Sastra

Langit Merah Jakarta - Sebuah Fiksi Sejarah Masa Akhir Orde Baru

Rabu, 31 Januari 2024, 07:06 WIB
Dibaca 1.249
Langit Merah Jakarta - Sebuah Fiksi Sejarah Masa Akhir Orde Baru
Langit Merah Jakarta

Judul: Langit Merah Jakarta

Penulis: Anggie D. Widowati

Tahun Terbit: 2003

Penerbit: Grasindo

Tebal: 187

ISBN: 979-695-628-4

 

Fiksi sejarah selalu menarik. Apalagi jika sang pembaca mempunyai banyak pengetahuan tentang peristiwa yang sedang ditulis menjadi sebuah karya fiksi. Sambil membaca kita bisa melakukan reka ulang kejadian-kejadian yang pernah ada. Kita juga bisa menebak-tebak tokoh-tokoh yang disamarkan dengan nama lain.

Ketika sejarah tak berani mencatat, sastra akan mengambil alih perannya. Demikian juga dengan kisah runtuhnya Orde Baru. Pada akhir era Orde Bru, banyak fakta yang harus dipelintir sedemikian rupa. Pelintiran fakta ii tentu sangat merugikan sejarah bangsa. Sebab fakta-fakta yang ada harus dihilangkan atau setidaknya disembunyikan.

Ketika suasanya berubah, rezim yang ditakuti telah tumbang, kebenaran sejarah pun tetap perlu diragukan keakuratannya. Sebab tentu saja mereka yang menang akan menyeleksi fakta atau setidaknya memberi pemaknaan yang berbeda terhadap fakta-fakta yang sama.

Meski tidak sepenuhnya menyembunyikan fakta sejarah melalui fiksi, novel “Di Bawah Langit Jakarta” memang mengambil sepenggal kisah sejarah di akhir Orde Baru. Kisah huru-hara Kantor PDI di Jalan Diponegoro No. 58 Menteng, Jakarta menjadi awal dari demonstrasi-demonstrasi yang menuntut mundurnya Suharto. Demonstrasi yang diawali di Bulan Juli 1997 itu berlanjut sampai puncaknya di Bulan Mei 1998, saat MPR meminta Suharto turun dan Suharto mau tidak mau menurutinya.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Raden Ayu Fifilia. Ia adalah seorang wartawan. Karena ancaman pembunuhan akibat ia memberitakan kecurangan sebuah perusahaan makanan, Fifilia terpaksa mengungsi ke Jakarta. Di Jakarta ia melanjutkan profesinya sebagai wartawan. Itulah sebabnya ia terjebak dalam kekerasan politik yang melanda Jakarta dari Jalan Diponegoro (1997) sampai di Gedung MPR (Mei 1998). Kemudian berlanjut sampai Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia.

Anggie D.Widowati berhasil membangun tokoh Fifilia sebagai mantan seorang demonstran, berdarah ningrat dan pejuang kesamaan hak perempuan. Narasi idealism ala mahasiswa/demonstran yang dipakai oleh Angie untuk menggambarkan Fifilia membuat saya paham sejauh mana Fifilia pahan dunia demonstrasi mahasiswa. Untuk menunjukkan kesamaan hak, Fifilia tak segan merokok di depan umum. “Jika lelaki boleh, mengapa perempuan tidak,” begitulah sandaran Fifilia dalam memperjuangkan kesamaan hak lelaki dan perempuan.

Anggie bertutur secara kronologis. Pilihan cerita yang tidak maju mundur ini memudahkan saya mengikuti alur sejarah yang dikisahkannya.

Catatan Anggie tentang kejadian-kejadian di Jakarta cukup detail. Ini tentu berhubungan dengan profesi lama Anggie sebagai seorang wartawan sebuah surat kabar nasional. Pemaparan peristiwa yang disajikan sangat mirip dengan cara wartawan menulis berita. Tentu saja dengan bumbu fiksi yang dramatis. Misalnya tentang para demonstran yang melempari batu para polisi yang menjaganya.

Meski banyak catatan peristiwa yang detail, Anggie tetap menyadari bahwa karyanya adalah sebuah karya fiksi. Itulah sebabnya saat menceritakan tokoh yang diculik ia menggunakan nama samara. Nama tokoh yang diculik itu adalah Dery. Tetapi melihat bahwa ia adalah mahasiswa asal Solo, pernah mengalami trauma sampai harus dirawat di RS Jiwa Kentingan, kita bisa menduga siapa sebenarnya tokoh tersebut senyatanya.

Bagian yang menurut saya kurang berhasil adalah bumbu percintaan antara Fifilia dengan Irawan. Dua sosok yang berbeda ini mencoba untuk menjalin cinta. Namun karena perbedaan yang sangat besar, cinta mereka kandas. Tokoh Irawan sebenarnya bisa diekploitasi supaya lebih menyatu dengan cerita. Misalnya menjadikan Irawan sebagai anak seorang pejabat yang posisinya terancam reformasi. Atau Irawan ternyata seorang intel, atau sesuatu yang membuat Irawan menjadi bagian dari cerita besar di novel ini. Sayang sekali Anggie membiarkan sosok Irawan hanya sebagai pajangan saja.

Novel ini patut dikoleksi karena karya fiksi ini menyimpan fakta-fakta sejarah yang pernah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. 813

Tags : sastra