Sastra

Tea Bag Story - Secangkir Kopi untuk Almarhum

Selasa, 4 Mei 2021, 14:15 WIB
Dibaca 1.563
Tea Bag Story - Secangkir Kopi untuk Almarhum
sumber foto: coretandeny.wordpress.com

Angin sepoi-sepoi berhembus. Lembut. Menyusup lewat pori-pori kulitku. Terasa sejuk. Masih terlampau pagi untuk mengaduk dua gelas kopi.

Bapak selalu duduk di muka jendela. Tanpa baju. Meneguk kopi. Menggulung cerutu. Lalu, asap rokoknya membumbung tinggi di udara. Sesekali, jika ada ubi rebus maka bertemanlah kopi di hadapannya.

Bapak suka kopi buatanku. Katanya enak. Aku punya teknik sederhana saat mengaduk kopi: Rebus air sampai matang. Untuk ukuran gelas sedang, takaran kopi cukup dua ujung sendok saja.  Seduh kopi dengan air panas. Aduk. Kemudian tambahkan gula satu sendok.

Kopi buatanku sedikit pahit. Ciri khas itu yang Bapak suka.

Kami punya quality time yang pas. Saat matahari malu-malu muncul di langit Timur, saat embun masih turun di ujung dedaunan. Aku selalu terbangun setelah Bapak membuka daun jendela. Kadang kala, ia teriak membangunkan aku.

"Dek, ayo bangun ... kasih makan Babi!" suara itu terngiang-ngiang hampir di setiap pagiku.

Rambut Bapak sudah beruban. Hampir putih semua. Tandanya sudah menua. Tidak juga! Bapak banyak pikiran. Beberapa kali, saat pulang liburan aku membawa oleh-oleh semir rambut untuk Bapak. Aku risih kalau melihat rambut Bapak tampak memutih. Seperti hilang kegantengan saja. Meski kadang ia ngamuk jika semir rambut tercolek di daun telinganya, aku tak peduli.

Belakangan, rambut Bapak tampak semakin putih. Lebih panjang dan tak terawat. Tubuhnya mulai mengering. Keriput kulit wajahnya mulai muncul. Akhir-akhir ini kulihat, Bapak lebih suka melamun di jendela.

Tak ada lagi asap rokok, ia lebih sering menopang dagu sambil terbatuk-batuk. Mungkinkah Bapak sakit? Tidak juga.

"Pak ... minum dulu kopinya!"

Tak ada jawaban. Kulihat tatapan mata Bapak kosong. Ia tak bergeming. Bahkan ketika kucing kesayangannya mengelus-elus ekor di kakinya, ia tetap mematung.

"Pak, nanti kita nyemir rambut ya!?" aku sedikit merayu.

Senyuman khasnya mengalihkan duniaku. Bapak sangat ganteng, menurut penilaianku. Ia selalu bertanya harapanku. Tanpa bertanya, apa keinginanku. Seandainya ... aku hanya ingin Bapak duduk di jendela. Tanpa baju. Meneguk kopi. Menggulung cerutu. Lalu, asap rokoknya membumbung tinggi di udara.

Quality time kami sedikit rusak. Selain babi yang sudah mati terbunuh, Bapak punya hobi baru, menoreh getah. Tak ada semangat untuk bangun pagi. Ngopi pun jadi tanpa sensasi. Bapak pulang menoreh saat matahari sudah tersenyum cerah dan embun pagi telah mengering di dedaunan.

"Bapak mau ngopi?"

Ia meludah lewat jendela. Membuang biji batuk yang terdengar seperti bunyi petasan gagal meledak.

"Simpan aja kopinya!" suara Bapak terdengar parau.

"Iya. Nanti, Dedek simpan."

Aku tak ingin bertanya: Bapak ada masalah apa, atau Bapak sakit apa. Berat. Semua sudah nampak dari raut wajahnya.

Meski Bapak telah lama diam, quality time kami tetap berjalan. Aku bangun lebih awal, sebelum Bapak turun menoreh. Aku masih rutin mengaduk kopi. Tekniknya sama. Tentu saja Bapak akan tetap suka.

Hingga di satu pagi, dua gelas kopi berjejer di atas meja. Aku mengaduknya dengan penuh semangat. Sebentar lagi Bapak bangun. Kulirik jam dinding. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang selalu kami gunakan.

Ibuk menyusur dapur. Kulihat ia masih sempoyongan, menuju kamar mandi. Setelah membasuh muka, Ibuk tampak segar.

"Kamu buat kopi untuk siapa, Dek?"

"Bapak!" jawabku, singkat.

"Mau diantar ke makam?"

Aku tersentak. Pertanyaan Ibuk menelusuk,  mengerogoti jiwa. Sungguh! Semua itu ada di luar batas ingatanku, Bapak telah tiada. Ia kini berpulang dalam damai. Tak ada lagi cerutu, tak ada lagi cerita. Bapak memang sudah tiada. Kuangkat segelas kopi untuk Almarhum.