Riset

Sejarah Sanggau (2): Muara Sekayam Lokus Bersejarah

Senin, 8 Februari 2021, 22:35 WIB
Dibaca 929
Sejarah Sanggau (2): Muara Sekayam Lokus Bersejarah

Muara Sungai Sekayam. Jatuh tepat di jantung Kota Sanggau. Di sinilah rombongan Dara Nante beristirahat karena mendapat rintangan untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Sungai Mengkiang lalu menyusuri Sungai Entabai.

Tim peneliti DAS Kapuas yang dibantu oleh Albert dan Lisa segera memulai penelitian di bantaran Sungai Kapuas. Mereka membagi tahapan-tahapan penelitian, yang mereka sebut sebagai milestone. Milestone pertama, mereka mengumpulkan data dan informasi tentang Borneo dan eksistensinya melalui kajian literatur. Lewat kajian literatur mereka mengetahui tentang berbagai peristiwa yang telah berlaku dalam peredaran masa. Apa yang tertulis dalam literatur tersebut ternyata mendukung penglihatan Albert dan Lisa ketika mereka masih di dalam lorong ruang waktu.

Beberapa penulis terdahulu yang diketahui Albert, telah menulis zaman purba,  masa itu Borneo dikenal sebagai pulau eksotis dengan hamparan hutan hujan tropis yang selalu berkabut dan sukar ditembus, itulah sebabnya pulau ini menjadi daya tarik yang luar biasa bagi para pendatang dari luar, seperti orang orang Eropa, Cina, Arab dan India. Mereka datang sebagai pedagang, pelancong, peneliti, pengembara dan penyebar agama serta ideologi.

Pengaruh Cina terlihat dalam kebudayaan penduduk asli, seperti pengetahuan tentang bercocok tanam, memasak, dan berdagang. Pengaruh India agaknya jauh lebih tua dibandingkan suku bangsa lainnya di Borneo, hal ini bisa dikesani lewat sistem religi masyarakat Dayak.

Suku bangsa Dayak mengenal tiga dewa utama (dinamakan sesuai dengan varian pertuturan masing masing sub-suku) yang mempunyai tugas mirip dengan dewa dewa Hindu, seperti Dewa Brahma, Shiwa dan Wisnu. Pada Dayak Kanayatn dikenal tiga dewa utama, yaitu Nek Bikang, Nek Lamikng dan Nek Nange. Nama-nama Tuhan orang Dayak seperti ‘Jubata’, ‘Nyabata’, ‘Jewata’, ‘Petara’, ‘Ala Ta Ala’, Duata, Penompa dan lain sebagainya diduga berasal dari akar kata ‘Dewata’. Selain itu dikenal juga banyak dewa dewa lain yang memerintah dan menghuni sungai, tanah, hutan, gunung, batu, rumah, ladang, dan lain lain.

Pengaruh peradaban Arab, Bugis dan Banjar kelihatan dari tradisi pemerintahan lama yang menggunakan sistem kerajaan. Orang orang Arab, Bugis dan Banjar memperkenalkan pemerintahan sistem kerajaan untuk mengatur penduduk Borneo Barat. Hal yang paling nampak adalah munculnya sistem pemerintahan wilayah adat yang dikenal dengan nama ‘Binua” atau “Banoe” yang mempunyai sistem pemerintahan mirip kerajaaan kuno di Borneo Barat. Pengaruh Arab, Bugis dan Banjar juga kelihatan dari penyebaran agama Islam yang sekarang ini dianut oleh sebagian penduduk.

Sedangkan pengaruh peradaban Eropa yang paling nampak bisa dilihat pada sistem pendidikan, agama, pemerintahan, dan hukum. Dalam bidang pendidikan secara fisik, hingga sekarang ini masih banyak ditemukan peninggalan-peninggalan gedung sekolah buatan Belanda; dalam bidang kurikulum juga masih menerapkan sistem pendidikan ala Belanda; dalam bidang keagamaan disebarkan agama Katholik dan Protestan yang diiringi dengan pendirian tempat ibadah. Agama ini cepat menyebar mulai dari kota hingga ke pelosok pelosok wilayah di Kalimantan Barat. Sistem hukum, secara nasional, hukum Indonesia masih menerapkan hukum Pemerintah Kolonial Belanda.

Walaupun sudah ratusan tahun, silih berganti dikunjungi oleh para pengembara dari luar, namun hingga kini para pakar yang menekuni penelitian tentang Borneo masih beranggapan bahwa pulau tersebut termasuk ke dalam daerah yang belum dikenal. Borneo, dari waktu ke waktu hutannya semakin menipis, tetapi selalu saja ada di antara para pakar konservasi yang menemukan tumbuhan ataupun hewan spesies baru yang belum diketahui.

Selain itu, kawasan hutan hujan tropis termasuk tumbuh-tumbuhan semak juga menyediakan obat-obatan bagi manusia dan hewan yang mengkonsumsinya. Salah satu alasan yang menyebabkan Borneo sebagai pulau yang belum atau tidak dikenal adalah karena jarang sekali, bahkan hampir tidak ada kajian yang mendetil tentang kebudayaan sungai di pulau ini, padahal pulau ini mendapat gelar ‘pulau seribu sungai’.

Dari segi penetapan batas wilayah, Borneo-Indonesia adalah bagian dari bekas jajahan Belanda, sedangkan Borneo-Malaysia dan Brunei Darusalam adalah bekas jajahan Inggris. Sejak masa lampau, orang orang Belanda dan Inggris membagi Pulau Borneo berdasarkan topografi bumi di mana yang ditentukan sebagai batas wilayah adalah puncak puncak bukit atau dataran tinggi yang termasuk ke dalam Daerah Tangkapan Air.

Demikian juga halnya, dengan hilir DAS yang terdiri dari pantai dan laut, secara otomatis juga menjadi batas wilayah. Pemerintah Hindia Belanda juga membagi Pulau Borneo Barat per provinsi berdasarkan atas punggung punggung bukit dan pengunungan. Misalnya, wilayah yang membatasi Kalimantan Barat dengan Sarawak Malaysia Timur merupakan wilayah perbukitan yang memanjang dari Pegunungan Poe dekat Sajingan Kabupaten Sambas dan Lundu-Sarawak sampai ke wilayah TNBK di Kapuas Hulu. Kalau kita melihat peta Borneo, maka wilayah yang membatasi Kalimantan Barat dengan Kalimantan Timur adalah Pegunungan Kalingkang (masuk kawasan TNBK) dan Pegunungan Muller di Kapuas Hulu. Sedangkan yang membatasi Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah dan Selatan adalah Pegunungan Schwaner.

Letak wilayah geografi bentang alam yang menjadi batas wilayah (baik antar negara maupun antar provinsi), dalam perencanaan pembangunan, telah menjadi “blessing in disguise”, hal ini bisa dilihat dari melimpah ruahnya sumber daya alam termasuk lahan dan hutan dengan segala isinya yang menjadi penopang pembangunan nasional sejak kolonial hingga NKRI sekarang ini.

Di era otonomi daerah, perencanaan pembangunan wilayah Borneo Barat menerapkan konsep pembagian wilayah ala Kolonial Belanda tempo dulu. Menurut konsep pembangunan yang dirancang oleh BAPPEDA, Borneo Barat dibagi menjadi 4 (empat) Wilayah Pengembangan (WP) yang meliputi WP Tengah, WP Pesisir, WP Antar Provinsi, dan WP Antar Negara.

WP Tengah terdiri dari Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Landak. WP Pesisir terdiri dari Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. WP Antar Provinsi meliputi Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Ketapang. Untuk WP Antar Negara meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas. 

WP Tengah yang difokuskan di Kawasan Tayan, diarahkan pada titik pusat pembangunan transportasi yang membuka keterisolasian wilayah pedalaman dan memperlancar aksesibilitas arus orang dan barang ke dan dari wilayah pesisir. Pengembangan WP Tengah meliputi jalan dan jembatan, pelabuhan sungai, penataan kota, pusat agribisnis, pertambangan, instalasi air bersih, kelistrikan, dan model-pertanian. WP Pesisir diarahkan pada pengembangan pelabuhan samudera/pelabuhan regional/pelabuhan perikanan, promosi investasi, terminal perikanan, budidaya-tangkap ikan, agribisnis/aqua bisnis, pariwisata (budaya, kesenian, pantai dan kepulauan) dan pengembangan pulau-pulau kecil. WP Perbatasan Antar Propinsi diarahkan pada pengembangan pertambangan, perkebunan, eco-tourism, dan promosi parawisata. WP Perbatasan Antar Negara diarahkan pada border development centre (BDC), perkebunan, industrial estate, promosi parawisata, dan mobilisasi sumberdaya, (sumber: Bappeda Kalbar).

Setiap WP tersebut terdapat potensi sumber daya alam yang melimpah, baik sumberdaya alam di permukaan maupun berupa bahan gaLisan. Sumberdaya alam di permukaan berupa laut, sungai, air terjun, gunung, dan potensi tanah yang cocok untuk dikembangkan bagi pertanian dan perkebunan, sedangkan sumberdaya alam gaLisan meliputi Batu Bara, Emas, Air Raksa, Antimoni, Ball Clay, Besi, Bauksit, Pasir Kwarsa, Perak, Molibdenit, Mangan, Tembaga, Timah Hitam,Timah Putih, Kaolin, asalt, Andesit, Granit, Dioreti, Batu Gamping, dan Agate, (sumber: RPJM Kalbar 2008-2013).

Untuk mengelola kawasan tersebut agar bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, pemerintah Borneo Barat memerlukan sebuah perencanaan pembangunan baik untuk jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek yang disusun secara sistematis, menyeluruh, dan berkelanjutan serta terintegrasi ke dalam sistem pembangunan nasional.

Pembagian wilayah berdasarkan atas topografi dan wilayah geografi yang dilakukan sejak zaman kolonial Belanda, Jepang, NKRI, dan selanjutnya diadopsi oleh Pemerintah Daerah 2008-2013, untuk membuat perencanaan pembangunan wilayah provinsi, ternyata sangat sesuai dengan konsep ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS).

Ekosistem daerah aliran sungai selalu dibagi menurut zona wilayah hulu, tengah dan hilir.  Secara biogeofisik daerah hulu dianggap sebagai daerah konservasi dengan kerapatan drainase yang lebih tinggi dan kemiringan yang lebih besar. Dalam zona wilayah Borneo Barat, wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi termasuk ke dalam wilayah hulu DAS. Wilayah pengembangan tengah merupakan wilayah tengah DAS yang kondisi ekosistemnya merupakan penghubung wilayah hulu dan hilir. Sedangkan wilayah pembangunan pesisir mewakili kondisi ekosistem DAS bagian hilir.

Ekosistem daerah aliran sungai yang dibagi menurut zone wilayah hulu, hilir dan tengah akan menentukan bentuk bentuk kebudayaan yang berkembang di wilayah tersebut, termasuk masyarakat yang menghuni bantaran sungai. Masyarakat yang bermukim di zona hulu DAS Kapuas secara umum memang berbudaya darat, hutan, gunung, batu dan segala unsur di dalamnya. Tetapi, masyarakat yang bermukim di zona tengah dan hilir DAS rata rata telah menerapkan budaya dan peradaban sungai.

***