Literasi

Membawa Pesan Penggiat Literasi Tentang Perbatasan Kalimantan Utara

Sabtu, 2 Maret 2024, 15:35 WIB
Dibaca 355
Membawa Pesan Penggiat Literasi Tentang Perbatasan Kalimantan Utara
Sebagian penggiat literasi Batu Ruyud Writing Camp yang hadir di Cikeas, Bogor (foto koleksi pribadi)

Wilayah perbatasan di sebuah negara merupakan sebuah kawasan penting, tidak hanya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan, namun juga menjadi penanda sebuah negara. Kawasan ini sejatinya menjadi teras sebuah negara, menjadi simbol pembangunan sebuah negara.

Namun yang terjadi sebaliknya. Banyak kawasan perbatasan negeri ini yang kurang tersentuh pembangunan. Infrastruktur yang buruk, alat transportasi terbatas dan juga terisolir dari dunia luar. 

Ini juga yang tergambar dari kesaksian 15 penggiat literasi tentang sebuah wilayah bernama Krayan di Kalimantan Utara yang merupakan  kawasan paling utara Indonesia di Kalimantan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Jika masuk ke wilayah Serawak, terbentang jalan mulus menuju negeri jiran. 

Kondisi sebaliknya terlihat di Krayan. Kawasan ini seperti terputus dari dunia luar, sebab belum ada jalan darat yang menghubungkan kawasan perbatasan ini dengan kota-kota lain di sana. Untuk akses keluar masuk Krayan yang merupakan kota kecamatan terluar Indonesia baru bisa dilakukan menggunakan pesawat terbang.

Sadar akan masalah perbatasan wilayahnya yang cukup kompleks, DR.Yansen Tipa Padan yang merupakan putra daerah Krayan menggagas sebuah kegiatan literasi bernama Batu Ruyud Writing Camp. Ini bukan kegiatan Writing Festival seperti yang sudah ada di Ubud atau Makassar. Sebab ini dilakukan di kawasan yang masih terisolir dan alami, jauh dari kata modern sebuah wilayah.

Bersama trio penulis Pepih Nugraha, Dodi Mawardi, dan Masri Sareb Putra, DR Yansen TP mengajak 10 orang penulis dari berbagai kota di Indonesia dengan beragam latar belakang menjelajahi dan menguak misteri wilayah perbatasan di Krayan.               

Keberagaman latar belakang peserta Batu Ruyud Writing Camp  kemudian mewujud menjadi sebuah buku antologi dengan judul "Menjelajahi Misteri Perbatasan".  Dua belas tulisan di buku ini mengungkap berbagai fakta menarik beserta kisah-kisah unik yang terjadi di Krayan. 

Antologi ini menggali fakta-fakta yang mengejutkan dan cerita legendaris yang tersembunyi di balik adat istiadat, tradisi, kepercayaan dan kebudayaan masyarakat Krayan.

Dari kisah tentang perbatasan dengan fasilitas fisik yang memprihatinkan seperti belum adanya akses jalan darat dari dan ke Krayan, belum adanya fasilitas listrik dari negara, hingga minimnya fasilitas jaringan internet.

Selain itu juga tulisan yang menelisik kepemimpinan suku dayak Lundayeh, kearifan lokal, busana suku dayak Landayeh hingga semangat anak-anak Krayan menggapai pendidikan pun menjadi topik bahasan buku ini.  

Namun cerita mengenai keterisoliran kawasan Krayan yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi warganya justru yang paling mengaduk emosi saya. Sebab keterisoliran tersebut berdampak langsung pada biaya hidup sehari-hari yang cukup tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan kita yang tinggal di pulau Jawa.

Misalnya, harga gula pasir yang di Jawa berkisar Rp.12.500 - Rp.14.500 per Kg, di Krayan harganya bisa mencapai Rp.40.000 hingga Rp.48.000. Minyak goreng harganya mencapai Rp.40.000 per liter, sementara di Pulau Jawa sekitar Rp.14.000 saja. Untuk BBM jenis bensin harganya pun lebih dua kali lipat dari harga di Jawa. 

Lagi-lagi hal ini semua disebabkan lantaran sulitnya akses transportasi darat ke wilayah Krayan.  Bahan-bahan tersebut harus melalui perjalanan  udara terlebih dahulu sebelum menjumpai warga Krayan. Dari paparan ini saja terbayang betapa keras dan sulitnya kehidupan warga Krayan.

Namun melalui buku ini, warga Krayan tidak sedang 'menjual' kepedihan mereka untuk berharap belas kasihan. Namun justru sebaliknya, buku ini selain mengungkap misteri kawasan perbatasan, juga mengungkap potensi dan kekayaan budaya Krayan yang menjadi bukti betapa beragamnya budaya Indonesia.

Melalui tulisan-tulisan yang mendalam dan penuh warna, pembaca akan diajak untuk menggali misteri-misteri yang tersembunyi di balik perbatasan-perbatasan ini, memahami bagaimana hal-hal ini membentuk sejarah, budaya, dan pikiran manusia.

Semoga buku "Menjelajahi Misteri Perbatasan" dapat menginspirasi dan memberikan wawasan baru kepada pembaca tentang bagaimana perbatasan tidak hanya memisahkan, tetapi juga menghubungkan, memperkaya, dan mengubah kita semua.

Semoga pesan dari Krayan melalui buku ini dapat memberi perspektif  mengenai apa itu pembangunan, pemerataan dan juga keberlanjutan. Sebuah pesan yang semoga sampai pada pemerintahan nasional yang baru hasil Pemilu 2024. 

Buku Menjelajahi Misteri Perbatasan ini kemarin, 1 Maret 2024 secara resmi diluncurkan di Sekolah Alam Cikeas, Bogor, Jawa Barat dalam ajang Indonesia Green Book Festival. Kegiatan literasi tahunan yang semula berkonsep internal ini "dinaikkan kelasnya" tahun ini menjadi kegiatan Nasional. Selain peluncuran buku, juga digelar writing camp, bazaar dan juga penampilan siswa-siswi Sekolah Alam Cikeas.  

*Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kesaksian Para Penggiat Literasi Tentang Perbatasan Kalimantan Utara", Klik untuk baca: https://www.kompasiana.com/syaifuddin/65e26a49147093398f253fe2/kesaksian-para-penggiat-literasi-tentang-perbatasan-kalimantan-utara Kreator: Syaifuddin Sayuti.