Sastra

Raut Wajah Senja| Cerpen

Senin, 10 Mei 2021, 23:51 WIB
Dibaca 563
Raut Wajah Senja| Cerpen
ilustrasi: bonjon

Sore itu basah setelah diguyur hujan.

Kristal hujan berpendar berkilauan terkena matahari senja. Angin berembus menggoyang pelan daun-daun yang basah. Buliran air di ujung daun-daun zaitun jatuh dengan rapuh.

Di sebuah tempat, tak jauh dari Piazza del Nettuno, pada sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga. Luciano  duduk terpekur.

Tempat ini masih menyisakan bangunan masa Renaisans. Dahulu kala menjadi tempat persinggahan dan pertemuan para maesenas (saudagar). Sangat terkenal karena letak Fontana di Nettuno yang agak tinggi.

Mata Luciano terpanah pada kisaran rona pelangi yang menghiasi ufuk barat. Di bulan April, seperti juga di tempat lain di daerah pergunungan Alpen, kisaran waktu siang lebih banyak daripada malam. Tak heran. Pukul 21.00 sisa matahari masih memantulkan rona senja bianglala.

Dari berkas-berkas cahaya itu, Luciano seakan melihat sosok yang dicintainya. Dan kini sosok itu benar hadir merasuk seluruh jiwa raganya.

Perlahan, ia keluarkan dompet dari saku blue jeans-nya. Di situ masih tersimpan rapi selembar gambar. Semua masih jelas berwarna. Dipandanginya foto Ratih Kumala yang sedang tersenyum, seolah-olah hidup dan berbicara dengan manis. Diusap-usapnya foto itu dengan lembut.

Ia dan Ratih dulu sering menyusuri Fontana di Nettuno di jantung kota, seusai menjalani perkuliahan yang padat. Universitas Bologna memang sangat ketat menerapkan disiplin. Tak heran karena universitas ini sudah lama ada. Satu dari lima universitas tertua dunia, sejak imperium Romawi yang dikelola secara profesional dan menerapkan kuliah umum. Menjadi cikal bakal studium generale.

Usai kuliah, mereka biasanya mampir dulu di sebuah toko penyewaan novel-novel sastra terkenal atau mencari sepotong pizza yang mudah ditemui di sepanjang jalan pedestarian. Novel karangan Umberto Eco, Il Nome Della Rosa yang jadi terkenal setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Name of The Rose, habis mereka baca bersama-sama.

Setelah itu, mereka bercengkrama bebas sembari memandangi mawar. Rosa dalam bahasa Latinnya, bunga-bunga cinta yang saat itu sedang tumbuh subur. Kemilau mentari senja yang jatuh menerpa bunga-bunga.

Luciano kini mengajar di almamaternya. Dari kampusnya, Luciano memilih berjalan kaki menuju tempat mereka dahulu biasa bercengkerama. Perjalanan yang membuat ia bisa merasakan kesegaran.

Bologna adalah kota yang sejuk nan menawan. Jalan-jalan terlihat rapi. Bangunan-bangunannya bergaya Eropa dengan arsitektur yang apik. Bunga-bunga ada di tiap sudut kota. Tapi lebih dari itu, ada keindahan yang menawan hati Luciano. Keindahan yang lebih indah dari Bologna. Keindahan seorang wanita timur: Ratih Kumala.

Meski beda jurusan, di mana Luciano mengambil Filsafat Modern sementara Ratih mengambil Creative Writing, keduanya sering bertemu pada organisasi kegiatan mahasiswa.

Ratih Kumala gadis yang cantik, cerdas, dan juga lincah. Namun, di balik semua itu,  seorang yang radikal pemikirannya. Gadis hebat, yang selalu memesona Luciano setiap kali bertutur kata tentang topik apa saja.

Seringkali mereka terlibat dalam penggalangan dana untuk kegiatan sosial. Pernah juga terlibat protes pada kebijakan pemerintahan yang pro-perang dan protes anti-aborsi. Mereka sering bertemu, berdikusi, berdebat, bertengkar dan akhirnya saling jatuh cinta: sebuah rasa yang berjalan dengan pelan dan akhirnya menjadi begitu dalam.

Selesai studinya, Ratih kembali ke negaranya, Indonesia. Ia kemudian bergabung pada partai oposisi di negaranya. Di sana menjadi salah seorang aktivis antipemerintah yang giat menyuarakan demokratisasi di negaranya. Sementara Luciano tetap di negaranya, melanjutkan studi mengambil program doktoral di Universitas Bologna. Kini Luciano menjadi salah seorang pengajar di sana dan tengah menyusun disertasi mengenai teori Machiavelli dan praktiknya di Indonesia.

Sejak perjumpaan terakhir, mereka tak pernah bertemu lagi. Luciano  tak pernah menerima kabar Ratih. Kabar yang ia dapatkan lebih banyak soal gentingnya situasi politik di Indonesia. Ia sering lihat demo besar-besaran di Indonesia melalui jaringan televisi internasional.

Terakhir, ia dengar Ratih dikenai cekal dan tidak bisa pergi ke luar negeri. Kabar itu memang samar-samar. Satunya-satunya kabar dari Ratih yang pernah Luciano  terima yaitu setahun lalu via email yang memberitahukan bahwa Ratih sedang dalam tekanan dan sulit berhubungan dengan dunia luar. Ia bilang butuh bantuan. Bantuan macam apa, Luciano tak tahu. Tapi yang paling ia syukuri Ratih masih hidup. Berarti ia masih punya harapan.

“Kau tahu Luciano, aku harus pergi. Jika harus memilih aku ingin tetap bersamamu. Ingin terus membelai wajahmu. Ingin merapikan bajumu, ingin terus membaca bait-bait Umberto Eco bersamamu,” kata Ratih pada Luciano  suatu pagi sebelum kembali ke negaranya.

Ia melanjutkan lagi, “Tapi negaraku sedang gawat. Di sana rakyat semakin miskin. Pemerintahan sekarang ini diktator dan korup. Rakyatku menderita, Luciano. Aku harus bantu mereka. Mungkin aku tak bisa berbuat terlalu banyak untuk rakyatku, tapi aku tak akan tahan bila aku terus di sini mendengarkan rakyatku tiap hari mati dengan menyedihkan,” Ratih berkaca-kaca.

***

JEMARI tangan Ratih mengusap pipi Luciano.

Sentuhan jemari lentik itu terasa damai. Ia berbisik lembut lagi hangat.

“Aku cinta kamu, Luciano. Namun, aku juga cinta orang tua dan negaraku. Kita lakukan tugas dan panggilan masing-masing. Kuharap kita masih bisa bertemu lagi suatu saat nanti.” Itulah ucapan terakhir Ratih pada Luciano. Luciano diam termangu. Tak berkata sepatah pun.

Sampai kini Luciano masih menanti pertemuan seperti dulu. Sekali waktu, dalam sepekan, ia menyempatkan diri datang ke taman bunga sudut kota Bologna sekadar menghibur diri. Atau mengingat-ingat kenangan masa lalu. Saat Ratih masih bersamanya. Mungkin ini pengharapan yang sia-sia dan naif. Namun, ia terus mencobanya. Ia tak putus berharap. Semoga penantiannya berujung kenyataan.

Luciano terus mencari informasi perkembangan di Indonesia. Kabar terbaru yang ia dapat dari jaringan berita internasional ialah bahwa situasi Indonesia makin parah. Rakyat yang muak pada rejim yang mulai tak sabar. Beberapa waktu yang lalu, tentara menembaki mahasiswa yang demo. Mereka menangkapi para oposan. Termasuk salah satu aktivis perempuan juga ditangkap.

“Mungkinkah Ratih?” Luciano benar-benar merasa takut itu terjadi. Segera ia buang bayangan itu. Bisa saja Ratih diculik. Lalu dibunuh.

Ratih diculik? Lalu tak kembali lagi? Peristiwa ini yang paling ditakutinya.

Luciano juga mendengar kabar bahwa demo besar-besaran di Jakarta belum mampu menumbangkan rezim yang otoriter. “Mungkinkah Ratih bisa bebas?” gumam Luciano dalam hati.

Ia coba mengontak Departemen Luar Negeri. Tapi belum juga dapat kabar soal Ratih. Luciano tak ingin terjadi apa-apa pada kekasihnya. Ia benar-benar putus asa.

“Apakah Ratih sudah mati?”

“Tidak! Tidak! Ratih tidak boleh mati,” Luciano menghibur diri. “Dia sudah berjanji bertemu denganku. Ratih tak pernah berdusta. Dan dia pasti selamat.” Kepala Luciano terasa berat. Ia limbung.

Ini tahun kelima sejak pertemuan terakhirnya dengan Ratih. Luciano masih sering pergi ke taman bunga itu. Sore itu, Luciano sengaja menambah jejak kaki baru di sana. Menelusuri kembali jalan kenangannya bersama Ratih. Ia ingin menenangkan diri. Mendinginkan kepala dan pikiran seusai kuliah.

Tadi malam, via yahoo. Luciano menerima kiriman email dari Ratih yang isi pesannya demikian.

Luciano Tardelli-ku yang baik,

Kita pernah sama-sama baca Il Nome Della Rosa karya Umberto Eco yang indah itu. Kita tahu, tokoh dalam novel itu unik. Satu hidup di balik tembok biara. Yang lainnya di luar. Namun, bisa menyatu karena cinta.

Perasaanku hari ini aneh sekali. Aku merasa jadi seperti tokoh dalam novel itu. Kamu jadi Adso dan aku gadisnya. Tembok biara Benedictin memang kokoh dan tinggi. Namun, itu tak menghalangi dua manusia menjalin cinta. Meski terkotak oleh profesi dan pilihan hidup.

Ya, cinta memang lebih kuat dari segalanya. Bahkan, kadang lebih kuat daripada maut. Kita akan menjadi cinta.

Maafkan aku karena masih belum bisa menepati janji bertemu denganmu.

Best wishes,

Ratih Kumala Dewi

***

BOLOGNA sore itu basah setelah diguyur hujan. Kristal hujan berpendar berkilauan terkena matahari. Angin berhembus semilir. Menggoyang pelan daun-daun yang basah. Buliran air di ujung daun-daun zaitun jatuh dengan rapuh. Luruh seluruh kelopak bunga mawar di sekitar Piazza del Nettuno.

Jauh di sudut sebuah bangku taman kota, Luciano duduk terpekur. Ditatapnya lamat-lamat foto Ratih Kumala. Seakan tersenyum. Seolah ingin mengucapkan sesuatu padanya. Diusapnya foto itu dengan penuh kasih sayang.

Siang tadi Luciano melihat tayangan CNN. Demo kembali terjadi di jantung kota Jakarta. Kali ini di Semanggi. Barisan mahasiswa bergabung dengan oposan antipemerintah. Keadaan benar-benar kacau.

     Petugas keamanan sudah habis akal. Mereka menghalau dan membungkam para demonstran dengan senapan.

 “Der, dor, der der dor!”

Terdengar bunyi laras senapan petugas  memuntahkan pelor. Konon katanya ada yang berisi dan ada yang kosong. Hal itu disengaja, agar jangan ada rasa bersalah dalam diri snipper.

Namun, salah satu senapan yang berisi pelor menghujam tepat kena dada Ratih Kumala Dewi.

Ia gugur sebagai Pahlawan Reformasi.

***

Karawaci, 5 Juni 2011

 

Tags : sastra