Literasi

Pemberontakan Petani Banten 1888| Kelaparan dan Kemiskinan Struktural Pemicunya

Sabtu, 28 Januari 2023, 07:54 WIB
Dibaca 497
Pemberontakan Petani Banten 1888| Kelaparan dan Kemiskinan Struktural Pemicunya
Cover depan dan belakang buku itu.

Apa yang memicu suatu kelompok masyarakat sehingga melakukan demo, bahkan pemberontakan? 

Kecewa? Putus asa? Marah? Atau.....?

Kita tidak sedang berandai-andai. Akan tetapi, tengah membahas suatu peristiwa sejarah. Yang pernah terjadi di bumi Nusantara. Judul narasi telah dengan sangat lempang menyarikan "casus bell".  Yakni sebab yang memicu peristiwa pemberontakannya.

Buku mengikat sejarah. Adapun sejarah, demikian Cicero menyatakannya, adalah "historia lux veritatis est" seberkas sinar kebenaran tentang suatu peristiwa di masa yang lampau.

Peristiwa pemberontakan petani Banten misalnya, disimpul dalam buku ini. Sungguh mengagumkan sekaligus menyentuh hati membaca buku ini.

Saya termasuk orang yang penggila baca. Ingin berbagi buku yang kubaca. Pada zaman kolonial, para pribumi berani, bersatu padu, melawan hegemoni kompeni yang menindas petani. Inilah catatan peristiwa sejarah itu.

Peristiwa pemberontakan yang tahunnya mudah diingat ini terjadi pada tahun 1888. Pemicunya dilatarbelakangi oleh konflik tanah, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit dan bencana. Namun, konflik kemudian meluas, tidak terbendung menjadi isu yang sangat sensitif. Sedemikian rupa, sehingga masuk ke ranah moral spiritual sehingga para pemberontak pun merelakan jiwa dan raganya untuk perjuangan.

Kita kini masuk ke suasana di mana masyarakat "tidak terlalu dijajah, tidak lapar, dan tidak sengsara". Para petani tidak semuanya hidup di bawah garis kemiskinan.

Memang terjadi peristiwa di Kalimantan Tengah ada para petani demo. Di Kalimantan Barat saat ini petani karet menjerit2 soal harga getah yang terus merosot. Kini hanya Rp 4.000-rp 5.000/kg. Pada era Ibu Mega-SBY, harga karet di atas a rp 10.000/kg, bahkan pernah tembus a rp 16.000/kg.

Saya mengamati, harga karet setara atau kurang lebih rp 2.000 berbanding harga gula/ beras; sudah sangat bagus dan petani bisa hidup layak dari profesi sebagai penyadap. Itu sebabnya, orang-orang kampung tetap mengenang pak Beye dan Mbak Mega.

Saat ini memang para petani sawit berteriak, mereka menjerit dihimpit oleh harga sawit yang semakin turun. Akan tetapi, tidak terjadi demo, apalagi pemberontakan. "Amuk massa", pemberontakan, dalam sejarah umat manusia memang dipicu oleh keadaan lapar dan kemiskinan struktural.

Tak saya temukan dalam catatan peristiwa sejarah ada Pemberontakan Petani di Borneo seperti di Banten ini. Ditulis seorang sejarawan dan ilmuwan sosial, yang saya cukup kenal dan pernah bertemu langsung, buku ini mengabadikan apa yang pernah ada. Selain saksi zaman, ia adalah guru kehidupan.

Buku ini dapat menjadi cermin bukan saja sebagai saksi sejarah, juga pembelajaran bagi kita semuanya.

Ditulis sejarawan andal, Sartono Kartodirjo --yang cukup saya kenal-- buku ini wajib dibaca dan menjadi pegangan para pegiat literasi. Terutama ilmuwan sosial, sejarah, dan budaya.

Sebab barangsiapa yang tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk oleh sejarah!