Sastra

Pulih untuk Luka | My Cerpen

Jumat, 15 April 2022, 15:55 WIB
Dibaca 914
Pulih untuk Luka | My Cerpen
Pulih untuk Luka

Semrawut, acakadut, berantakan. Aroma tubuhnya bau pesing. Ia melintas bersama bunyi kelentang kaleng minuman soda yang diisi setengahnya dengan kerikil. 

Jalan setapak itu tempat ia melintas setiap pagi. Entah kemana arahnya. Ia tampak lalu-lalang begitu saja. Jika merasa lelah, ia duduk di bawah pohon rindang, lantas bernyanyi dan tertawa bebas.

"Kau sudah gila, Murni!"

"Ya. Kau orang gila!"

"O ... rang gila. Orang gila ... orang gila!"

Aku kerap mendengar dengan jelas gertakan warga yang melintas di hadapan Murni. Ada yang menaruh iba, ada yang melecehkan bahkan ada pula yang menjadikan lelucon.

Meski kadang dihujat habis-habisan, Murni tak menggubris. Namanya juga orang dalam gangguan jiwa. Ya, pastilah cuek bebek, hidup bebas, pemberani pula.

Pernah satu ketika ....

Saat murni duduk di bawah pohon rindang itu. Ia membawa satu buku.
Perbuatan Murni mirip bayi yang baru saja mulai belajar bermain, merobek-robek kertas lalu diraup dan kembali ia remas untuk dijadikan bola. 

"Murni, ayo naik ke rumah! Sebentar lagi hujan turun. Ntar kamu disambar geledek!" Salah satu warga teriak dari ujung jalan. 

Belum lama ucapan itu terlontar, langit tanpa sungkan langsung memunculkan cahaya yang menyilaukan. Beberapa saat kemudian suara guruh menggelegar, memekik telinga, membuat Murni tunggang-langgang.

Krererek ... krek ... Krek ... duaaarrr!!!

Aku refleks mendengar halilintar paling parah yang pernah terjadi di depan mataku. Pohon rindang itu ambruk, beruntung sudah tidak ada Murni di sana. 

Hampir saja jantungku copot. Beruntung jiwaku kuat. Aku jadi iba pada Murni. Meski dicap pemberani, nyatanya Murni takut juga akan dua hal, petir dan gelapnya malam.

Kasihan sekali Murni. Ia tak punya tempat berteduh lagi. Padahal, setiap hari ia tertawa dan bernyanyi riang di sana. Pohon rindang itu bak panggung performance baginya.

Aku memang baru dua pekan hadir di sini untuk mengisi waktu liburan di rumah Nini. Aku memanggil nenek dengan sebutan Nini. 

Pohon rindang itu berada tepat di seberang rumah Nini. Itu sebabnya, aku kerap memantau aktifitas Murni di sana.

"Murni udah lama gila, Ni?" tanyaku sambil membopong Nini ke dalam.

"Geus lila, Neng. Tilu taun ieu sigana."

"Kasihan ...." Aku kembali menaruh iba.

"Cenah manehna depresi."

"Kusabab naon?"

"Ditilar ku salakina."

"Ditinggal?!"

"Iya ... Murni ukur dijieun selir."

Hatiku tersentak. Setega itu kah kaum laki-laki pada wanita?

Apakah mungkin hati seorang istri sah di sana tidak terluka apabila mendengar suaminya menyimpan gundik? 

Lalu, kenapa harus Murni? Kenapa salah satu wanita cerdas di desa ini yang harus menjadi korban? Kenapa?

Murni sebelumnya bukanlah ODGJ. Ia berpendidikan tinggi, punya talenta menyanyi. Sebelum menikah dengan laki-laki brengsek itu, ia berkerja sebagai pegawai Bank swasta. Cantik pula.

Ketika pagi tiba, Murni datang lagi. Menyeret sandal jepit diiringi kelentang bunyi kaleng yang terdengar jelas saat ia melewati jalan setapak di samping rumah Nini. 

Aku bergegas membuka tirai dan mengintip dari celah jendela agar bisa melihat lebih dekat pada wanita ODGJ itu.

"Sssttt ... Murni!" aku mendesis.

Murni tetap berlalu tanpa peduli padaku.
Dari kejauhan, aku melihat Murni berdiri bagai patung. Mungkin ia merasa sedih setelah melihat tempat berteduhnya tak lagi rindang. Pohon itu telah tumbang disambar petir.

Aku mencoba mendekati, menyapa Murni dengan lembut.

"Teh Murni, hayu urang ulin." aku menyodorkan beberapa lembar kertas padanya untuk mengajak Murni bermain bola-bola.

Murni merampas kertas yang ada dalam genggamanku. Meremasnya dengan kasar. Lalu, ia duduk bertekuk lutut menghadap pohon yang sudah tumbang. Ia menangis sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak.

Aku membiarkan Murni berekspresi dengan caranya sendiri. Sampai ia lelah lalu duduk terkangkang sambil menopang dagu.

"Teteh mau ikut saya ke kota?" Setelah situasi agak tenang, aku memberanikan diri untuk bicara padanya.

Murni menggeleng.

"Kunaon eta?" 

Murni masih tak menggubris.

"Ya udah ... nanti kalau saya datang lagi buat jemput, Teteh ikut, ya." aku merangkul lembut pundaknya.

Murni akhirnya mengangguk.
Entah, ia paham atau tidak dengan ucapanku. Setidaknya, Murni sudah mau diajak berkomunikasi *).

Kisah itu sudah berlalu sejak tujuh tahun silam. 

Murni kini telah pulih. Sekarang, ia tinggal bersamaku. Aku memberinya pekerjaan untuk menjadi babysitter anak-anakku. 

Sejak Murni kehilangan pohon rindang karena disambar petir, aku telah minta izin pada keluarganya untuk membawa Murni ke rumah sakit jiwa agar dapat memulihkan kondisi psikologisnya. 

Saat perawatan di RSJ, aku rutin menyambangi Murni. Hal itu kulakukan sekadar untuk membawanya makanan dan mengecek perkembangan pemulihannya.

Hampir delapan belas bulan murni di rawat di RSJ, kondisi jiwanya tampak mulai membaik. Ia juga sudah mulai bisa mengenalku. Sejak saat itu, aku memboyong Murni untuk tinggal bersamaku.

Aku melatihnya untuk mandiri dan kembali menikmati hidup secara normal. Meski kesulitan dan kadang kala Murni masih kerap melamun seorang diri. 

Beruntung, aku punya dua anak cantik dan tampan di rumah. Mereka juga sangat menyayangi Murni. Perlahan, Murni mulai terbiasa dengan keadaan di rumahku. Dua anak ceria itu selalu menumbuhkan tawa bersama Murni. Aku pun turut bahagia.

"Bapak pernah pulang ke rumah, Teh?" aku tetap manggilnya Teteh. Sebab usianya terpaut sepuluh tahun dariku. 

"Dua hari yang lalu ada, Bu."

"Sama anak-anak diajak jalan?" tanyaku lagi.

"Iya, sama Teh Ratih dan Aa Zio dibawa ke mall."

"Oh, makasih ya udah jaga anak-anak selama saya tinggal ke luar kota."

Murni mengangguk. Sudah menjadi tugasnya untuk menjaga anak-anak saat aku tinggalkan. Lagi pula, Ratih dan Zio kini sudah beranjak remaja.

Aku mendekam di kamar. Membuka album lawas, di sana aku menyelipkan foto Murni yang pernah kuambil diam-diam dengan Kodak jadul kala itu.

Aku belum pernah menunjukkan foto ini pada Murni. Aku hanya tak ingin membuka memori buruk tentang dirinya. Foto itu tetap tersimpan rapi sebagai kenangan. Bahkan, suamiku sendiri pun tak pernah diberitahu olehku.

Aku meratap sedih, mengulik kisah Murni saat tujuh tahun silam. Terpuruk oleh kehidupan normal yang telah menghancurkannya.

Murni pernah terjebak dalam situasi perselingkuhan yang aku tahu bahkan ia sendiri tak pernah menginginkan hal itu terjadi. 

Memang benar Murni telah dijadikan gundik, bahkan ia begitu sabar menerima kecaman dan hinaan sebagai wanita perusak rumah tangga orang.

Tapi ... aku telah menemukan sebuah buku yang pernah Murni tulis ketika masih waras. 

Ia berkisah tentang bagaimana caranya ia tetap kuat mencintai meskipun hanya sebagai selir yang sebenarnya ia sendiri tak pernah mau.

Murni bahkan telah berulang kali mengingatkan laki-laki itu untuk tidak menaruh hati padanya. Ia hanya seorang perempuan biasa.  

Aku melihat cinta yang begitu besar pada mereka. Bahkan istri Kang Deni begitu sayang padanya. Tapi, Kang Deni juga tak bisa melepasku. Katanya dia sayang. Ingin sehidup semati denganku. Nyatanya, Kang Deni juga tidak bisa meninggalkan istrinya.

Murni menulis dengan jelas isi hatinya. Ia terjebak dalam situasi buruk saat mencintai laki-laki yang salah di waktu yang tidak tepat. 

Dulu, sebelum membawa Murni ke RSJ aku juga pernah minta izin pada keluarganya untuk menggeledah kamar Murni. Dari sana aku menemukan buku harian ini. 

Murni ada di jalan yang benar. Ia hanya bisa mencintai tanpa bisa memiliki. Begitu besar cintanya pada laki-laki itu. Sampai ia tak pernah sadar jika dirinya hanya seorang gundik yang diperlakukan tidak adil sebagaimana mestinya. 

Ia sembunyi di balik cinta, berusaha tenang meski tak pernah dianggap. Ketika aroma perselingkuhan itu tercium, Murni malah kena batunya. Dituduh merebut suami orang padahal dia sendiri tak pernah menginginkannya. 

Celakanya lagi, laki-laki hidung belang itu malah pergi begitu saja setelah mendapat makian dari istri sahnya. Ia bahkan tidak membela Murni sama sekali. 

Hati wanita mana yang tidak hancur jika diperlakukan seperti ampas? Setelah habis diserap lantas di buang begitu saja?
Murni telah menulis dengan detail bagaimana proses perkenalan itu terjadi sampai pada akhirnya mereka hidup bersama, menikmati bahagia hingga ia terbuang begitu saja.

Aku kini ada di posisi istri sah. Istri yang tetap sabar saat mengetahui perselingkuhan suamiku. Aku tak ingin memaki wanita itu. Sebab, aku tak ingin dia menjadi gila seperti Murni. Aku tahu wanita itu ada di jalan yang benar. 

Wahai para lelaki, mengapa kau berani membagi hatimu kalau pada akhirnya kau tak bisa memilih dengan adil? Tidak kah kau tahu, bahwa caramu telah merusak mental dua wanita yang sama-sama tulus mencintaimu?

Genta sudah lama tidak bersamaku. Aku sengaja memberinya ruang untuk bersama wanita itu. Meski pun sekali waktu ia tetap pulang untuk menjumpai dua buah hatinya. 

Dalam kebisuan, aku hanya bisa menunduk. Menilik lebih dalam pada kehidupan Murni. Mungkinkah aku nanti juga akan menjadi sepertinya?

Menjadi gila hanya karena mencintai terlalu dalam.