Literasi

Civil Society di Tengah Gempuran Artificial Intellengence / AI

Kamis, 5 September 2024, 05:47 WIB
Dibaca 130
Civil Society di Tengah Gempuran Artificial Intellengence / AI
Pemberian Sertifikat sebagai narasumber pada kegiatan Intermediate Training HMI Cabang Nunukan

(disampaikan pada Forum LK 2 Tingkat Nasional HMI Cabang Persiapan Nunukan)

Dunia yang kita tempati sekarang sudah menjadi sesuatu yang multikonseptual, dengan berbagai persoalan ekonomi, lingkungan, sosial, geopolitik ataupun teknologi. Potensi-potensi konflik yang dapat timbul dalam konteks global terhadap hal-hal tersebut menimbulkan berbagai tekanan dan penderitaan serta banyaknya intervensi yang dihasilkan dari kebijakan geo-ekonomi. Penting untuk memastikan bahwa kendala-kendala tersebut teratasi secara sungguh-sungguh ketika dunia menjadi lebih kompleks dan saling berhubungan. Apa yang kita lakukan saat ini akan menjadi penting dalam lima puluh atau seratus tahun mendatang bagi cucu atau cicit kita. Masalah yang sedemikian rumit dan gawat itu menuntut pendekatan pemecahan masalah yang mengintegrasikan kesadaran diri kita dengan cara kita bertindak, serta empati dan belas kasihan kita, dengan pemahaman mengenai sistem yang sedang berperan (Goleman, 2013).

Salah satu permasalahan multikonseptual yang terjadi pada saat ini adalah perubahan teknologi dan sosial dan saling terkait dalam sebuah transformasi yang cepat. Berbeda dengan manusia ekonomi yang egois, manusia sosial berusaha mengejar keinginannya sambil mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil terhadap lingkungan kolaborasi yang dihidupinya (Sudjatmiko, 2017). Perubahan teknologi selalu akan menjadi sumber stres, tetapi gelombang perubahan tersebut terus terjadi dan sekarang sebagian kita (jika tidak semua) sedang merasakannya. Arus utama transformasi teknologi ini sering diteorikan sebagai Revolusi Industri.

Jika Revolusi Industri 1.0 ditandai dengan mekanisasi produksi dan penemuan mesin uap, Revolusi Industri 2.0 ditandai dengan produksi massal dan penemuan listrik, dan Revolusi Industri 3.0 ditandai dengan internet, penggunaan elektronik dan otomasi dalam produksi, maka Revolusi Industri 4.0 ini ditandai dengan konvergensi inovasi digital, biologi, dan fisik. Proses produksi dipengaruhi penggunaan mahadata dan Internet of Things (IoT). (Klaus Schwab, 2017). Revolusi Industri 4.0 cenderung semakin membuat kabur garis batas antara manusia dan teknologi.
Berbicara tentang sebuah arus utama bernama Revolusi Industri 4.0, berbicara tentang suatu sistem dengan pola-polanya. Sistem itu pada pelaksanaannya memiliki pola yang bersifat teratur yang diambil dari pendekatan pemahaman tentang manusia. Meskipun tidak selinier yang dibayangkan karena manusia itu sendiri sudah sangat kompleks. Mirip sistem dalam neokorteks otak manusia yang diwahyukan Sang Maha Segala kepada organ itu untuk dapat mempelajari banyak hal secara umum, maka hal inilah yang dapat diduplikasi ke dalam komputer. Penggunaan kecerdasan buatan atau kecerdasan buatan (AI) adalah salah satu teknologi inti yang membentuk Revolusi Industri 4.0. AI terus melaju memasuki berbagai sisi kehidupan. AI dengan sistem pakar (sistem pakar), logika fuzzy (logika fuzzy), jaringan saraf (jaringan syaraf tiruan), pemrograman berorientasi objek (OOP) membuat mesin mempunyai kemampuan mirip kemampuan berpikir manusia. Tidak terlalu jauh, untuk Indonesia sendiri permasalahan yang sering dijumpai dalam permasalahan lingkungan perkotaan adalah kemacetan dan banjir. Persoalan yang kompleks ini kemungkinan besar bisa dibantu dengan sistem yang dibangun melalui AI. Tentu saja kecerdasan buatan ini bukan menjadi senjata utama. Yang tetap menjadi senjata utama itu adalah kecerdasan kolektif pada sumber daya manusia itu sendiri dalam mengontrol sepak terjangnya.

Dalam perkembangan global, AI telah berkembang begitu pesat. Di sektor transportasi, AI mewujud dalam kendaraan otonom dengan sistem pengemudi virtual alias penggunaan transportasi tanpa pengemudi. Dalam bidang kesehatan, AI membantu mendiagnosis dan mencegah penyakit sepanjang wabah seawal mungkin. Bahkan AI telah melakukan pemantauan kelaparan dalam skala global. Di sektor keamanan, AI membantu mengotomatiskan deteksi dan menanggapi ancaman serangan. AI dalam pertanian memberikan pemantauan dan prediksi kesehatan tanaman dan tanah serta dampak faktor lingkungan terhadap hasil panen. Di sektor jasa keuangan, AI dimanfaatkan untuk mendeteksi penipuan, menilai kelayakan kredit, dan mengurangi biaya layanan pelanggan. Untuk pemasaran dan periklanan, AI menambang data tentang perilaku konsumen dalam menargetkan dan mempersonalisasikan konten ataupun iklan. Bahkan di bidang hukum, AI diujicobakan berupa lembaga cerdas dengan hakim berteknologi kecerdasan.

Tantangan AI pada dasarnya adalah soal etika, perlindungan data pribadi, yurisprudensi, dan penerimaan universal. Mengingat tantangan ini, AIGO OECD (2019) telah mengidentifikasi prioritas utama dalam pengembangan AI yang berfokus pada manusia. Pertama, harus berkontribusi pada pertumbuhan dan kesejahteraan yang inklusif dan berkelanjutan. Kedua, harus menghormati nilai-nilai dan keadilan yang berpusat pada manusia. Ketiga, penggunaan AI dan bagaimana sistem operasinya harus transparan. Keempat, sistem AI harus kuat dan aman. Kelima, harus ada akuntabilitas untuk hasil prediksi AI.

Kemajuan AI juga dapat menggantikan manusia dalam mengambil keputusan penting. Hasilnya mungkin tidak hanya mengarah pada efisiensi yang lebih besar, tetapi mungkin juga terjadi “kekakuan sosial” yang lebih besar, atau meminjam istilah World Economic Forum dalam Global Risk Report 2019 sebagai Digital Panopticon. Apalagi jika dikolaborasikan dengan komputasi letak, dapat saja mematahkan dasar kriptografi digital yang ada saat ini. Jika sebuah data dengan pengamanan berlapis sengaja dicuri, dengan teknologi komputasi dan algoritma AI dapat memecahkan data tersebut, maka boom!!. rahasia data akan mudahnya terbuka.

Secara internasional, dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara menggunakan teknologi untuk memicu kemarahan yang menyebabkan fragmentasi dan polarisasi pada suatu negara. Tidak sulit membayangkan bahwa cara dengan memainkan emosi dan psikologis dapat menyebabkan kekeruhan dan gangguan komunikasi yang serius, bahkan mungkin menyebabkan konsekuensi militer. Contoh kekisruhan hubungan Rusia dan Ukraina pada tahun 2014, dimana pihak Rusia menyebarkan serangan siber ke Ukraina untuk melakukan pendiskreditan tentang ketidakpuasan terhadap pimpinan angkatan bersenjata dan politik, merusak moral masyarakat dan meningkatkan desersi di antara personel militer. Vladimir Putin, Presiden Rusia yang berkuasa saat ini pernah mengatakan "negara yang memimpin AI akan menjadi penguasa Dunia" dengan atau kurang terjemahannya “Siapapun yang berhasil menguasai AI, akan menguasai dunia”. AI sebagai teknologi dapat mencetuskan peperangan hibrida atau pola perang asimetris. Suatu negara dapat menguasai atau menghegemoni negara lain melalui teknologi, melalui kontrol atas pengetahuan. Oleh karena itu ketahanan nasional atau landasan berpikir secara geopolitik harus menjadi fokus tersendiri.