Politik

HUT RI ke-76, Jokowi, dan Baju Baduy

Rabu, 18 Agustus 2021, 07:11 WIB
Dibaca 601
HUT RI ke-76, Jokowi, dan Baju Baduy
Presiden Jokowi Kenakan Baju Adat Baduy Diacara Pidato Kenegaraan Pada HUT RI ke -76

Hanya di era pemerintahan  presiden Jokowi lah, di setiap perayaan Kemerdekaan RI, Kepala Negara menggunakan pakaian adat Nusantara dan itu dilakukan oleh Presiden secara bergantian disetiap perayaan HUT RI.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi sebagai Kepala Negara tersebut, tentunya merupakan suatu hal yang menginspirasi sekaligus memberi contoh dan tauladan kepada semua warga Indonesia, khususnya generasi muda, bahwa Negara ini sangat beragam adat istiadat dan budayanya.

  Pakaian adat adalah salah satu penanda dari identitas salah satu suku yang mewarnai keragaman Indonesia yang bhineka ini.

 Memperingati HUT kemerdekaan RI ke - 76 kali ini, Jokowi mempergunakan 2 baju adat yang berbeda, yaitu baju adat suku Baduy manakala menyampaikan pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus, serta baju adat khas Lampung takkala memimpin upacara Kemerdekaan 17 Agustus 2021 di Istana Merdeka.

 Menjadi hal yang sangat menarik adalah ketika Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat khas suku Baduy. Bagi penulis, tak hanya memberi kesan bahwa kepala Negara sangat peduli dengan suku yang menjauhi dunia luar dan me-nabu-kan kehidupan modern itu, tetapi lebih pada sebuah pesan dengan memaknai "hidup sederhana, menghargai alam dan adat istiadat"

 Sebagaimana yang telah diketahui suku Baduy adalah kelompok etnis yang dengan sengaja memisahkan dirinya dengan kehidupan luar, mereka menutup diri dan menghindari kehidupan yang serba modern. Mereka menjaga dan melestarikan adat istiadat, kepercayaan serta tanah adat. Bahkan dalam berpakaian pun hanya menggunakan pakaian hitam-hitam untuk suku Baduy Luar, seperti yang dipergunakan oleh Presiden saat pidato kenegaraan.

 Sedangkan suku Baduy Dalam berbusana putih-putih mendiami tanah adat serta diketahui tidak berhubungan dengan masyakarat luar, serta tidak mengenal pendidikan dan teguh menganut agama kepercayaan leluhur, tentunya tak mengenal teknologi, termasuklah handpone yang telah menjadi bagian keseharian umat manusia.

 Membandingkan kehidupan suku Badui dengan kita masyarakat modern yang mengutamakan materi dengan segala kemewahan serta gaya hidup, tentunya seperti melihat bumi dan langit.

 Bagi masyarakat modern yang kehidupannya serba menggunakan teknologi, serba branded, dimana ukuran kesejahteraan adalah material sebanyak-banyaknya, maka membabat hutan heterogen menggantikannya dengan Hutan sawit, membongkar perut bumi  untuk bongkahan emas berlian, bukanlah perkara besar, itu hal yang biasa atas nama pemenuhan kebutuhan ekonomi.

 Suku Baduy adalah ikon dari perjuangan masyarakat adat yang murni tanpa terkontiminasi oleh kepentingan politik, ekonomi maupun ideologi.

 Bagi suku Baduy alam telah mencukupi kehidupan mereka sehari-hari, mereka cukup bertani secara tradisional. Tak perlu pupuk kimia, tak perlu peralatan modern. Menjaga alam dengan mengambil seperlunya untuk sekedar dimakan tentulah ilmu langka dan tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat modern yang selalu kekurangan dan tak pernah cukupi.

 Modernisasi yang serba digital memang tidak mungkin terbendung, namun setidaknya dari suku Baduy kita bisa belajar menghargai  alam serta adat istiadat leluhur yang berkiblat pada kelestarian alam.

 Diusia ke 76 tahun kemerdekaan Republik ini,   sudah waktunya para pemangku kebijakan dari pusat hingga daerah lebih mementingkan lingkungan alam, hutan heterogen dengan habitat flora dan faunanya. Karena terlalu mahal resiko dan derita yang akan ditanggung oleh generasi mendatang  akibat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati segelintir oknum saat ini dengan memanfaatkan kerusakan lingkungan.

 Tentunya, Jokowi dengan busana suku Baduy-nya dan busana Nusantara lainnya di setiap peringatan hari kemerdekaan bukan hanya sekedar sebuah pencitraan saja, tetapi lebih pada keberpihakan pada masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.

  Untuk itu memang perlu bukti nyata dari Pak De Jokowi diakhir sisa-sisa jabatannya untuk membuktikan keberpihakannya terhadap masyarakat adat, karena masih tertundanya RUU tentang masyarakat adat, masih terjadinya kriminalisasi kepada para Peladang, penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit yang memarjinalisasi masyarakat adat.

(Penulis: L. Sahat Tinambunan, Ketua IWO Kabupaten Landak)