Puisi: Selamat Jalan, Mesin Cuci
mesin cuci itu akhirnya minta pensiun
setelah menemani kami hampir sepuluh tahun
ia dibeli dari royalti novel pertama
lantas mengikuti kami berkelana
berpindah-pindah empat kontrakan
–hidup ini hanya mampir ngontrak, bukan?
ia biasa menempati sudut paling lembab
siap menampung baju-baju kotor
yang kami jejalkan ke perutnya
dan ia berdengung lembut seperti senandung
mengenali bagian-bagian paling intim dari hidup kami:
keringat di celana dalam, percikan kuah kecap
di gaun batik, ingus di lengan kemeja
dan ia berdengung lembut seperti senandung
seorang teman berkata baju-baju itu seperti ketabahan
dan kotoran-kotoran yang melekat itu seperti kecemasan
baju mesti dilepaskan, dicuci, dikeringkan, diseterika,
dan siap dikenakan untuk menghadapi kecemasan yang lain lagi
di sudut yang paling lembab itu
mesin cuci setia menampung kecemasan-kecemasan kami
sampai suatu pagi kami menemukan
seekor tikus bersarang di bawah perutnya
bercericit mengiringi dengung lembutnya
kami mesti memanggil tukang servis untuk mengusirnya
: ah, rupanya tikus pun
suka bergelung di bawah timbunan kecemasan
pagi ini mesin cuci itu akhirnya minta pensiun
setelah menemani kami hampir sepuluh tahun
selamat jalan, kawan
semoga engkau bahagia di sana
dan kami segera mendapatkan dana
untuk membeli penggantimu yang tak kalah sentosa
Yogya, 2017