Cerpen | Tante Susi
Pukul 22 WIB. Malam merangkak larut. Sebelum aku menutup pintu gerbang rumah sepulang kerja, tanpa sengaja mataku mengarah pandang ke pintu gerbang tetanggaku. Aku terpana: Tante Susi, wanita paruh baya dengan dandanan make up tebal dan gincu merah menyala baru saja masuk ke mobil Fortuner hitam yang menjemputnya.
Sebenarnya aku tak akan kepo seandainya baru sekali saja aku menjumpai pemandangan seperti ini. Tetapi setiap berpapasan di jam yang sama, aku melihat hal yang sama. Tante Susi selalu berangkat di saat malam mulai pekat.
Di saat para pekerja pulang ke rumah, ia justru baru mengawali kesibukannya di luar. Dan, cara berdandannya itu, menggoda. Selain make up tebal, pakaian yang dikenakan pun berpotensi mengalihkan pandang mata lelaki.
Aku mulai khawatir kalau-kalau ia menggoda suamiku. Secara jarak, rumah kami berdekatan. Andaikan saat suamiku sedang sendiri di rumah dan menjumpai tante Suci dengan penampilan seperti ini….? Ah, aku tak ingin menambah kekhawatiran dengan terus memikirkannya. Tapi tak bisa.
Sempat kulihat sosok lelaki berbadan tinggi besar di belakang kemudi mobil itu. Cara lelaki itu menatap tante Susi, dan gestur tubuh tante Susi saat bercakap dengan lelaki itu terasa bukan seperti pertemanan biasa.
Bagaimana tante Susi menyambut si lelaki membuatku bertanya-tanya dan menimbulkan hasrat ingin tahu makin menggebu.
Hendak ke mana malam-malam begini? Bekerjakah? Pekerjaan apa yang dilakukan seorang wanita dengan pergi malam pulang pagi? Ah…
**
“Pa, kita harus menemui pak RT. Tetangga baru kita sangat mencurigakan,” kataku pada suami saat bercengkerama di rumah.
“Memang ada apa, Ma?”
“Ada yang tidak beres dengan tetangga kita. Tante Susi, sepertinya ia seorang pelacur.”
“Hussh! Mama jangan sembarangan bicara.” tukas Papa mengingatkan.
“Mama tidak asal bicara, Pa. Beberapa kali mama melihatnya keluar tumah jam 10 malam. Coba Papa pikir, pekerjaan apa yang dilaķukan malam-malam. Apalagi kostumnya rok yang tingginya melewati lutut. Bajunya juga setengah transparan. Kita tak boleh tinggal diam, Pa.”
“Jadi Mama mau laporkan tante Susi ke pak RT?” tanya Papa meyakinkan.
“Tepat. Lebih cepat lebih baik. Rumah kita harus dijauhkan dari orang seperti tante Susi. Seorang pezina akan membawa dampak buruk bagi tetangga sekelilingnya. Termasuk kita. Apalagi rumah kita bersebelahan.”
**
Di rumah pak RT. Aku melaporkan apa yang aku lihat selama ini seputar tante Susi kepada beliau. Aku berharap tetangga baru itu tidak diizinkan lagi tinggal di lingkungan ini. Dia harus diusir, karena jika tidak akan membawa bencana dan nasib sial bagi semua warga.
Pak RT manggut-manggut sebelum ia merespon laporanku.
“Ibu sabar dulu. Yang jelas Ibu Susi sudah melapor ke saya seminggu yang lalu. Ia memang bekerja malam. Di KTP-nya tertera “Wirausaha”. Tapi dia memang tak menjelaskan lebih jauh bidang usahanya. Selama dia menaati peraturan RT, aku tidak berhak mengusirnya. Dia juga warga yang perlu dilindungi hak-haknya.” ujar pak RT. “Saranku, ibu bersabar. Jangan mengambil kesimpulan sebelum dapat informasi yang lengkap.”
**
Merasa tidak mendapat dukungan pak RT, aku membujuk suamiku untuk mengajak menelusuri jejak tante Susi di malam hari. Kami akan membuntuti ke mana wanita yang masih nampak seksi di usianya yang kisaran 40 an itu mengarahkan tujuannya.
Tetapi di siang hari sebelum malam yang direncanakan tiba. Ada banyak anak-anak memenuhi rumah tante Susi. Tanpa kuduga, tante Susi menghampiri rumah tetangga dekatnya. Meminta izin bahwa siang ini rumahnya kedatangan anak-anak yatim asuhannya selama ini.
“Mohon maaf jika siang ini agak berisik karena anak-anak berkumpul di rumah ya, Bu,” kata tante Susi kepada para tetangga dekatnya. Termasuk aku. Kali ini dengan penampilan berbeda. Lebih anggun dan sopan dari biasanya.
Dan senyum itu. Senyum tante Susi. Bukan senyum wanita penggoda, tapi senyum keibuan dan kasih sayang. Mungkin mataku telah silap memandangnya selama ini.
***
Depok, 26 Januari 2021