Menulis untuk Kehidupan
Seperti jalan ke Roma, banyak cara yang bisa dilakukan oleh siapapun yang sedang menuju gerbang pensiunan, lalu memasukinya. Ada yang berubah 180 derajat dengan apa yang dilakukannya semasa aktif bekerja dengan mencoba usaha baru, ada yang berhenti bekerja sama sekali dan cukup ongkang-ongkang kaki, tetapi ada juga yang meneruskan pekerjaan sebelumnya dengan keterampilan lama yang melekat pada dirinya.
Saya memilih yang terakhir.
Sebagai penulis bahkan sebelum menjadi jurnalis dan mengabdi di Harian Kompas selama 26 tahun, sejak sekolah dasar keterampilan menulis sudah saya pelihara, saya asah, sampai melahirkan karya yang berkelanjutan. Sebelum saya mengenal Pramoedya Ananta Toer, saya sudah berprinsip menulis terus dan terus menulis tanpa berpikir takdir yang akan menimpa karya tulis saya.
Itu sebabnya banyak karya tulis saya yang ditolak media massa saat itu, tetapi karya "reject" dan "retour" itu saya perlakukan sebagai harta karun yang sewaktu-waktu saya lakukan sebagai bahan evaluasi. Ibarat membuat layang-layang yang gagal terbang mengangkasa, tulisan yang gagal itu adalah sejarah dan bukti bahwa saya pernah mencoba menulisnya. Bagi saya, tidak ada tulisan yang buruk, sebab seburuk-buruk tulisan adalah tulisan yang tidak pernah tertuang dalam selembar kertas atau tertayang di layar komputer dan ponsel.
Mengingat masa lalu saat duduk di bangku sekolah menengah pertama dan menengah atas, menerima wesel pos dan menerima amplop pengembalian naskah sama saja degdegannya, hanya berbeda nuansa saja. Menerima wesel pos tentu hati berbunga-bunga, menerima naskah pengembalian alias "retour" hati mendadak berkabut, hujan dan bahkan gelap tak tahu harus berjalan kemana. Tetapi saya berusaha memantik korek api yang meski cahayanya sedikit di ujung lidi, setidaknya saya bisa melangkah ke depan agar tidak terantuk batu.
Perjalanan seseorang menjadi penulis tidaklah instan dan menulis bukan pekerjaan instan seperti orang menghasilkan uang dengan berdagang asongan apa saja di kerumunan. Menulis adalah berinvestasi waktu, tenaga, pikiran dan kemauan.
Itu sebabnya menulis tidak bisa dijadikan pekerjaan awal. Tidak ada seseorang yang melamar kerja sebagi penulis, melamar sebagai jurnalis memang ada. Tetapi melamar pekerjaan sebagai penulis? Agak mustahil di zaman saya bergerilya menghasilkan karya tulis.
Lalu bagaimana jika ingin menjadi penulis? Saran saya: carilah pekerjaan yang baik dan mapan terlebih dahulu, kemudian mulai berpikir untuk menjadi seorang penulis!
Seorang penulis hebat punya latar pekerjaan yang tak kalah hebat. JK Rowling berlatar belakang guru, Andrea Hirata orang kantoran, Malcolm Gladwell mantan jurnalis dan seterusnya. Maknanya, semua memiliki pekerjaan mapan sebelum menjadi penulis. Jangan harap menjadi penulis instan dengan menghasilkan uang instan. Menulis adalah proses panjang dan berliku. Itu tadi, investasinya adalah waktu, tenaga, pikiran dan kemauan.
Setelah pensiun dini sebagai jurnalis sejak tahun 2016 lalu, sampai sekarang saya tetap berkhidmat pada dunia kepenulisan. Saya memilih untuk terus menulis karena itulah keterampilan dan kepakaran yang melekat pada diri saya. Pensiun itu dari pekerjaan kantoran, tetapi menulis tak kenal pensiun. Dan, saya bisa eksis sampai sekarang, tidak harus tergerus zaman dan terpuruk sebagai pensiunan tanpa kegiatan.
Dunia kepenulisan ternyata luas, bukan hanya menulis semata. Variannya lumayan beragam, tidak semata bertumpu pada arti harafiah. Menulis buku, artikel, cerpen atau novel bisa dikatakan "menulis mainstream". Tetapi varian menulis bisa menjadi seorang editor buku, juri lomba menulis, pengajar ilmu menulis, pembicara atau pemateri, penulis bayangan (ghostwriter) dan konsultan.
Konsultan? Ya, konsultan!
Dulu, bahkan beberapa tahun setelah pensiun, saya tidak pernah terpikir menjadi seorang konsultan bidang kepenulisan, khususnya menulis buku. Ini ceruk yang sangat kecil (niche) dari varian menulis. Ternyata, ada juga orang-orang yang ingin menulis buku tetapi tidak tahu bagaimana caranya menulis -bahkan ada yang belum pernah menulis sama sekali- yang ingin karyanya dibukukan dengan berbagai alasan dan tujuan.
Misalnya pernyataan salah seorang klien saya, "Agar anak dan cucu saya mengenal lebih dekat siapa saya." Ada juga yang mengatakan, "Sayang kalau pengetahuan dan pengalaman saya tidak saya bagikan, ilmu tidak dibawa mati, tetapi saya tidak bisa menulis dan tidak tahu bagaimana cara menuliskannya."
Maka saya tampil sebagai konsultan dengan klien beragam. Bahkan itu tadi, ada yang belum pernah menulis sama sekali! Tetapi ajaib, bukan sulap bukan sihir, orang itu bisa menulis buku sesuai dengan yang diinginkannya!
Lalu sebagai konsultan bagaimana cara melakukannya? Itu sepenuhnya rahasia dapur saya hahaha...
Sebagai contoh, saya menjadi konsultan otobiografi seorang mantan pilot. Pekerjaan saya lebih dimudahkan karena sang mantan pilot yang ingin menulis otobiografi atau kisah perjalanan hidupnya itu hobi menulis -setidaknya catatan harian- sehingga saya sekadar mempertajam dan menyusun kerangka penulisan, kemudian mengawal karyanya itu sampai diterbitkan, melalui penerbit major atau penerbit indie.Tetapi bagaimana seseorang yang tidak atau belum pernah menulis tetapi ia ingin menghasilkan karya tulis berupa buku yang terabadikan? Itu juga urusan saya sebagai konsultan.
Tersedia pilihan; apakah saya menjadi "ghostwriter" dan orang itu tahu menghasilkan buku "by line" atas namanya sendiri atau dia tetap menulis dengan cara yang hanya diketahui saya dan klien saya itu. Saya menghindari menjadi "ghostwriter" dan sekuat tenaga meyakinkan klien bahwa dia bisa menulis sendiri dan saya terus membimbingnya.
Metoda kepenulisan yang saya temukan (rahasia dapur) sambil jalan itu ternyata mampu menggairahkannya untuk terus menulis sampai menghasilkan buku di mana saya bertindak sekaligus sebagai editornya. Tersirat ada kebanggaan, ternyata dirinya bisa menulis dan bahkan menulis buku!
Perkara apakah buku itu bisa diterbitkan penerbit major atau tidak, itu urusan lain. Saya hanya ingin menekankan bahwa sebagai konsultan (demikian gayanya pekerjaan atau hobi saya sekarang) bisa mendorong gairah orang untuk menuliskan pengalaman dan perjalanan hidupnya.
Apakah pekerjaan saya sebagai konsultan itu gratis? Ya tidaklah! Saya bahkan bisa menentukan harga dengan melihat-lihat kondisi ekonomi klien saya itu hahaha...
Pensiun sebagai jurnalis bukan berarti pensiun dari menulis. Jalan lebar tetap membentang di depan. Nyala korek api yang sudah mati pun tidak perlu saya tangisi, toh matahari sudah bersinar terang.
***