Masa Jabatan Kades 9 Tahun: Perlukah?
Di pelosok Desa Dataran Tinggi Kalimantan Utara, ditemani dinginnya udara malam dan segelas kopi hangat, perhatianku tertuju pada suatu berita yang sedang terjadi di Jakarta. Dunia jagat maya dan politik Indonesia sedang ramai memberitakan sebuah isu hangat, yang jelas bukan tentang Sambo, tapi tentang demonstrasi APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia) dan PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia).
Para Kepala Desa yang bernaung di bawah APDESI mengusung aspirasi agar masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun. Sebelumnya ‘hanya’ 6 tahun. Demikian kata mereka.
Sedangkan para Perangkat Desa itu, mereka menyuarakan agar masa jabatan mereka tidak ikut tenggelam pula bersamaan dengan berakhirnya periode para Kepala Desa yang 6 tahun itu. Mereka mau, sekalipun Kepala Desa berganti, mereka tidak tergantikan. Mirip-mirip dengan ASN. Sekalipun Presiden, Gubernur dan Bupati berganti, mereka tetap mengabdi. Intinya, sampai di sini saya mulai paham, mereka minta diberi kesempatan yang cukup untuk mengabdi.
Untuk wacana masa jabatan 9 tahun itu, banyak pihak yang ikut nimbrung bicara. Para politisi pro pemerintah jelas memberikan dukungan atas wacana tersebut. Mereka mengklaim bahwa Presiden Jokowi sudah setuju secara informal. Ternyata munculnya demonstrasi Kepala Desa itu, seperti ada janjian dengan pemerintah. Melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) usul revisi Undang-Undang Desa itu sedang dilakukan.
Malas aja menebak-nebak, mengapa Pemerintah (dibaca Kemendes PDTT) perlu dukungan para Kepala Desa untuk mengubah Undang-Undang Desa? Mengapa tidak diubah saja kalau memang itu dianggap baik? Toh, selama ini banyak sekali Undang-Undang yang diubah bahkan dicabut tanpa meminta dukungan atau permisi kepada masyarakat.
Malas juga menebak-nebak, mengapa ada satu wajah tampan yang selalu muncul ketika aksi-aksi Kepala Desa ini diberitakan? Bahkan konon, wajah itu sampai juga ke pelosok-pelosok desa di Kalimantan ini. Bisa jadi, banyak penggemarnya.
*
Beberapa waktu lalu, saya pernah bertanya kepada banyak Kepala Desa di tempat saya. Apa pendapat mereka tentang aspirasi masa jabatan 9 tahun itu? Ada yang menjawab normatif, bahwa mereka siap menyesuaikan apa pun yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada pula yang menolak bebas nilai. Mereka setuju jika masa jabatan Kepala Desa ditambahkan menjadi 9 tahun. Ada pula yang ‘mentah-mentah’ menolak. Katanya 6 tahun saja sudah capek menjalaninya, apalagi 9 tahun.
Bagi yang menginginkan periode 9 tahun, alasannya juga menarik. Katanya dibutuhkan waktu yang panjang untuk mengonsolidasikan ulang masyarakatnya pasca Pilkades. Keterbelahan masyarakat karena Pilkades sangat banyak kepingannya — hancur lebur — karena sebelumnya mereka adalah masyarakat komunal yang sangat solid. Mereka sulit menerima perbedaan politik. Mereka sulit memulihkan diri dari sakit hati karena perbedaan selama Pilkades secara langsung.
Lantas, jika demikian, saya malah berpikir, apakah sebaiknya tidak perlu ada pemilihan langsung di tingkat desa? Serahkan saja mekanisme pemilihannya kepada masing-masing Desa. Mungkin saja mereka lebih nyaman dengan bermusyawarah untuk mufakat. Kembali ke nilai-nilai dasar bangsa kita, yang konon masih lestari di desa-desa kita.
Separah dan serendah itukah mental masyarakat desa dalam mengelola konflik mereka? Apakah kita tidak lancang jika menganggap desa-desa itu tidak bisa memulihkan dirinya sendiri? Atau jangan-jangan karena ketertinggalan mereka, lalu mereka sekali lagi didiskreditkan tidak mampu berdemokrasi? Percayalah, desa itu bisa kok. Bukankah slogan kita membangun desa itu dengan — tagar — #DesaBisa?
Melihat hiruk pikuk ini, saya kok malah ikut mikir, apa sebaiknya Pemerintah fokus saja pada bagaimana caranya ‘memodernisasi’ desa? Ketimbang memperpanjang periode Kades, bagaimana jika duit APBN melalui Dana Desa itu dioptimalkan pemanfaatannya untuk membangun berdasarkan kewenangan dan hak asal usul desa? Hapus saja mandatori yang banyak dilakukan oleh Pemerintah pusat ke Desa seperti selama ini.
Kopi saya hampir habis. Udara semakin dingin. Saya tahu sedikit tentang mandatori ke desa itu. Tapi, sudahlah…