Literasi

Resensi Buku Mengkhianati Keputusan Sendiri, Memoar Politik YTP: Jangan Menilai Buku dari Judulnya

Rabu, 16 Maret 2022, 06:04 WIB
Dibaca 527
Resensi Buku Mengkhianati Keputusan Sendiri, Memoar Politik YTP: Jangan Menilai Buku dari Judulnya
Buku Pak Yansen diantara buku politik dalam rak buku saya

Judul : Mengkhianati Keputusan Sendiri, Memoar Politik YTP : Refleksi Perikehidupan Politik                           Indonesia

Penulis : Dr Yansen T.P., M.Si.

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun Terbit : 2022

Tebal buku    : 402 Halama

JIka ada istilah jangan menilai buku dari sampulnya, maka saya memberanikan diri sedikit mengubah menjadi jangan menilai buku dari sepenggal judulnya. Membaca judulnya pun harus lengkap. Buku yang ditulis oleh seorang birokrat yang akhirnya kembali memenuhi panggilan jiwanya di jalan pengabdian politik ini sejatinya adalah sepenggal memoar. Kisah perjalanan karier birokrasi politik seorang Yansen Tipa Padan, yang kemudian kita kenal sebagai Pak Yansen T.P.

Buku ini cukup tebal namun untaikan paragraf yang tersusun menjadi  7 bab dan terbagi menjadi beberapa sub bab ini sarat akan refleksi diri, cermin perjuangan sosok politisi lokal Kabupaten Malinau yang kemudian menjadi orang kedua di kepemimpinan regional Propinsi Kalimantan Utara. Tentu saja ramalan terkait orang besar itu kini sudah menjadi nyata adanya.

Layaknya sebuah Memoar, buku ini pun memuat perjalanan keluarga dimana sosok Ayah yakni pak Samuel Tipa Padan tak sekedar menjadi figur bapak melainkan menjadi guru sekaligus idola. Wajar jika kemudian Pak Yansen begitu konsen dengan gerakan literasi sekaligus melahirkan karya dalam bentuk buku, sebab sedari remaja ia telah melahap buku-buku yang menjadikan pelajaran dari sang ayah menjadi kian paripurna. Small is beautiful dalam edisi bahasa Indonesia menjadi buku favoritnya era tahun 1979. 

Bagi sekelas Pak Yansen, bicara etika hingga taktik dan strategi politik tentulah sudah khatam.  Meski pak Yansen pun tergelitik menuliskan sub bab tentang politik menghalalkan segala cara?. Ulasan lengkap sejak pak Yansen ditempa di Resimen Mahasiswa kemudian meniti karier birokrat yang menjadikannya sebagai Sekda, si Jantung pemerintahan kabupaten Malinau, hingga kemudian terjun ke partai politik dibawah naungan  bendera bintang mercy berwarna biru langit tentu lebih dari sekedar jawaban atas pertanyaan tersebut.

Tempaan kepemimpinan politik era SBY khususnya menjadikan tulisan ini memiliki dinamika tersendiri. Konsisten ditengah turbulensi politik partai Demokrat tentu tidak sebatas pencitraan. Konsisten untuk tidak konsisten, atau dalam bahasa pak Yansen mengkhianati keputusan sendiri itulah sebuah jawaban atas marwah kepemimpinan. 

Tak ada sedikitpun keraguan, begitu sub judul yang dia ungkap atas fluktuasi kondisi politik Indonesia pada umumnya dan kondisi politik di tubuh partai demokrat era kepemimpinan AHY. sekaligus jawaban bahwa ia merelakan sebuah kebutuhan untuk menyudahi proses kepemimpinan menjadi sebuah pilihan kepimimpinan yang berkelanjutan bagi Kaltara yang baru berusia satu dasawarsa pada 25 Oktober 2022 yang akan datang.

Demi masa depan Kaltara yang akan menjadi satelit Ibukota Negara Nusantara, Pak Yansen menngesampingkan ketidaknyamanan situasi dan kondisi terkait jabatan publik. Rasa sakit di lingkar politik nyatanya hanya menjadi semacam pertaubatan atas pedasnya sambal, yang tetap harus ditelan bukan lagi sebagai pil pahit kehidupan politik.

Last but not least, yang menjadikan buku ini memiliki nyawa adalah, bukan saja karena isinya diangkat dari kisah nyata perjuangan, sikap dan pilihan politik Pak Yansen. Melainkan justru buku ini ditulis oleh sosok yang suka membaca, tak hanya membaca buku namun juga membaca keadaan. Bahkan salah satu sub bab ditulis bahwa seorang Yansen T.P tidak mau menciptakan Politik Dinasti. Sungguh sebua keberanian melawan arus sekaligus menjadi otokritik atas kondisi politik saat ini.

Diakhir epilog lagi-lagi butuh totalitas dalam membaca dan menelaah, sehingga buku yang dalam sekelebat pandang dibaca hanya sebatas mengkhianati keputusan sendiri tak ubahnya semacam cermin yang menyiratkan sebuah pesan dari apa yang tersurat. Tak sekedar mengawal konsisten kepemimpinan pak YTP bagi Kaltara ke depan, namun sejatinya ada sesuatu yang harus dilanjutkan, yakni kesinambungan karya berupa buku-buku seri politik.

Seperti yang kita ketahui, masih minim politisi atau pemimpin yang lahir dari proses politik yang memiliki kemauan dan kemampuan berbagi ide/pengalaman/pemikiran melalui sebuah buku. Padahal  buku menjadi salah satu instrumen yang bisa diwariskan pada sekian generasi ke depan. Semoga tak berhenti pada buku ini saja manfaat yang akan diperoleh bagi para pembacanya, khususnya dikalangan generasi muda Kaltara yang siap menjadi kader bangsa penerima tongkat estafet kepemimpinan lintas sektoral. 

salam,