Cerpen: Akhir Sebuah Obsesi
Man jadda wa jadda. Rasanya aku ingin protes pada guruku atas kebohongan quote ini. Bagaimana tidak? Bertahun-tahun aku berkutat dengan tumpukan buku-buku pelajaran. Matematika, fisika, bahasa, dan kumpulan-kumpulan soal yang tebalnya segede gaban. Belajar tak kenal lelah, dari ruang sekolah berlanjut di ruang kelas lembaga bimbingan belajar. Begitu selalu hari-hari kulalui demi sebuah mimpi: mengenakan jaket kuning sebuah universitas favorit. Tak cukupkah aku bersungguh-sungguh menggapai mimpiku?
Nyatanya, jalan ke sana tak semudah mengucapkan sebuah quote. Tak seindah dan seringan kata-kata motivator.
Atau barangkali aku memang manusia bodoh? Quote sebagus apapun tak cocok dijadikan pegangan orang sepertiku. Quote itu hanya berlaku untuk orang-orang berotak encer, genius dan bernasib baik.
Masuk perguruan tinggi negeri adalah obsesi yang membanggakan kala itu. Keberhasilan memasuki pintu gerbangnya adalah separuh keberhasilan masa depan. Begitu yang kupahami sejak SMA. Begitu yang kusimpulkan dari pandangan guru-guru dan teman-teman sekolahku. Karena itu hampir seluruh waktu kucurahkan untuk meraihnya.
Tetapi ketika tiba pada hari yang kutunggu-tunggu, aku harus rela menelan kenyataan yang pahit. Aku harus menunjukkan wajahku yang kusut dan tubuhku yang lemas di balik harapanku yang kandas. Dalam kekalutanku aku beritahukan kegagalanku pada ibu.
"Maaf, Bu. Heni belum berhasil," sungguh berat mengabarkan berita itu pada ibu.
"Gak apa-apa, Nduk. Kamu bisa mencobanya lagi tahun depan," hibur Ibu ketika melihat raut wajahku murung usai membolak-balik lembaran-lembaran koran. Sudah ketelusuri berulangkali, namun tak kunjung kutemukan namaku. Namaku yang kubayangkan akan tertera di halaman pengumuman hasil seleksi penerimaan mahasiswa baru itu.
"Yang penting kamu sudah berusaha," sambung Ibu.
"Iya, Bu. Tapi kalau mencoba lagi tahun depan, Heni kasihan sama Ayah yang harus bekerja keras lagi mencari uang untuk biayanya," ucapku sembari menarik nafas dalam-dalam, agar segumpal kekecewaan tak lagi menyumbat di dalam dadaku.
“Jangan pikirkan itu. Itu sudah kewajiban orang tua. Yang penting kamu jangan putus asa,” ujar Ibu menguatkanku.
Berkat dorongan ibu, aku tak ragu untuk mencoba lagi di kesempatan ke-2. Sengaja aku menunda masuk kuliah tahun itu, agar sepenuhnya bisa mempersiapkan diri lebih baik.
Seperti tahun lalu, aku kembali berkutat dengan buku-buku pelajaran di ruang kelas bimbingan belajar. Mengulang kembali merajut asa. Membolak-balikkan lagi lembar demi lembar materi yang pernah kupelajari.
Hingga tiba saatnya aku menempuh ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri ke-2 kalinya. Aku persiapkan sebaik mungkin. Sebelum hari H, lokasi ujian sudah aku survey lebih dahulu agar perjalanan esok hari lancar. Semua peralatan ujian seperti pensil 2B, mistar, papan ujian, penghapus dan sebagainya aku persiapkan sebaik mungkin.
Tak lupa kupanjatkan doa pada Tuhan dan restu dari Ayah dan Ibu. Hingga aku merasa benar-benar siap “berperang”.
***
Hari ujian telah tiba. Fajar pagi diiringi suara sholawat tarhim terasa syahdu. Sepagi itu kami bangun tidur. Kami mengawali hari dengan sholat tahajud. Lalu ibu menyiapkan sarapan di dapur. Ayah memanaskan motor bebeknya di teras rumah. Aku mempersiapkan peralatan ujian dan mengemasnya dalam tas sekolah warna biru.
Pukul 05.30 Ayah sudah siap mengantarkanku dengan motornya menuju lokasi ujian di sebuah kampus yang terletak di Jakarta Barat. Sebelum motor itu melaju, aku minta doa dan mencium tangan ibu.
“Hati-hati ya, Nduk. Ibu doakan kamu berhasil,” ucap Ibu dengan senyumnya yang menyejukkan.
***
Di tengah jalan, motor ayah melaju cukup kencang. Matahari masih belum sepenuhnya muncul. Lampu-lampu jalan tinggal sebagian yang masih menyala. Ketika kami melewati sebuah jalan yang belum sepenuhnya terang, tiba-tiba motor ayah terpental jauh. Kejadiannya berlangsung yang sangat cepat. Sebuah lubang cukup dalam tak terlihat oleh pandangan mata ayah. Motor itu tak sempat menghindar. Aku terlempar ke pinggir jalan. Ayah terpelanting dan tertindih motornya. Ia mengalami luka-luka dan pingsan. Kecelakaan tunggal itu akhirnya membuat perjalanan kami berakhir di rumah sakit. Sekaligus mengakhiri perjuanganku menuju lokasi ujian. Sebab aku harus dirawat di sana selama satu minggu.
Setiap hari ibu menungguiku dan ayah di rumah sakit. Sesekali ia tak bisa menyembunyikan air matanya yang tumpah demi melihatku terbaring di rumah sakit. Tetapi ibu tak bosan menguatkanku untuk tidak putus asa akibat musibah ini.
“Ibu merasakan apa yang kamu rasakan, Nduk. Tetapi siapa yang bisa menghindari musibah? Kamu harus fokus istirahat dulu agar lekas sembuh.”
“Iya, Bu. Heni masih berharap ada kesempatan sekali lagi di tahun depan.”
“Jangan pikirkan itu dulu. Ibu bersyukur kamu dan ayahmu masih diberi keselamatan. Itu lebih dari segalanya buat Ibu,” ujar Ibu menyadarkan dan menenangkanku.
***
Di tahun berikutnya aku kembali mencoba kesempatan seleksi PTN. Ini kesempatan terakhir kalinya. Aku berharap kali ini bisa membahagiakan ayah dan ibu.
Tetapi sekali lagi aku harus menelan kekecewaan. Tiga kali kesempatan aku kembali gagal. Pikiranku nyaris gelap usai membaca pengumuman lewat website.
“Nduk, sudahlah. Kuliah bisa di mana saja, tak harus masuk kampus negeri. Ibu masih sanggup membiayaimu di kampus swasta. Kampus negeri bukan satu-satunya jalan menuju masa depanmu.”
“Maafkan Heni, Bu. Mungkin Heni memang bodoh.”
“Hus, tidak baik berkata seperti itu. Kamu tetap putri Ibu yang terbaik. Ayo, senyum,” hibur Ibu sembari mengusap cairan bening yang mengalir dari kelopak mataku.
Aku bangga, memiliki ibu yang selalu hadir dalam dukaku. Sejak itu aku menguatkan tekad untuk melupakan obsesiku masuk perguruan tinggi negeri. Akhirnya aku menjalani kuliah di universitas swasta, dengan jurusan pilihanku.
Meskipun di kampus swasta, aku ingin menunjukkan prestasi dan hasil yang membuat ayah dan ibu bangga. Berkat Tuhan, restu orang tua dan ketekunanku, aku berhasil lulus dengan predikat Summa Cum Laude. Aku pun mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan BUMN.
Dan, suatu ketika berkat prestasiku di tempat kerja aku bisa menunjukkan satu hal yang tak pernah kubayangkan.
“Ibu, ini surat dari HRD. Heni mendapat beasiswa kuliah di Jerman,” Ibu menyambutku dengan terkesima. Ia hampir tak percaya. Tetapi dari raut wajahnya terpancar suka cita walau diiringi linangan air mata. Lalu ibu memelukku erat. Erat sekali. Aku rasakan, hari itu adalah hari paling bahagia yang aku temukan di wajah ibu seumur hidupku.
Dan rasanya aku harus minta maaf pada guru SMA-ku yang telah mengajarkan kalimat sakti: Man jadda wa jadda.
***