CERPEN| Gaun Terindah Tante Tuti
Sejenak aku mematut-matut diriku dengan pakaian baru ini. Benar-benar baru, karena memang setelah lama kuidamkan baru saja aku memerolehnya. Ada rasa haru dan bangga saat mengenakannya, tapi tebersit pula sedikit rasa canggung karena ini pertama kalinya aku mengenakan pakaian ini. Kuhela napas panjang, akhirnya…, gumamku.
Terdengar pintu kamar dibuka, dan Oca, keponakanku yang masih imut itu masuk dan memandangiku sambil sesekali menelengkan kepalanya.
“Bagaimana, Oca? Om pantas nggak pakai ini?”
Oca hanya terkikik kecil, barangkali geli dan aneh melihatku dalam penampilan seperti ini.
“Om Probo lucu…,” komentar Oca sambil menggembungkan pipinya yang menggemaskan. Baru saja aku hendak mencubit pipi tembem itu, Mas Bisma, kakakku satu-satunya yang juga ayah Oca masuk dengan wajah serius.
“Oca, jangan ganggu Om Probo. Sebentar lagi Eyang Tuti rawuh (datang).”
Hmm…Eyang Tuti, pikiranku langsung melayang padanya. Ya, Eyang Tuti tak lain adalah Tante Tuti, adik nomor sekian dari ibuku. Aku tak pernah bisa langsung menyebut dengan persis nomor urutnya karena ibuku bersaudara empat belas! Mungkin lazim pada zaman dulu seorang ibu rutin melahirkan…hingga empat belas kali bahkan lebih. Toh aku tetap saja tak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya punya empat belas saudara. Dua bersaudara dengan Mas Bisma saja, semasa kanak-kanak entah sudah berapa kali kami bertengkar untuk hal-hal sepele. Aku tersenyum geli setiap kali mengingatnya.
Hubungan kami—aku dan Mas Bisma—dengan Tante Tuti sangat dekat. Semasa kami seusia Oca, dengan menumpang becak, Tante Tuti sering mengajak kami ke tempat kerjanya—sebuah perpustakaan umum di pusat kota Yogyakarta yang buka pada sore hari. Di sana, kami bebas bermain dan membaca apa saja sepuasnya, sementara Tante Tuti melayani para peminjam buku. Lalu, pulangnya, sekali-dua kali Tante Tuti menraktir kami makan bakso di warung langganan. Aku dan Mas Bisma sangat menikmati momen-momen itu.
Sederhana tapi menyenangkan. Dan, bagi Tante Tuti kami sudah dianggap sebagai anaknya sendiri—maklum hingga saat itu Tuhan belum menurunkan jodoh buat Tante Tuti.
Pelan, kuseka pakaian baruku dengan telapak tangan—licin dan halus—sekadar meyakinkan diri semuanya sudah seperti yang diharapkan. Malam ini, di rumah ini, kami semua menunggu kedatangan Tante Tuti.
“Kamu masih ingat nggak, Dek, bagaimana dulu Tante Tuti suka minta kita memijatnya dengan cara menginjak-injak punggungnya yang kecapaian sepulang kerja?” tanya Mas Bisma sambil menggendong Oca.
Kami tertawa mengingatnya. “Tapi dasar kita masih bocah, Mas, bandel banget. Bukannya mijitin Tante, eh kita berdua malah naik ke punggung Tante Tuti, menjadikannya kuda-kudaan.”
“Itu pun kita masih memaksanya untuk mendongeng buat kita.”
“Kalau dipikir-pikir, tante kita itu bukan main sabarnya sama kita ya. Dia bukannya marah—bahkan sepertinya dia nggak pernah marah sama kita ya?”
“Malah kita yang sepertinya kebablasan membawa kebandelan kita sampai dewasa. Bukannya membalas kebaikan Tante Tuti, tapi kita justru seolah melupakannya begitu saja, sibuk dengan urusan sendiri-sendiri.”
Kami berdua tercenung sesaat.
“Sering aku merenungkan hal itu dan rasanya nyesel juga. Tapi mau bagaimana lagi, waktu nggak bisa diputar kembali. Semua sudah berlalu,” seruku lirih.
“Penyesalan memang selalu datang belakangan, Dek.”
“Makanya, Mas. Berdoalah semoga kebandelanmu itu nggak menurun ke Oca,” sahutku mencoba mencairkan suasana kembali.
Kami berdua tertawa.
“Ini kesempatan kita untuk memberikan yang terbaik pada Tante Tuti, Dek.”
Ya, itulah Tante Tuti, kepada kami keponakan-keponakannya ia jarang sekali atau bahkan tidak pernah marah, bahkan hingga kami bertumbuh tahun demi tahun. Sebaliknya, dengan segala keterbatasannya, ia berusaha selalu memanjakan dan menyenangkan kami berdua.
“Kasihan anak-anak, Mbak, mereka sudah tidak punya ayah yang bisa memanjakan mereka,” begitu kilah Tante Tuti setiap kali Ibu mengingatkannya untuk tidak terlalu memanjakan kami. Begitu cerita yang pernah kami dengar dari Ibu.
Ya, semenjak Ayah tiada, Ibu memutuskan untuk kembali ke rumah Eyang dan kami hidup bersama dengan tiga adik ibu yang lain. Lalu, ketika satu demi satu mereka pergi dan pindah ke kota lain, Tante Tuti yang masih menemani kami hingga kami selesai kuliah. Baru beberapa tahun terakhir lah, setelah pensiun dan puluhan tahun menabung, Tante Tuti membeli sebuah rumah mungil di utara kota. Dia tampak begitu bahagia karena akhirnya mampu memiliki rumah sendiri dari hasil jerih payahnya—baginya hidup serasa nyaris sempurna. Hidup terus ia jalani apa adanya, meski harus dilaluinya tanpa kehadiran seorang pun pendamping hingga memasuki usia pensiun. Apa saja dilakukannya sekadar mengisi hari-harinya, termasuk rajin mengulik segala macam Teka-Teki Silang dari koran apa saja. Sejak itu, kami punya panggilan kesayangan kepadanya: Miss TTS. Dan, seperti Tante Tuti yang dulu-dulu, dia tak marah mendapat julukan itu, malah ganti menodong kami untuk membelikannya berbagai kamus bahasa asing dan buku-buku pengetahuan populer.
Glek! Kami terdiam dalam sadar. Terutama Mas Bisma. Mendadak dia menepuk dahinya, teringat masih punya janji pada Tante Tuti yang belum terpenuhi: membelikan Kamus Bahasa Indonesia-Belanda yang baru.
Terdengar pintu kamar diketuk. Ibu masuk, mengenakan gaun terusan yang baru saja selesai dijahitkan pada Mbak Mar, penjahit langganan. Jahitannya terkenal rapi, pas di badan, dan tepat waktu.
“Bagaimana gaun Ibu?”
“Wow! Cantik!” jawabku dan Mas Bisma serempak.
Dengan gaun barunya, Ibu memang terlihat cantik meski usianya telah memasuki angka tujuh puluh.
“Kain dan pilihan warnanya pas,” puji Mas Bisma. Dalam hal ini aku setuju dengan kakakku ini. Intuisi seninya lebih kuat dibanding intuisi seniku—talenta yang diwarisinya dari Ibu.
Mendapat pujian dari Mas Bisma, Ibu mengusap gaun barunya.
“Tante Tuti ikut memilihkan warnanya. Kebetulan, waktu Mbak Mar kemari, Tante Tuti ada di sini. Jadi, dia sekalian menjahitkan gaun baru. Warna ini pilihan tante kalian,” terang Ibu. “Waktu itu, Tante Tuti bilang, ‘Udah, Mbak, warna ini aja. Pasti Probo dan Bisma suka.’.”
“Benar, Bu. Tante Tuti nggak salah pilih. Ibu cantik sekali dengan warna itu,” pujiku.
“Gaun Tante Tuti motifnya juga seperti ini?” sela Mas Bisma.
Ibu termenung sejenak, mencoba mengingat. “Sedikit lebih tua warnanya. Katanya, sudah lama ia menunggu acara ini, makanya dia pesan gaun khusus, dia pengin tampil ceria meski usia sudah tidak muda.”
Kami jadi merasa bersalah, terlebih lagi aku, karena ini memang acaraku. Tapi, aku tak mengharapkan penyambutan seperti ini, bisa bertemu dan berkumpul saja aku sudah senang…tak perlu repot menyiapkan pakaian baru segala. Aku bukan pejabat, bukan orang penting, apalagi artis yang haus disambut dengan penuh gemerlap.
“Kamu seperti tidak tahu tantemu saja, Probo. Kalau sudah buat kalian, apa saja akan dia jalani.” Ibu menghela napas pendek, “Sudah lama dia tak bertemu kamu, makanya dia ngotot mau menjahitkan gaun barunya itu.”
Kami berdua berpandangan, Tante Tuti…Tante Tuti…, begitu batin kami.
***
Jam menunjukkan pukul 18.30. Terdengar suara mobil perlahan memasuki halaman rumah. Oca melonjak-lonjak di gendongan Mas Bisma, mulutnya tak henti memanggil-manggil “Eyang Tuti…Eyang Tuti….”
“Bu, Mas Bisma…,” bisikku lirih sambil kurentangkan tanganku.
Sekilas Ibu dan Mas Bisma memperhatikanku, lalu keduanya mengangguk memberi keyakinan padaku. Mas Bisma menepuk bahuku, Ibu membuka pintu kamar dan mengajak kami keluar dari kamar—menuju ruang tamu.
Di ambang pintu ruang tamu, aku menghentikan langkahku.
“Ibu…”
Sejumlah tamu sudah ada di sana. Semua mata tiba-tiba serasa tertuju kepadaku. Sementara, di teras rumah beberapa orang tampak sibuk mengurus ini-itu. Ibu tampaknya memahami kegalauan yang mendadak menyergapku itu. Dengan lembut, Ibu mengelus punggungku dan menyilakanku memasuki ruang tamu.
“Sekarang kamu yang memimpin….”
“Ibu…,” bisikku pelan, “Aku belum siap.”
“Probo, Tante Tuti sudah datang. Jangan kecewakan dia. Tantemu pasti terlihat cantik dalam balutan gaun yang khusus dipesannya itu. Tantemu itu tak pernah mengingkari janjinya. Dia datang ke sini demi acaramu, mengenakan gaun terbarunya, seperti janjinya pada Ibu... meski dalam kondisi tak seperti yang kaubayangkan.”
Aku hanya mengangguk.
“Sekarang, lakukanlah apa yang harus kamu lakukan.”
Pandanganku lurus ke depan.
Beberapa pria yang semula sibuk di teras perlahan masuk dengan memanggul sebuah peti—tempat Tante Tuti kini terbujur kaku di dalamnya.
Kembali Ibu membisiku, “Terimalah kenyataan ini, Nak, bahwa berkat pertamamu sebagai seorang pastor yang baru ditahbiskan harus kauhadiahkan kepada Tante Tuti, tante yang telah turut memberi arti dalam perjalanan hidupmu selama ini.”
Kupandang sekilas pakaianku yang baru—kasula (*pakaian rohaniwan katolik) yang masih sangat licin.
“Tantemu pasti sangat bangga kamu akhirnya berhasil menjadi seorang romo, seorang pastor,Probo. Betapa dia sangat menanti peristiwa ini, Nak. Sampai ia meminta Ibu berjanji untuk tidak menceritakan kepada kalian penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya. Ia coba alihkan semua rasa sakit menjadi energi positif dengan menyibukkan diri dalam banyak kegiatan… demi ingin menyaksikan pentahbisanmu. Tapi rupanya Tuhan punya rencana lain yang lebih indah untuknya.”
Langkahku berhenti di samping peti jenazah. Wajah Tante Tuti terlihat begitu damai dan cantik, dibalut gaun terindahnya. Selintas kembali berkelebat bayangan dua bocah bandel yang sedang bercanda dengan Tante Tuti di dalam sebuah becak yang perlahan menghilang dalam kegelapan malam. Tante Tuti…terima kasih….