Catatan BRWC 2022 (7): Batu Ruyud Monumen Literasi
Warga Krayan Tengah menyambut para peserta BRWC dengan pesta adat, antara lain menampilkan tarian Busak Batu oleh lima orang murid SMP. Busak baku merupakan salah satu jenis bunga lambang ikatan emosional dan kekeluargaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Dayak Lundayeh.
Saat menelusuri internet, saya mendapatkan informasi bahwa tarian ini termasuk dalam jenis tarian ajakan. Semakin banyak penari yang melingkar, akan semakin bagus.
“Artinya, itu mencerminkan ikatan emosional yang tidak terputus-putus. Di tarian ini juga tidak ada lagi yang memandang kasta, di sinilah kita bisa hidup bersama tanpa harus membeda-bedakan,” kata Yonsep Buing, Ketua DPC Persekutuan Dayak Lundayeh Tarakan, sebagaimana dikutip oleh Radar Tarakan. Makna yang memang selaras dengan semangat BRWC.
BRWC diadakan di Pondok Biru yang berada di tepi Sungai Fe’ Milau. Pondok Biru yang, tentu saja, bercat warna biru, berupa rumah panggung, dengan tiang penopang setinggi dua meter terbuat dari kayu belaban. Sekelilingnya berupa persawahan, hutan, dan Gunung Seribu yang menjulang hingga 2.000 meter di atas permukaan laut.
Pada diskusi malam pertama, Yansen TP (62), penggagas BRWC, melontarkan pertanyaan retoris, “Kita ingin membangun Indonesia yang seperti apa? Apakah seperti Amerika, yang mengirim orang ke bulan? Atau, Indonesia yang warganya bergotong-royong dan hidup tolong-menolong?”
Monumen Batu Ruyud terwujud melalui semangat kegotongroyongan. Pada akhir 2020, seusai pilkada serentak, Yansen TP berelaksasi sembari berliterasi—berdiskusi, membaca, dan menulis—di Pondok Biru, Batu Ruyud, bersama 50 orang keluarga dan kerabat dekat. Menjelang pulang, hatinya tergerak untuk mengikuti kebiasaan khas orang Dayak: membuat tanda bukti bahwa mereka pernah berada di suatu tempat. Ia pun mengajak setiap anggota rombongan untuk mengambil satu batu dari Sungai Fe’ Milau. Ajakannya mendapatkan sambutan antusias: mereka masing-masing tidak hanya mengambil satu, tetapi sampai beberapa batu, dan berlomba pula membawa batu yang besar-besar. Terbentuklah tumpukan ratusan batu sebagai cikal-bakal monumen Batu Ruyud.
“Batu Ruyud menggambarkan kejujuran, kesabaran, kerendahan hati, semangat, dan giat bekerja keras. Keyakinan melakukan sesuatu dengan ikhlas, gotong royong, tanpa terasa beban menjadi ringan dan hasil menjadi nyata. Kebesaran jiwa dan kekaguman serta kebahagiaan bersinar dari setiap hati yang melihat dan melakukannya,” tulis Wakil Gubernur Kaltara itu dalam buku Mengkhianati Keputusan Sendiri (2022).
Ia meyakini bahwa literasi merupakan jalan untuk mencapai keunggulan, mengokohkan masa depan, dan mewujudkan peradaban baru. Batu Ruyud pun digadang sebagai sebuah loka literasi di Kaltara. Salah satu langkah pertamanya adalah dengan mengumpulkan sejumlah penulis untuk mengikuti BRWC 2022 ini.
Selama seminggu peserta BRWC 2022 pun mendapatkan kesempatan untuk menyusun batu secara harfiah dan secara kiasan. Kami ditantang mengambil batu dari Sungai Fe’ Milau dan menumpuknya bersama batu-batu lain yang telah tersusun di monumen Batu Ruyud. Di luar itu, kami diundang untuk menyusun batu kata-kata dari mendengarkan dan mencatat suara warga setempat, menatanya menjadi karya tulis untuk menyingkapkan sekelumit misteri wilayah perbatasan.
Monumen Batu Ruyud, bagi saya, mengingatkan pada tradisi mendirikan mezbah batu oleh leluhur bangsa Israel yang tercatat dalam Perjanjian Lama. Salah satu yang terkenal adalah Eben-Haezer, monumen batu yang didirikan Nabi Samuel setelah Tuhan menolong bangsa Israel mengalahkan musuh mereka. ”Sampai di sini Tuhan menolong kita,” kata sang nabi.
Dengan monumen tersebut, bangsa Israel diingatkan bahwa sebagaimana Tuhan menolong mereka pada masa lalu, Tuhan juga akan menolong mereka dalam menghadapi tantangan pada masa kini dan masa depan. Makna Eben-Haezer tampaknya relevan juga untuk membaca monumen Batu Ruyud.
(Bersambung)