Tatkala Kompas Tobat Pikiran Rakyat Malah Kumat
Badai besar menerpa media massa khususnya cetak terjadi sejak dua dekade lalu. Manakala internet mengubah wajah dunia. Penemu internet pun dinobatkan dalam jajaran manusia terbaik abad ini.
Badai lebih besar bahkan dalam bentuk tsunami media massa akhirnya jadi kenyataan dalam 10 tahun terakhir. Ambyar. Paling tidak di Indonesia. Semua media cetak gulung tikar. Yang bertahan hanya pura -pura kuat karena disubsidi bisnis lainnya.
Pelaku industri media putar haluan. Putar otak. Hidup atau mati. Ikut arus atau terseok-seok. Budaya internet yang serba instan bikin proses bisnis media massa yang sebelumnya rigid dengan tingkatan saringan dan suntingan, bubar jalan. Pelaku bisnis baru media internet tak peduli saringan itu. Etika? Bodo amat. Kaidah jurnalistik? Au ah gelap. Semua dihajar demi kecepatan dan dapur ngebul. Booming media sosial menambah sengsara media massa. Mega tsunami bergulung-gulung di depan mata.
Kompas, bukan media massa sembarangan. Ibarat Blue Bird di bisnis taksi, merekalah penguasa media massa. Kuat. Namun, mega tsunami media memaksa mereka berubah. Melalui media hasil akuisisi bertahun-tahun sebelumnya - grup Tribun - Kompas ikut nyemplung ke dalam bisnis media internet berbasis click bait. Akurasi isi tidak lagi nomor satu. Prinsip jurnalistik dipinggirkan. Tribun adalah pesaing Radar milik grup Jawa Pos dalam bisnis media cetak di berbagai daerah.
Dalam waktu singkat, jagat internet dipenuhi oleh media online bernama tribunnews.com dengan variasi web sampai ratusan. Ada bogor.tribunnews.com, yogya.tribunnews.com, bangka.tribunnews.com dan sebagainya. Konon, jumlahnya lebih dari 200 website. Demi menguasai jagat dunia maya. Judul berita mereka bombastis, fantastis, dan sensasional sebagai ciri khas click bait. Judul dan isi sering tidak sinkron.
Gaya media internet semacam ini mengingatkan saya pada media kuning (yellow journalism). Anda pasti tahu koran Pos Kota atau koran Lampu Merah ya, yang dulu beredar di Jabodetabek. Kalau di dunia, nama-nama seperti Dailymail Inggris atau jaringan Fox Amerika, sering dianggap sebagai media kuning. Judul berita mereka cenderung bombastis dan sensasional.
Sukses! Tribunnews sukses besar. Jumlah pengunjung website mereka sempat nomor satu se-Indonesia. Iklan mengalir deras. Tiba-tiba, anak usaha ini menjadi primadona dan lumbung pemasukan baru bagi grup Kompas. Fenomenal. Fantastis.
Namun, jiwa mereka terguncang. Setelah sekitar dua-tiga tahun menikmati hasilnya, para petinggi Kompas mengaku “berdosa”. Click bait bukan karakter mereka. Bukan ruhnya Jacob Oetama sang pendiri. Tribunnews harus berhenti atau minimal mengurangi gaya click bait atau saya sebut saja jurnalisme abal-abal. Jurnalisme yang merusak mental masyarakat. Sama persis seperti media sosial tanpa kehadiran orang baik dan paham etika.
Kompas, sebagai media massa mainstream utama, seharusnya menggarami media internet dan media sosial dengan kebaikan. Bukan sebaliknya. Konon, mereka bertobat. Saya cek di media internet, gaya "total football" click bait Tribunnews berkurang drastis. Semoga kembali ke khitahnya. Kaidah dan etika jurnalistik kembali jadi acuan. Seperti yang tercantum dalam buku Vademekum Wartawan, karya Parakitri T. Simbolon, salah satu engkongnya wartawan Kompas.
Setelah Jakarta Giliran Bandung
Keberhasilan Tribunnews menginspirasi media lain berbuat sama. Di Jawa Barat, Pikiran Rakyat adalah yang terbesar. Koran ini ada di mana-mana khususnya di kawasan Bandung dan sekitarnya serta di kantor pemda-pemda seluruh Jawa Barat. Cengkeramannya amat kuat. Tapi... Disrupsi media massa oleh media online bikin mereka goyah. Limbung.
Kompas memberi "teladan" lewat Tribunnews. Jadilah Pikiran Rakyat mengkopi paste cara tersebut. Bahkan lebih dahsyat. Baik dari sisi kuantitas maupun "turunnya kualitas jurnalistik". Kualitas berita jaringan mereka parah!
Pikiran-rakyat.com merajai dunia internet dalam dua tahun terakhir, ketika Tribun mulai tobat. Muncullah pangandaran.pikiran-rakyat.com, besuki.pikiran-rakyat.com, Indramayu.pikiran-rakyat.com dan nama-nama daerah lainnya sebagai merek websitenya. Jumlahnya tidak kurang dari 300 website. Dahsyat. Mereka akuisisi beberapa media lokal. Mantra Pandeglang, Portal Grobogan, Oke NTT, dan banyak media lokal lainnya digabung menjadi jaringan Pikiran Rakyat.
Pikiran Rakyat simbol jurnalistik berkualitas dari Bandung Jawa Barat terjun bebas. Gadaikan segalanya, termasuk nama besarnya. Kompas masih lebih cerdas gunakan nama Tribun, sehingga tidak semua orang tahu bahwa itu adalah mereka. Kecuali setelah baca artikel ini hehe…
Konon... Hasilnya tidak jauh beda dari Tribunnya Kompas. Jurus itu mampu menyelamatkan keuangan Pikiran Rakyat yang sebelumnya seperti kapal pesiar bocor. Meminjam anekdot anak pak haji menang judi; Ketika tahu anaknya main judi, dia bilang “Astagfirullah”; Pas tahu anaknya menang, eh dia malah bilang “Alhamdulillah…”.
Saya sempat mengirim email kepada redaksi Pikiran Rakyat, "Apa yang Anda lakukan sangat memalukan..." Meski dengan embel-embel demi periuk nasi ribuan perut karyawan. Hal yang sama saya katakan kepada kawan-kawan Kompas dan para "mantan" orang Kompas. Memalukan.
Masih banyak media mainstream lain yang melakukan hal sama dengan dalih demi bertahan hidup. Akan tetapi, saya pribadi sungguh berharap, karena mereka punya kompetensi dan pengalaman panjang di dunia jurnalistik, sudah seeloknya jika mereka terjun ke media internet dan media sosial dengan kompetensi tersebut. Dengan demikian, kita dapat berharap literasi media sosial menjadi lebih baik, karena diisi oleh pihak-pihak yang kompeten. Bukan sebaliknya, malah ikut terjerumus!
Ternyata, harapan itu masih tinggal harapan.
Ya sudah, berdoa saja, semoga Pikiran Rakyat dan yang lainnya segera tobat seperti Kompas...
Dan awas Kompas, setelah tobat jangan lagi kumat.