Sastra

Puisi: Selamat Jalan, Mesin Cuci

Kamis, 2 Februari 2023, 20:30 WIB
Dibaca 496
Puisi: Selamat Jalan, Mesin Cuci
Tukang loak mengangkut barang bekas dengan motor

mesin cuci itu akhirnya minta pensiun

setelah menemani kami hampir sepuluh tahun

 

ia dibeli dari royalti novel pertama

lantas mengikuti kami berkelana

berpindah-pindah empat kontrakan

–hidup ini hanya mampir ngontrak, bukan?

 

ia biasa menempati sudut paling lembab

siap menampung baju-baju kotor

yang kami jejalkan ke perutnya

dan ia berdengung lembut seperti senandung

mengenali bagian-bagian paling intim dari hidup kami:

keringat di celana dalam, percikan kuah kecap

di gaun batik, ingus di lengan kemeja

dan ia berdengung lembut seperti senandung

 

seorang teman berkata baju-baju itu seperti ketabahan

dan kotoran-kotoran yang melekat itu seperti kecemasan

baju mesti dilepaskan, dicuci, dikeringkan, diseterika,

dan siap dikenakan untuk menghadapi kecemasan yang lain lagi

 

di sudut yang paling lembab itu

mesin cuci setia menampung kecemasan-kecemasan kami

 

sampai suatu pagi kami menemukan

seekor tikus bersarang di bawah perutnya

bercericit mengiringi dengung lembutnya

kami mesti memanggil tukang servis untuk mengusirnya

: ah, rupanya tikus pun

suka bergelung di bawah timbunan kecemasan

 

pagi ini mesin cuci itu akhirnya minta pensiun

setelah menemani kami hampir sepuluh tahun

 

selamat jalan, kawan

semoga engkau bahagia di sana

dan kami segera mendapatkan dana

untuk membeli penggantimu yang tak kalah sentosa

 

Yogya, 2017