Politik

Tut Wuri Efisiensi: Generasi yang Dikorbankan di Meja Anggaran

Kamis, 20 Februari 2025, 05:48 WIB
Dibaca 130
Tut Wuri Efisiensi: Generasi yang Dikorbankan di Meja Anggaran
#kritikusmuda

Pendidikan, katanya, adalah tiang peradaban. Namun, di negeri ini, tiang itu semakin lapuk, digerogoti oleh rayap bernama "efisiensi anggaran". Jika dulu kita mengenal "Tut Wuri Handayani", kini lambangnya telah berubah menjadi Tut Wuri Efisiensi sebuah simbol kegetiran bahwa pendidikan tak lagi dipandu untuk maju, melainkan diatur agar tidak membebani kas negara.

Lihatlah gambar yang beredar. Lambang burung garuda yang dulu gagah kini seolah menunduk pasrah, menerima takdirnya sebagai korban kebijakan. Sayapnya yang seharusnya mengepak luas untuk membawa generasi ke masa depan kini dipotong demi "rasionalisasi". Api yang seharusnya menyala sebagai lentera ilmu tampak meredup, seolah sadar bahwa obornya tak lagi mendapat bahan bakar dari anggaran negara. Buku yang menjadi simbol ilmu? Ah, itu hanya properti pajangan belaka—karena harga buku semakin mahal, dan akses pendidikan kian eksklusif.

Di bawahnya, sebuah ironi tertulis jelas: "Tidak ada generasi emas, karena anggaran pendidikan dipangkas."

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Baru-baru ini, media sosial, khususnya Instagram, diramaikan dengan tagar #TutWuriEfisiensi. Unggahan-unggahan tersebut menampilkan gambar lambang burung garuda yang tampak menunduk, dengan sayap terpotong dan api yang meredup, disertai caption: "Tidak ada generasi emas, karena anggaran pendidikan dipangkas." Fenomena ini mencerminkan kekecewaan publik terhadap kebijakan pemotongan anggaran pendidikan yang dianggap mengancam masa depan generasi muda.

Mereka yang duduk di kursi empuk berbicara tentang "Indonesia Emas 2045" sebuah utopia di mana bangsa ini akan berjaya. Namun, bagaimana mungkin kita mencapai masa keemasan jika anggaran pendidikan terus ditekan seperti kertas yang diremas di tangan pejabat anggaran?

Faktanya, anggaran pendidikan mengalami pemangkasan signifikan.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengalami pemotongan sebesar Rp8,03 triliun, membuat total anggarannya hanya Rp25,5 triliun. 

Tunjangan dosen non-PNS dikurangi sebesar 25%, atau sekitar Rp676 miliar dari pagu awal Rp2,7 triliun.  

Program beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah mengalami pemangkasan, mengancam akses pendidikan tinggi bagi mahasiswa miskin. 

Pemangkasan ini juga menyebabkan perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) kemungkinan akan menaikkan biaya kuliah. 

Lalu, bagaimana nasib pendidikan kita setelah pemangkasan ini?

1. Sekolah yang Mirip Bangunan Terbengkalai

Di kota-kota besar, sekolah mungkin masih berdiri kokoh. Tapi di pelosok negeri, ada anak-anak yang belajar di bangunan reyot, dindingnya bolong, dan atapnya bocor. Dengan anggaran yang terus dipangkas, sekolah-sekolah ini hanya bisa berdoa agar tidak ambruk sebelum generasi emas benar-benar lahir.

2. Guru yang Ditinggalkan Negara

Pahlawan tanpa tanda jasa? Lebih tepatnya, pahlawan yang dibiarkan berjuang sendirian. Dengan pemangkasan tunjangan dan insentif, banyak guru, terutama honorer, semakin sulit bertahan hidup. Pendidikan yang berkualitas? Tentu sulit terwujud jika gurunya sendiri hidup di bawah garis kesejahteraan.

3.Mahasiswa yang Terjebak Hutang atau Putus Kuliah

Jika biaya kuliah terus naik, pilihan mahasiswa hanya dua: terjerat utang pendidikan atau memilih berhenti kuliah. Kita berbicara tentang generasi yang seharusnya menjadi pemimpin di masa depan, tetapi justru dipaksa menyerah sebelum bertanding.

 

 Efisiensi" yang Menyamar Sebagai Kemunduran

Mereka menyebut ini sebagai efisiensi. Tapi mari kita jujur: ini bukan efisiensi, ini perampasan masa depan.

Bagaimana bisa pendidikan dianggap boros sementara anggaran untuk proyek-proyek lain terus mengalir deras?

Ibu Kota Negara (IKN) mendapatkan tambahan anggaran Rp12 triliun, sementara pendidikan justru dikurangi.

Banyak anggaran lain tetap berjalan mulus, tapi pendidikan justru yang pertama kali dikorbankan.

Apa yang lebih penting? Membangun generasi emas atau membangun proyek ambisius yang mungkin hanya menguntungkan segelintir orang?

Ki Hajar Dewantara Mungkin Akan Menangis

Jika Ki Hajar Dewantara masih hidup, dia mungkin akan datang ke kantor pemerintah dan bertanya, "Apakah kalian sadar bahwa pendidikan bukan sekadar beban, tapi investasi bangsa?"

Tapi ya, siapa yang peduli?

Selama mereka yang punya kuasa tetap bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri, mengapa mereka harus pusing dengan pendidikan di negeri ini?

Selama mereka tetap nyaman di kursi empuk, biarlah anak-anak desa berjalan belasan kilometer demi sekolah yang minim fasilitas.

Selama mereka bisa berbicara tentang "generasi emas" di panggung seminar, biarlah generasi muda kita menghadapi kenyataan bahwa mereka hanya sekadar angka dalam neraca keuangan negara.Akhir Kata: Tut Wuri Efisiensi, Pendidikan yang Dikalahkan

Mungkin kita harus mengubah definisi "generasi emas".

Bukan lagi tentang anak-anak yang cerdas dan berdaya saing, tetapi tentang anak-anak yang mampu bertahan di tengah keterbatasan.

Bukan lagi tentang mereka yang punya harapan tinggi, tetapi mereka yang cukup kuat untuk tidak menyerah meskipun negara seolah tak peduli.

Sebab, di negeri ini, emas tidak lagi berarti kecerdasan dan masa depan cerah.

Emas hanyalah sekadar angka di neraca keuangan yang lebih mudah dipangkas daripada proyek mercusuar yang terus dibiayai.

refrensi : 
tempo.co: "Deretan Total Hasil Rekonstruksi Pemangkasan Anggaran Kementerian dari Pendidikan hingga IKN"
Kompas.com: "Anggaran Pendidikan Kena Imbas Efisiensi, Apa Saja Rinciannya?"
NU Online: "Pemangkasan Anggaran Pendidikan Berdampak pada Pembangunan Infrastruktur dan Masa Depan Anak Bangsa" 

GoodStats.id: "Getah Efisiensi Anggaran Pendidikan: Pangkas Tunjangan Dosen Hingga Beasiswa"

tempo.co: "JPPI Soroti Kejanggalan dalam Alokasi Anggaran Pendidikan 2025"