Novel Perdana Nusantara - Genre Apa?
Pendekar tak mafhum jurus pertama. Musafir tidak paham langkah perdana. Lalu, hendak ke mana pula?
Demikian naif. Jika novelis pun tak tahu novel pertama, di Nusantara.
Itulah yang mendorong saya. Yang orang kenali sebagai salah satu novelis dengan genre historical novel (novel sejarah) untuk mengetahui dengan tuntas: novel dengan genre apakah yang perdana di Nusantara? Siapa pengarangnya? Terbit tahun berapa?
Barangkali, saya tipe manusia aneh. Yang suka mengamati footnotes sebuah buku. Lalu, berdasarkan petunjuk awal itu. Berusaha menemukan sumber primer. Yang asli.
Saya kadang berpikir. Dari mana ide para pengarang besar, berasal? Jatuh dari langit? Atau dijolok, dengan galah apa gerangan? Ternyata, oh ternyata... Saya temukan jawabannya. Hal itu karena memang dilatih dan dibiasakan.
Sebagai penulis novel. Saya ingin tahu: Apa novel perdana di Nusantara? Apa genrenya?
Lama mencari. Akhirnya, bisa melihat langsung. Lalu menjamahnya. Pada sebuah museum-perpustakaan Cina. Di bilangan Serpong, Tangerang, Banten.
***
Saya telah membaca novel-novel karya pujangga Cina Peranakan. Berjilid-jilid. Di belakang saya duduk, ketika menulis artikel ini. Berjajar tersusun tidak kurang dari 40 cm. Itu adalah deretan sastra Cina Peranakan. Koleksi saya.
Sungguh menawan. Bagaimana cara mereka, para pengarang Cina Peranakan itu. Membangun kisahan yang luar biasa. Saya kadang berpikir: dari mana ide para pengarang, berasal? Jatuh dari langit? Atau dijolok, dengan galah apa gerangan? Ternyata, hal itu memang dilatih dan dibiasakan.
Story telling-nya sungguh tingkat-dewa. Dari sejumlah bahan bacaan, saya menyimpulkan: tema cinta dan konflik (ada 7 konflik) tidak pernah bergeser. Senantiasa itu itu saja dari masa ke masa. Yang membedakannya: setiing (waktu dan tempat) saja.
Bumbu-penyedap yang membuat sebuah kisahan menarik juga berpusar pada topik itu itu juga. Yakni: cinta, benci, rindu, dendam, setia, khianat, dan kekerasan. Sesiung bawang Seks juga rupanya perlu. Namun, kemasannya wajib kreatif. Sedemikian rupa, sehingga tidak terkesan murahan. Jujur. Unsur itu yang membuat cerita semakin seru untuk terus diikuti. Sampai tamat.
***
Historical novel. Novel sejarah. Ternyata, itu ragam novel perdana di Nusantara.
Seperti kita mafhum bersama. Bahwasanya ada 9 ragam novel. Satu di antara yang songo itu: historical novel (novel sejarah).
Benar adanya. Bahwa yang disebut "sejarah" senantiasa wajib menyangkutpautkan 3 hal:
1) pelaku (tokoh),
2) peristiwa, dan
3) setting (tempat dan waktu).
Sejauh yang ke-3 hal itu ada, dan bisa dibuktikan. Siapa pun juga adalah periset masa lampau. Apalagi jika ada bukti artefak dan peninggalan jejak literasi tacit-nya. Yaitu sastra lisan (oral), yang belum dinarasikan, dituliskan, dan didokumentasikan.
Metode penelitian Folklor (Danandjaja, 1984) agaknya perlu dipelajari dengan saksama oleh seorang pengarang novel sejarah. Bagaimana membangun kisahan yang menarik. Meraciknya, sedemikian rupa. Sehingga ada pakem-pakem (nama tokoh, setting, dan peristiwa) yang tidak boleh tidak ada.
Sesiung bawang Seks juga rupanya perlu. Namun, kemasannya wajib kreatif. Sedemikian rupa, sehingga tidak terkesan murahan. Jujur. Unsur itu yang membuat cerita semakin seru untuk terus diikuti. Sampai tamat.
Itu sebabnya, saya hanya berani menulis NOVEL berlatar SEJARAH. Bukan sejarah murni. Sebab ada potongan-potongan dari 3 wajib itu yang belum bisa dibuktikan dan dirangkai dalam sebuah narasi yang sitematis, metodis, koheren, dan dapat dipertanggungjawabkan (kebenarannya).
Seorang penulis sejati, harus menjadi diri sendiri. Menemukan gaya dan fokus. Itulah diferensiasi. Itulah branding. Itulah pula apa yang disebut dengan "core competence".
Ia bukan seorang pengikut, melainkan penobrak. Ia akan mengasah kemampuannya dengan mengoleksi dan membaca sebanyak-banyaknya apa yang menjadi VAK-nya. Saya ingin mendalami novel-sejarah. Saya wajib memamah-biaknya. Membaca. Dan mempelajari BAGAIMANA orang menulis novel sejarah.
Saya lalu ingin tahu: mana Novel perdana di Nusantara?
Ternyata, genrenya: novel sejarah. Terbit tahun 1886.
Jadi, jauh hari sebelum Balai Pustaka. Kategori: Sastra Melayu-Tionghoa.
***
Saya ingin berbagi.
Fiksi pun, ternyata, bisa membuat banyak orang sarjana. Lebih tiga orang menjadi S-1 karena meneliti novel Ngayau. Maria Fransiska, mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Prodi Sastra Indonesia. Perempuan Dayak ini menjadi sarjana dengan skripsi berjudul "Unsur Budaya Dayak dan Tionghoa dalam Novel Ngayau".
Bahkan, seorang S-2, Saptiana Sulastri. Ia kini dosen IKIP PGRI Pontianak. Menjadi sarjana bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia karena meneliti "Nilai-nilai Budaya suku bangsa Dayak dalam Novel Keling Kumang."
Hal itu akan saya ulas pada tulisan terpisah. Nanti.