis Ngayoh, Gubernur Kaltim. Gadis Seroja Itu, Telah Pergi

Senin, 8 Februari 2021, 11:51 WIB
Dibaca 924
Yurnalis Ngayoh, Gubernur Kaltim.  Gadis Seroja Itu, Telah Pergi
Saya dan pak YNg. Ia multitalenta.

Pukul 09.30 pagi tadi. Hari ini. HP saya berbunyi: Ting sekali.

Saya buka. Pengirimnya: Cornelis.

Wah, dalam hati saya. Pasti ada berita penting. Benar saja. Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) itu menyampaikan warta dukacita:

Yurnalis Ngayoh. Telah berpulang ke Pangkuan Sang Pencipta. Ia salah seorang putra terbaik Dayak. Pernah menjabat Gubernur Kalimantan Timur.

Ia juga seorang penulis. Bahkan Korrie dan Masri (2019) memasukkannya sebagai salah seorang sastrawan Dayak.

Terus terang. Terang terus. Dari sekian banyak karya sastranya, saya paling suka "Gadis Seroja", cerpennya. Pasti ada interest pribadi. Makanya, saya muat utuh di ruang ini.

Sudahlah tentu. Saya kenal baik pak Ngayoh. Kerap duduk bersama dalam fora Seminar. Terakhir, waktu launching dan bedah buku Tokoh Dayak, Jilid 2 di Samarinda. Waktu itu, yang menjadi key note speaker walikotanya. Pak Jaang.

Ada banyak yang ingin saya tulis tentang Pak Ngayoh. Karena itu, saya sediakan ruangan yang terbuka lebar. Tulisan yang pertama, ia sebagai Sastrawan. Dan sedikit mengecap karyanya.

***

Yurnalis Ngayoh (24 Agustus 1942 -….)

Kami berdua Korrie sepakat untuk menulis * seseorang hingga +. Namun, untuk tokoh hidup, masih dibiarkan. Tak berbatas bilangan umurnya. Itu wajib!

Korrie membuat catatan pembuka tentang Ngayoh:

merupakan tokoh birokrat yang pada akhir kariernya sebagai PNS sempat menjabat Gubernur Provinsi Kalimantan Timur. Sejumlah karyanya, terutama dalam bidang kebudayaan menjadikannya sebagai narasumber folklor, kesenian, dan kebudayaan daerah dan kearifan lokal. Sebagai doktor dalam bidang ekonomi, karyanya banyak berisi bidang pembangunan ekonomi. Beberapa bukunya yang sudah diterbitkan menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap eksistensi kebudayaan, sejarah, birokrasi, dan sastra.

***

Siapa beliau?

Lahir di Barong Tongkok, 20 Agustus 1942. SD (SR) diselesaikan di Barong Tongkok (1954), SMP dan SMA di Samarinda, (1958/1961), dan lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1967). Ia lulus Magister Manajemen (2002) dan lulus Doktor Ilmu Ekonomi UNTAG Surabaya, 15 Juli 2010. Pernah mengikuiti SESPA Depdagri dan LEMHANAS KRA, serta mengikuti beberapa kursus dan penataran dalam berbagai disiplin ilmu.

Ia bekerja di lingkungan Pemprov Kalimantan Timur sejak 1968 (Golongan III/A) hingga pensiun TMT 1 September 1999 sebagai Pembina Utama (Gol IV/E). Setelah menjabat sebagai Plt.Gubernur Kaltim (23 November 2006-Juni 2008) dan dengan Keputusan Presiden RI No. 8, Tangal 6 Maret 2008, ia resmi menjadi Gubernur Provinsi Kalimantan Timur. Ia telah menerima puluhan tanda jasa dan tanda kehormatan. Tetap aktif di berbagai lembaga hingga ujung harinya.

Sebagai budayawan, ia sering menjadi narasumber, pembicara, dan pemakalah. Naskahnya yang sudah terbit adalah Tapak Pengabdian Membangun Martabat dan Kesejahteraan Rakyat Kaltim. Bukunya yang sudah baru beredar adalah Obor dari Tanah Hulu (2008) —epilognya ditutup oleh Korrie Layun Rampan.

Vita brevis, ars longa. Ya! Hidup itu singkat. Tapi seni abadi.

Terus terang. Terang terus. Dari sekian banyak karya sastranya, saya paling suka "Gadis Seroja", cerpennya. Pasti ada interest pribadi. Makanya, saya muat utuh di ruang ini. Mari kita resapi dan reguk nikmat kadar nuansa sastranya.

GADIS SEROJA

Berantakan sudah harapanku untuk tampil sempurna di kelas pertamaku mengajar SMA Katolik. Padahal sehari sebelumnya aku sungguh mempersiapkannya. Karena bagiku hal itu sangat penting, selain untuk meyakinkan diriku sendiri, juga untuk meyakinkan para siswa bahwa guru baru mereka yang baru datang dari Yogyakarta ini adalah sosok yang akan membawa angin perubahan.

Tapi apa daya. Harapanku menjadikan hari pertama istimewa luntur lantaran interupsi dari seorang murid perempuan. Saat itu, aku sedang asyik menjelaskan tentang teori ekonomi. Tiba-tibaseorang murid mengacungkan tangannya di tengah penjelasanku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Maaf, Pak. Bapak menjelaskannya terlalu cepat. Jika tidak keberatan, maukah Bapak mengulangnya sekali lagi,” jawab siswi itu.

“Baik, bagian yangmana?”

“Kalau tidak keberatan, dari bab awal, Pak!”

Tersentak dadaku. Hampir-hampir tak percaya. Sudah setengah jam aku menjelaskannya lalu semudah itu ia memintaku mengulanginya dari awal. Kembali ke awal sama artinya menganggapku tak ada dari sejak pertama aku menginjakkan kaki di kelas ini. Kutahan napasku agar tak tampak terjadi suatu apa.“Saya tanya dulu kepada yang lain, apakah perlu mengulang dari awal?”

Hampir serempak mereka menjawab, “Perluuuu, Paaak!”

Mendengar itu aku seperti mendapat serangan ribuan tawon yang terurai dari sarangnya. Jawaban mereka yang ringan setengah bercanda bagaikan misil-misil yang jatuh dari atas langit lalu menghunjam di tubuh prajurit yang berdiri sendirin di medan tempur.

Namun langusung kukuasai keadaan. Aku berhenti sejenak. Lalu melangkah dengan bersungut-sungut. Gayaku mengesankan bahwa aku adalah pemuda dari kampus terkemuka yang sedang mengimbangi kemampuan belajar anak sekolah.

Aku tak yakin apakah ini berhasil atau tidak. Tapi sekurangnya mampu menyelimuti kekakukanku. Aku jelaskan kembali pelajaran. Kali ini aku lebih banyak menatap mata mereka satu per satu, untuk mengukur daya tangkap mereka. Tentu saja, sesekali kucuri pandang ke siswi interuptor tadi. Kukira, aku memang harus berhati-hati padanya.

Sepulang dari sekolah. Tak henti-henti aku meyakinkan pada diriku sendiri bahwa peristiwa tadi adalah hal biasa. Mungkin para murid pun sudah melupakannya sejak pelajaran usai. Lagi pula, aku masih punya ribuan hari di depan di mana aku bisa membuktikan kepada mereka, bahwa akua dalah pendidik yang bermutu.

Tapi aku tak habis pikir kepada murid itu. Mengapa ia seberani itu padaku? Bukankah kepada guru baru ia seharusnya memiliki rasa hormat. Atau setidaknya memberi waktu barang sejenak, agar guru itu punya kesempatan untuk menampilkan diri. Mengapa ia hanya butuh waktu setengah jam untuk menghakimi dan mempermalukanku. Malamnya aku seperti diserang demam.

Benar dugaanku.

Esok harinya. Kepercayaan diriku pun  sudah pulih kembali. Kegiatan mengajarku pun berjalan lancar. Bahkan suasana sudah mencair. Sesekali aku menyelipkan canda saat mengajar. Dan aku tak butuh waktu lama untuk mengenal murid yang menginterupsiku. Dia bernama Helena Nontje. Kelak baru aku ketahui bahwa gadis itu ternyata putri Pak Nyumping, guru yang juga teman baikku.

Aku bersyukur keberadaanku diterima dengan antusias oleh murid-murid di sekolah ini. Keakraban kami kadang kala menepiskan hubungan kaku antara murid dengan guru. Mungkin saja karena aku masih membujang, sehingga bisa memasuki cara bergaul anak-anak remaja ini.

Dan Nontje, akh! Rupanya dia gadis yang cerdas. Di antara murid yang lain dia memang cukup menonjol. Iatak segan bertanya soal pelajaran kepada paraguru di luar kelas, termasuk kepadaku.

Tak bisa kupungkiri bahwa gadis ini telah menarik perhatianku. Tapi sebisa mungkin perasaan ini aku pedam, karena aku tak ingin merusak citraku sebagai guru. Meskipun tak bisa kutepis, aku kerap kali kikuk saat harus berhadapan dengannya di kelas.

Malangnya, murid-murid mulai menangkap adanya gejala lain atas sikapku kepada Nontje. Mereka sering berbisik-bisik dan tersenyum simpul saat aku mengarahkan pertanyaan kepada Nontje. Hal ini sebenarnya menggangguku. Tapi apa daya, putri Pak Nyumping ini rupanya telah betgitu jauh memasuki sudut-sudut gelap hatiku.

Hingga suatu saat aku merasa bahwa aku tak lagi kuasa untuk terus-menerus memendam perasaan ini. Aku menyerah. Dan lagi pula untuk apa aku membohongi diriku sendiri. Toh, para guru dan murid yang sudah mengetahui ketertarikanku padanya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk berterus-terang. Sebisa mungkin aku memberanikan diri untuk menemuinya. Minggu adalah kesempatan yang tepat, karena keluarganya biasa melewati sekolah saat menuju Gereja Katedral.

Pagi itu....

Aku menunggunya di jalan depan sekolah. Tak lama. Aku sudah mendapati keluarga Pak Nyumping yang berjalan mendekat. Mereka tampak keheranan melihat aku mematung seorangdiri di pinggir jalan. Mulanya Pak Nyumping menyangka aku ingin menemuinya. Tapi setelah kutunjukkan perhatianku kepada Nontje, keluarga itu langsung mahfum akan tujuanku. Mereka meninggalkan aku dan Nontje mengiring di belakang.

Nointje tentu yang paling terkejut atas sikapku yang tak biasa ini. Kulihat wajahnya merah merona. Tapi aku bisa memahami itu. Hal itu karena aku sendiri pun merasa asing untuk menyadari bahwa hari itu aku berjalan bersamanya bukan lagi sebagai guru dan murid, tapi sebagai sepasang muda-mudi.

Beruntung hari itu aku bias cepat menyesuaikan diri. Obrolanku dengan Nontje berjalan lancar, meskipun isi pembicaraannya kerap melompat-lompat dan remeh-temeh. Tapi sebagai permulaan, aku anggap hal itu berhasil.

Minggu berikutnya aku lanjutkan lagi. Kali ini situasi kuanggap lebih baik, karena Nontje sudah berani mencandaiku layaknya pemuda lain. Ia rupanya sudah mulai terbiasa dengan status baruku.

Minggu ketiga, berita itu sudah menyebar di sekolah. Para murid yang sebelumnya hanya berbisik-bisik, kini sudah berani menggodaku dengan terbuka. Dan yang melegakanku adalah saat Pastor Gam bertanya langsung padaku soal perasaanku ini. Tak ragu aku mengakuinya, karena Pastor yang juga mengajar Nonbtje untuk kursus bahasa Inggris dan Jerman, bisa punya peran besar untuk memuluskan misiku ini. Bahkan di luar dugaaku. Pastor justru menawariku untuk segera melamar Nontje.

Benar saja, di luar sepengetahuanku Pastor menyampakan hal ini kepada Nontje. Aku melihat mereka bicara serius di luar gereja selepas Misa. Aku sengaja tak mendekat dan ingin melihat situasi ini dari kejauhan. Nontje lebih banyak diam, sesekali ia mengangguk di tengah pembicaraan Pastor.

Sorenya aku menemui Pastor untuk mengetahui hasil pembicaraan itu. Keterangan Pastor, Nontje sebenarnya belum berminat untuk segera menikah, tapi ia akan memikirkan penawaran ini. Dadaku berdegub kencang mendengarnya.

Tak sabar aku mengutus Tubio memintakan izin Pak Nyumping untuk mengajak Nontje jalan-jalan. Pak Nyumping mengizinkannya. Hingga jadilah jalan-jalan keliling kota Samarinda.

Hari itu aku dan Nontje punya kesempatan bicara panjang. Aku sengaja tak membicarakan tema pernikahan, karena tak ingin terkesan mendesaknya. Namun yang tak kumengerti. Nontje bercerita tentang tetangganya di Milono yaitu seorang istri yang sering dipukuli suaminya. Tapi aku merasa tak perlu berpikir terlalu jauh atas cerita itu, karena aku tak memiliki kesan sebagai lelaki yang penuh kekerasan.

Selang beberapa bulan....

Nontje mengungkapkan kesediaannya untuk menikah denganku kepada Pastor Gam. Dan pastor memberi kami waktu empat bulan untuk berpacaran. Terhitung sejak 28 Desember 1969.

Tepat 2 April 1970.

D Katedral. Kami menikah. Bahagia rasanya di pernikahan itu kami bisa menaiki altar, sebab hal ini hanya bisa dilakukan oleh pernikahan yang direstui oleh pastor.

Begitulah. Takdir memang kerap datang tak terduga. Begitu pula antara aku dan Nontje. Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jika gadis ini adalah tambatan cintaku yang pertama dan terakhir.*

Obor dari Tanah Hulu, 2008, Yurnalis Ngayoh, Jakarta: Lontara.

***

Indah sekali karya seni hasil olah ciptanya. Benarlah ungkapan Latin: Vita brevis, ars longa.

Ya. Hidup itu singkat. Tapi seni abadi. Selamanya!

Tags : sosok