Notulensi (Notulen Puisi) Cinta Kang Maman
Judul: Ibu: Sebuah Obituari Cinta
Penulis: Kang Maman
Tahun Terbit: 2020
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta
Halaman: 148
ISBN: 978-623-293-143-5
Sosok penulis ini tentu sudah tak asing lagi bagi mata dan telinga kita karena wajahnya sering hadir di layar kaca, berlakon sebagai penulis notulen di berbagai mata acara. Ia, Maman Suherman atau akrab disapa dengan Kang Maman, yang di tangannya, segala karut marut, silang pendapat, dan keruwetan diskusi atau debat, luruh dalam sebuah notulen yang indah.
Tulisan dan kata-katanya yang bijak, yang menyentuh hati, membuat semua orang ingin membaca dan mendengarkannya. Tidak jarang, Kang Maman menyisipkan kata-kata satire sebagai sindiran bila harus bersinggungan dengan pihak-pihak lain. Ia tidak mau mempermalukan orang di muka umum secara vulgar dan sarkas. Barangkali, itulah yang menjadikannya disukai banyak orang.
Di dunia perbukuan, Kang Maman tergolong sebagai penulis produktif, setidaknya ia buktikan dengan terbitnya delapan buku di sepanjang tahun 2020. Satu dari kedelapan buku itu berjudul Ibu: Sebuah Obituari Cinta, dirilis pada Desember 2020. Sejumlah puisi bertema ibu ada di dalam buku ini, mengguratkan seberapa kuat ingatan si penyair kepada ibundanya. Ia notulenkan kisah hidupnya, pengalaman masa kecil, masa remaja, hingga masa tuanya, semasa berinteraksi dengan Sang Ibu.
Pun, buku kumpulan puisi ini lahir, menurut Kang Maman, tercetus setidaknya oleh tiga kejadian penting di masa pandemi Covid-19, yang membuat kondisi psikologisnya benar-benar terpukul, yakni kehilangan dua ibu yang sangat dicintainya: ibu mertua wafat pada 12 Mei, ibu kandung wafat pada 12 Juli. Lalu, di antara kedua peristiwa duka itu, putrinya sah menjadi seorang ibu, melahirkan anak pertama secara prematur pada 12 Juni. Oleh karena itu, karya-karya yang hadir di buku ini saya istilahkan sebagai “notulensi: notulen puisi” karena terbangun oleh catatan-catatan hidup yang dialami penyairnya.
Saya cuplikkan satu puisi berjudul Ibu, yang agaknya berangkat dari percakapan telepon antara penyair dan ibunya, yang terpisahkan secara fisik gegara pembatasan ruang gerak semasa pandemi Covid-19 di tahun 2020.
IBU
Ibu mengirim pesan singkat://Tiga emoji tetesan air mata//Tersentak//Telepon kuangkat, ada apa?
Terisak bunda kesayangan//Kamu di rumah, tak punya kerja, tak punya gaji, mengapa tetap kirim//uang ke ibu?//Simpan, untukmu//Ibu masih punya sisa tabungan.
Ibu//Tidak pernah berubah sedari dulu//Ibu//Masih selalu seperti dulu
Di mata Ibu//Setua apa pun anaknya//Tetap anak-anak baginya//Di mata Ibu. (hal. 27)
Inilah yang saya maksud dengan “notulensi”, yang meniadakan makna-makna terselimur di balik kata dalam sebuah puisi. Semuanya riil dan nyata, dibangun dengan narasi yang mudah dicerna, sebagaimana hakikat sebuah notulen. Yang menarik dalam puisi ini adalah munculnya diksi setua apa pun anaknya, tetap anak-anak baginya, di mata Ibu.
Sesuatu yang barangkali biasa-biasa saja, namun setelah dinarasikan dengan apik, kedalaman maknanya menjadi begitu kuat, tak terpatahkan. Ibu tetaplah ibu, ia akan tetap berlaku sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, setua apa pun usia sang anak, bagaimana pun kondisinya.
Puisi berikutnya yang juga cukup menarik adalah puisi berjudul Ibuku Pembohong. Lagi-lagi di sini Kang Maman dengan jernih merangkum memori seputar naluri pengorbanan seorang ibu, meski harus “berbohong”; dalam hal ini berbohong demi kebaikan anak-anaknya.
Sesuatu yang lumrah dilakukan oleh para ibu, untuk selalu berusaha tampak tegar di depan anak-anaknya dan tak ingin mereka melihat dirinya lapar, sakit, atau sedang menderita.
Puisi ini pernah dibacakan di Hari Ibu, 22 Desember 2019 di MetroTV, oleh seorang anak disleksia untuk ibunya yang juga disleksia dan menampung serta mendidik anak-anak berkebutuhan khusus di rumahnya.
IBUKU PEMBOHONG
Kata orang//Ibuku pembohong//Ya, betul//Ibuku pembohong
Saat makan//Jika makanan kurang//Ia berikan semua kepada anak-anaknya//“Makanlah, Ibu tidak lapar.”//Padahal kutahu seharian ia belum makan.
Waktu tersisa hanya ikan,//“Ibu tidak suka ikan, makanlah, Nak.”//Di dapur, setelah kami makan//Diam-diam, ia tempelkan nasi ke tulang ikan sisa kami//Agar nasinya beraroma ikan.
Tengah malam,//Saat sedang sakit dan menjaga anak-anaknya yang juga sakit//“Istirahatlah, Nak, Ibu masih belum mengantuk.”//Padahal kutahu, ia juga sakit, terkantuk-kantuk.
Ibu//Jangan pernah berbohong lagi//Jangan pernah bilang Ibu tidak sakit, Ibu tidak apa-apa//Jika Ibu sedang sakit keras...
Aku tak mau Ibu berbohong lagi//Dan itu menjadi kebohongan terakhirmu//Aku ingin Ibu sembuh//Aku tak ingin kehilangan matahariku. (hal. 138)
Secara umum puisi-puisi yang termaktub dalam buku ini seolah menggenapi pribahasa “Kasih Sayang Ibu Sepanjang Masa, Kasih Sayang Anak Sepanjang Galah” yang memiliki arti betapa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya itu selamanya seumur hidup, sedangkan kasih sayang anak kepada orangtua (ibu) sering memiliki batasan-batasan—sebagaimana belakangan ini sering terungkap anak yang tak segan berseteru dengan ibu, bukan lagi di ruang privat, melainkan hingga ke jagat maya, bahkan ke ruang pengadilan.
Oleh karena itu, lewat puisi bertema ibu dalam buku ini setidaknya kita belajar dua hal. Pertama, betapa waktu menjadi sangat berharga, terlebih bila kita masih sempat untuk membahagiakan ibu. Kalaupun situasi tak memungkinkan bertemu raga, bertegur sapa melalui berbagai kemudahan sarana komunikasi, jadilah. Jangan sia-siakan itu. Kedua, penyair menggugah kesadaran kita bahwa sampai kapan pun sosok ibu akan selalu menginspirasi, ibarat sumur yang tak pernah kering, sepanjang hayatnya. Bahkan tindakan-tindakan ibu yang mungkin selama ini kita anggap angin lalu, sejatinya mengandung maksud mulia untuk anak-anaknya. Itulah naluri seorang ibu.
Notulensi Cinta Kang Maman kepada ibundanya ini layak diapresiasi sebagai persembahan kasih bagi para ibu di seluruh muka bumi. ***