Sastra

Anak Bulan Turun ke Sungai Kayan

Senin, 10 Oktober 2022, 12:54 WIB
Dibaca 748
Anak Bulan Turun ke Sungai Kayan
Anak Bulan Turun ke Sungai Kayan

Judul: Anak Bulan Turun Ke Sungai Kayan

Penulis: Rendy Aditya Paraja

Tahun Terbit: 2022

Penerbit: Baloy Aksara - Trussmedia

Tebal: ix + 130

ISBN: 978-623-7771-66-1

 

Harus diakui bahwa saya tidak banyak sastrawan yang berasal dari Kalimantan. Beberapa yang saya tahu dan bisa saya sebut diantaranya adalah Korrie Layun Rampan, Hasan Aspahani dan seorang penulis muda yang sedang menanjak Miranda Seftiana. Beberapa karya mereka saya baca.

Saya menjuluki Korrie sebagai HB Jassin van Borneo. Sebab Korrie begitu tekun mendokumentasikan karya-karya sastra selepas Jassin tak lagi produktif. Sedangkan Hasan Aspahani adalah seorang penyair yang bukan saja produktif menghasilkan puisi, ia juga mengedukasi peminat sastra dengan mengulas puisi-puisi hebat karya anak negeri dan dari manca negara. Ia menulis sosok-sosok penyair, seperti Chairil dengan cara yang sangat kreatif. Bukunya tentang Chairil ditulisnya dengan merefleksikan puisi-puisi yang ditulis Chairil dengan kisah hidupnya.

Miranda Seftiana menggebrak khasanah sastra Indonesia dengan bukunya “Jendela Seribu Sungai.” Dalam novel tersebut Miranda Seftiana menggarap budaya dan kearifan lokal Banjarmasin ke dalam sebuah novel. Beberapa cerpen Miranda Seftiana juga muncul di koran Nasional sekelas Kompas.

Saya sungguh bersuka cita saat mendapatkan buku “Anak Bulan Turun ke Sungai Kayan” karya  Rendy Aditya Paraja alias Ipin. Sebab munculnya buku ini membuat pengetahuan saya tentang sastrawan Kalimantan bertambah. Ipin masih muda, tetapi ia telah mewakili Indonesia dalam temu sastrawan muda Asia Tenggara (MASTERA). Ia produktif menghasilkan karya-karya yang menarik. Format cerpen dipilih untuk menuangkan kegelisahan sastrawinya.

Sebagai putra Kalimantan Utara, ia risau dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan lingkungannya. Kegelisahannya itu dituangkan dalam cerita-cerita yang menggugah.

Ia menggarap tema-tema masyarakat Kalimantan Utara khususnya yang masih berada pada persimpangan antara masa lalu dengan kemajuan yang begitu pesat. Cerita tentang hantu dan makhluk halus, kesetiaan pada perahu, bekantan yang tersengat listrik di hutan kota yang terisolasi, budaya mengayau, makanan yang bisa diambil dari alam versus indomie diolahnya menjadi sebuah perenungan tentang kemajuan yang tak selalu membawa kesenangan, apalagi ketenangan. Ipin juga menulis tentang COVID-19 yang melanda masyarakatnya. Kenangan dan nilai-nilai yang masih tertanam dalam masyarakat ini oleh Ipin diurai dalam cerpen-cerpennya. Ia menghadapkan pengetahuan dan nilai-nilai masa lalu dengan kondisi terkini.

Dalam cerpen pertama, “Meme” Ipin menggambarkan bagaimana seorang anak yang suka buku dan dongeng, malah ingin bermain dengan hantu. Dalam cerpen “Perahu Dayung di Teras Rumah Sagoy” Ipin membenturkan kenangan masa lalu dengan nilai ekonomi yang saat ini menjadi satu-satunya nilai tertinggi. Dalam cerpen “Anak Bulan Turun ke Sungai Kayan” yang dijadikan judul buku kumpulan cerpen ini, Ipin bahkan menunjukkan belum sinkronnya persekolahan dengan budaya di Kaltara. Sekolah yang dianggap oleh orang modern sebagai satu-satunya jalan menuju sukses, justru mengalami hambatan karena budaya panen.

Seperti dijelaskan oleh Muhammad Thobroni di pengantar – Tobroni adalah seorang dosen sastra di Universitas Borneo Tarakan, gaya bercerita Ipin bercitarasa unik dan kuat secara estetika. Deskripsinya membuat kita bisa membayangkan suasana, waktu, warna, bau dan rasa. Seakan-akan kita sedang berada di situasi yang diungkapnya. Dalam penggunaan percakapan pun Ipin sangat piawai. Ia menyelipkan percakapan di hampir semua cerpennya. Gaya percakapan yang dipakainya sangatlah alamiah. Percakapan yang memang terjadi sehari-hari. Ia tidak memperhalus percakapannya supaya mendapatkan kesan sastrawi. Justru gaya percakapan yang lugas inilah yang membuat cerpen-cerpennya membumi. 707

 

Tags : sastra