Sastra

Lacak Pemusing Dan Lacak Siit | Cerpen

Minggu, 23 Mei 2021, 22:23 WIB
Dibaca 1.020
Lacak Pemusing Dan Lacak Siit | Cerpen
dokpri

Di sebuah dusun terpencil, hiduplah dua orang lelaki bersaudara. Keduanya memiliki rumah yang saling berhadapan. Mereka hidup dengan rukun meskipun telah yatim piatu. Mereka hidup dengan berkecukupan. Sebab setiap kali musim panen padi selalu melimpah ruah.

Anak sulung sering dipanggil Lacak Pemusing. Sebab tingkah-laku dan tutur katanya sering membuat orang di sekitarnya pusing.

Sedangkan si bungsu dipanggil Lacak Siit karena ia sangat pelit.

Suatu hari, mereka berbincang-bincang dan berencana untuk memelihara ternak sapi.

"Hai, Adik ku, mari kita membeli dan memelihara bersama masing-masing seekor sapi, nanti jika beranak pinak maka kita akan semakin terpandang di dusun ini,” kata Lacak Pemusing.

"Baiklah kakak ku, tetapi bagaimana kesepakatannya?" tanya Sang adik.

Sejenak sang Kakak terperangah, “Tumben Si Adik langsung setuju,” pikirnya.

Sebab kebiasaan sehari-hari sang adik paling sulit jika diajak berdiskusi apalagi berkaitan dengan hal-hal yang belum pasti akan memberikan keuntungan secara spontan.

“Gampang adik ku, yang penting mari kita masing-masing siapkan dulu sapinya,” jawab sang kakak.

Mereka bersepakat sang kakak menyiapkan sapi jantan sedangkan sang adik menyiapkan sapi betina.

Sang kakak dengan mudah mendapatkan sapi jantan yang diinginkan. Sekali bicara maka sapi yang diinginkan langsung dapat. Bukan karena Si Pemusing berani membayar dengan harga mahal, tetapi karena tetangga enggan untuk tawar menawar terlalu lama yang malah bikin pusing.

Sebaliknya bagi sang Adik dirasakan begitu sulit untuk mendapatkan sapi betina yang diinginkan.

Waktu terus berputar, hari berganti hari, minggu berganti minggu bahkan sudah masuk  bulan kedua namun sang Adik belum juga mendapatkan sapi betina yang diinginkan.

Sebenarnya bukan perkara sulit bagi sang adik untuk mendapatkan sapi yang diinginkan karena tetangga sebelah memiliki banyak sapi betina dan si Adik tinggal memilih. Namun dasar si Adik terkenal pelit. Dia enggan untuk membeli sapi dengan harga yang terbilang mahal.

”Saya harus mendapatkan sapi betina yang sehat dengan harga murah,” bisik hati Si Pelit.

Namun karena sang kakak terus mendesak maka dengan amat sangat terpaksa dijuallah padinya untuk membeli seekor sapi betina, yang menurutnya harga sangat mahal. Dia membeli bukannya langsung lunas melainkan dengan cicilan.

“Meskipun belum lunas tetapi sapi ini tetap saya bawa dulu,” kata si Pelit kepada tetangganya.

“Baiklah tetapi jangan lupa cicilannya,” jawab tetangga dengan kesal.

Alhasil, dua ekor sapi sudah tertambat di tiang depan rumah masing-masing. Setiap pagi sebelum berangkat ke ladang sapi tersebut dibawa ke padang rumput hijau yang ada di belakang rumah. Sore hari baru dibawa pulang ke rumah. Mereka menggembalakannya secara bergiliran.

“Agar sapinya sehat, jangan lupa setiap pagi dan sore diberi minum air garam secukupnya,” pesan si Pemusing.

“Dikira mudah mendapatkan garam di dusun terpencil seperti ini,” kata Sang Adik dalam hati.

Padahal itu hanya alasan si Pelit untuk tidak mengeluarkan ongkos untuk membeli garam.

Beberapa tahun kemudian beranaklah sapi peliharaan tersebut. Seekor anak sapi jantan yang sehat dan gemuk. 

Karena pada awal membuat kesepakatan, segala sesuatu dibicarakan tidak dengan jelas maka berebutlah keduanya. Masing-masing ingin mengakui dan memiliki anak sapi tersebut.

"Sebab aku yang memiliki sapi betina maka itu adalah anak sapi milik ku!" seru Lacak Siit.

"Bagaimana mungkin sapi betina itu akan beranak, jika tidak karena sapi jantan," jawab Lacak Pemusing.

Pertengkaran mereka pun berbuntut panjang, berbagai upaya yang dilakukan para tetangga belum membuahkan hasil. Bahkan melalui sidang adat, sudah memasuki sidang adat yang ke-tujuh pula, tetapi tidak ada keputusan yang dapat meyakinkan kedua belah pihak.

Para hakim terbaik di dusun tersebut bahkan dusun tetangga sudah dikerahkan. Tetapi tidak ada satupun keputusan yang dapat diterima.

"Baiklah aku akan refreshing barangkali aku akan menemukan ide," bisik hati Lacak Pemusing.

Berangkatlah dia ke hutan di lereng bukit. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seekor kancil ajaib.

"Hallo, apa kabar Lacak Pemusing," sapa sang Kancil dengan santainya.

"Ach jangan mengganggu, ini lagi bingung, "jawab Lacak Pemusing. Sambil terus berjalan.

"Saya tau pasti ada yang anda pikirkan," goda sang Kancil.

Lacak Pemusing diam sejenak. Lalu diceritakannya perihal perebutan kepemilikan anak sapi tersebut. 

"Itu perkara gampang, kembalilah dalam tempo tujuh atau delapan hari aku akan datang menemui mu di persidangan adat," jawab sang Kancil ajaib.

Tiba waktunya persidangan yang kedelapan yang dipimpin oleh seorang hakim adat, datanglah sang Kancil.

“Silakan duduk di samping ku,” pinta Sang Hakim adat tegas.

Persidangan segera dimulai.

Kedua kakak beradik dipersilakan untuk menyampaikan pendapat secara bergiliran.

Sang Hakim mendengarkan dengan seksama.

Sebaliknya sang Kancil bukannya menyimak dan memperhatikan sidang yang sedang berlangsung malah tertidur pulas.

"Daaaaaarrr," seru Lacak Pamusing.

Meja tempat  Sang Kancil berbunyi keras terkena pukulan Lacak Pemusing.

"Engkau berjanji datang ke sini untuk membantu menyelesaikan masalah, ternyata engkau enak-enakan tidur," teriak Lacak Pemusing geram.

Bukan main kagetnya sang Kancil.

"Aduh, saya minta ampun, sudah tujuh hari tujuh malam saya tidak tidur,” kata Sang Kancil dengan mata yang masih kemerah-merahan.

"Kenapa?" potong Lacak Pemusing.

"Saya menjaga ayah yang hamil tetapi tak kunjung melahirkan," jawab Kancil.

"Tidak masuk akal, tidak mungkin seorang ayah bisa melahirkan," sanggah Lacak Pemusing.

"Tetapi ayah tetap bersikeras kalau dia akan melahirkan," balas Kancil.

"Tidak mungkin, itu tidak akan terjadi, katakan kepada ayah mu, hal itu tidak akan pernah terjadi," jawab Lacak Pemusing dengan wajah penuh kemarahan.

“terjebak kau!” Sang Kancil bersorak di dalam hati

"Yakinkah engkau akan hal itu, hai Lacak Pemusing?" pancing Kancil.

"Yakin seyakin-yakinnya," bentak Lacak Pemusing dengan suara tinggi.

"Maaf, Tuan Hakim, sidang ini dimenangkan Si Lacak Siit," tegas Kancil.

“Jelaskan!” pinta Sang Hakim.

"Mungkinkah sapi jantan akan beranak, wahai Lacak Pemusing?" kata Sang Kancil dengan penuh wibawa.

Lacak Pemusing terdiam.

Akhirnya Lacak Pemusing tertunduk lesu setelah mengetahui kemana arah pembicaraan sang Kanci.

Dia tersadar, siapa yang akan memiliki anak sapi yang sehat dan gemuk yang ingin dimiliki oleh olehnya.

“Tok tok tok, sidang ditutup dan pemenangnya Si Lacak Siit,” menggelegar suara Sang Hakim Adat memenuhi ruangan.

Begitulah seorang Lacak Pemusing yang selalu dengan mudah memperdayai setiap orang dengan sikap dan tingkah lakunya untuk semakin terpandang di dusunnya, akhirnya pulang dengan membawa kekalahan.