Cornelis: Pemimpin Pembangkit Semangat Suku Dayak Kalimantan
Di awal tahun 2000-an terjadi gejolak diberbagai daerah dampak dari perubahan politik di bangsa ini. Gejolak yang terjadi juga di Kalimantan. Khusus di Kalimantan dunia tercengang melihat kebangkitan sebuah etnis yang selama ini nampak diam. Dayak.
Lewat peristiwa itu, berita mengenai kehebatan orang Dayak makin terdengar seantero negeri bahkan dunia. Sebagai orang Jawa yang pada saat itu masih remaja saya mulai tak asing mendengar kata Dayak. Sejak saat itu saya menjadi tertarik membaca literasi mengenai suku Dayak.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih memudahkan mencari hal-hal yang berkaitan dengan suku Dayak. Makin membaca, makin saya tertarik dengan suku yang mendiami pulau Borneo ini.
Banyak keunikan dari suku bangsa Dayak. Dan yang tak luput dari perhatianku adalah tokoh-tokoh suku Dayak. Mulai dari Oevaang Oeray, Tjilik Riwut hingga Agustin Teras Narang dan masih banyak lagi.
Perkembangan politik di Indonesia kemudian melahirkan era Reformasi. Era dimana kebebasan diberikan ruang yang cukup. Dari segi kepemimpinan politik terjadi perubahan sistem. Pemimpin dipilih langsung oleh rakyat.
Bagi banyak daerah di nusantara, ini merupakan kesempatan yang telah lama dinantikan. Kesempatan yang membuka ruang bagi putra-putri daerah menjadi pemimpin di wilayah sendiri.
Kesempatan yang juga tak disia-siakan oleh suku Dayak di Kalimantan Barat. Salah satu sosok yang mencuri perhatianku adalah Drs. Cornelis, M.H.
Sosok yang akhirnya menjadi Gubernur Kalimantan Barat bahkan hingga dua periode. Sebelumnya menjadi bupati Landak dua periode.
Tanpa menafikan tokoh-tokoh Dayak yang lain. Saya sungguh tercengang ketika mendengar dan membaca sepak terjang tokoh yang satu ini.
Tagline yang begitu menggetarkan “kalau takut jangan berani-berani dan kalau berani jangan takut-takut”. Bahkan tagline itu menjadi judul profil Cornelis dalam buku 101 tokoh Dayak I karya R. Masri Sareb Putra.
Saya yakin ucapan semacam itu menunjukkan jiwa kepemimpinan yang ‘berkarakter’. Dengan sedikit gemetar saya berucap ‘ini Dayak’. Keberanian menjadi simpulnya.
Keberanian suku Dayak sudah lama bergema. Namun, melalui sosok yang satu ini nampaklah wajah putra Dayak yang sesungguhnya. Begitulah saya menggambarkannya.
Saya bukan sedang semata-mata mengelu-elukan sosok ini. Namun, jika membaca kilas balik bagaimana suku bangsa Dayak dipersepsikan sebagai suku primitif dan terbelakang. Rasanya ini obat untuk luka sedalam itu.
Energi yang dibutuhkan untuk membalut luka-luka itu memang harus di awali dengan semangat dan kepercayaan diri. Maka sosok Cornelis hadir memberikan energi itu. Ia menjadi pembangkit semangat bagi identitas suku Dayak.
Saya sebagai orang Jawa melihat itu. Apalagi saat itu usiaku masih remaja yang penuh dengan gelora. Ah, mungkin ini karena pengaruh bacaan-bacaan tokoh-tokoh perjuangan.
Sorot mata seorang Cornelis menyiratkan sebuah tekat perjuangan bagi kaumnya. Maka tak mengherankan jika ia di daulat menjadi “Presiden Dayak” atau Ketua Majelis Adat Dayak Nasional (MADN). Kepemimpinan yang tak diragukan.
Sehebat apa pun seorang pemimpin tetap seorang manusia yang tidak luput dari kelemahan dan kekurangan. Namun saya meyakini bahwa setiap pemimpin hadir pada masa yang tepat sesuai konteks zamannya. Demikian juga dengan Cornelis.
Tak salah kalau R. Masri Sarep Putra menyebutnya pemimpin berkharisma. Hal itu nampak dalam orasi-orasinya yang penuh semangat dan membangun kesadaran identitas suku Dayak (Masri 2014:22).
Langkahnya tepat dalam memanfaatkan momentum di masa transisi sistem politik di negeri ini. Dia muncul menjadi sosok dari ‘Dalam’ keluar dan masuk ke arena yang sesungguhnya. Harus menjadi tuan atas tanah pusakanya yang diwariskan leluhurnya.
Semangat yang membakar jiwa setiap insan Dayak. Apakah ini salah? Menurutku tidak! Ia layak dan berhak memimpin tanah airnya.
Tak lain, sejauh itu yang saya amati, sosok Cornelis adalah sang pembangkit semangat dan kepercayaan diri suku Dayak Kalimantan. Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka'Jubata.
***