Literasi

Jejak Peradaban Menulis di Tatar Sunda (3): Tokoh Literasi dari Cirebon Abad 17

Sabtu, 23 Januari 2021, 20:32 WIB
Dibaca 680
Jejak Peradaban Menulis di Tatar Sunda (3): Tokoh Literasi dari Cirebon Abad 17
Ilustrasi naskah Wangsakerta

Dodi Mawardi

Penulis senior

Ilustrasi Karya Pangeran Wangsakerta Tokoh Literasi Cirebon Abad ke-17

 

----------

 

Sejak remaja semasa duduk di bangku SMP, saya sudah diajak berkeliling ziarah oleh keluarga, terutama oleh Uwa sekaligus guru mengaji Ustaz Ahmad Mansyur ke berbagai tempat. Paling banyak tentu di sekitar Jakarta, Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan seputaran Jawa Barat serta Banten. Beranjak dewasa lokasi berkeliling ziarah meluas sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ingatan ke tempat-tempat tersebut melekat sampai sekarang, termasuk Cirebon.

 

Jika bicara tentang Cirebon, di kepala saya selalu terbayang kompleks pemakanan Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo. Berada di suatu dataran tinggi di pinggiran kota Cirebon, di samping jalan raya lama menuju Indramayu. Jalan itu adalah hasil proyek Anyer – Panarukan buatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Deandles yang terkenal itu. Suatu kawasan yang lebih tinggi dibanding lahan sekitarnya yang tak tampak sebagai bukit karena sudah banyak sekali bangunan yang berdiri di pintu masuk pemakanan. Kompleks pemakanan yang selalu ramai pengunjung. Setiap hari, setiap saat. Nyaris tiada henti..

Di situlah, para pangeran dan keluarga mantan penguasa Kesultanan Cirebon bermakam dalam keabadian. Untuk mencapai makan sang Sunan, kita harus naik sampai ke puncaknya. Saya sudah lebih dari dua kali ke sana.  

 

Sungguh tak menyangka bahwa di kompleks pemakaman ini juga bersemayam seorang pangeran yang gemar menulis. Bahkan boleh disebut sebagai penggerak literasi di Jawa Barat pada masanya, khususnya pada bidang sejarah. Namanya Pangeran Wangsakerta, salah seorang ningrat Cirebon yang justru lebih sibuk berliterasi dibanding berpolitik.

Buku karya Pangeran Wangsakerta berjudul “Pustaka Nagara Kretabhumi”  menjadi referensi dari karya-karya setelahnya. Pangeran Wangsakerta menyelesaikan naskah itu pada tahun 1680-an (abad ke-17). Pangeran Arya juga dari Cirebon penulis buku “Carita Purwaka Caruban Nagari” (tahun 1720 M) menuliskan karya Wangsakerta sebagai sumber bacaan. Begitu pula dalam buku  “Pustaka Pakungwati Cirebon” karya Wangsamanggala (tahun 1779 M).

Namun sayang sekali, naskah asli buku karya Pangeran Wangsakerta masih menjadi kontroversi sejak ditemukan dan dikumpulkan oleh drs. Atja (sejarawan Sunda) pada tahun 1980-an. Para ahli sejarah baik di Indonesia maupun mencanegara meragukan naskah yang terkumpul tersebut karena dianggap terlalu lengkap dan maju dibanding zamannya. Bahkan sebagiannya menganggap naskah itu palsu. Akan tetapi, tak sedikit juga yang mempercayainya dan menjadikannya sebagai rujukan. Pun naskah tersebut tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan. Silakan tulis judul buku ini dan berselancarlah di laman situs Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia. Jangan lupa jadi anggota ya. Sedangkan di Museum Sri Baduga Bandung tersimpan jilid 1-4 buku tersebut.

Baca juga: Jejak Peradaban Menulis di Tatar Sunda (1) 

Dalam karya yang masih kontroversial itulah, tertulis sejarah Nusantara sejak berabad-abad sebelumnya, termasuk mencantumkan Kerajaan Salakanagara sebagai kerajaan pertama di Indonesia yang berdiri pada abad ke-2. Dua abad sebelum lahirnya Kutai Kertanegara dan Tarumanagara. Lokasinya di sekitar kota Pandeglang Banten. Legenda Aki Tirem yang dianggap sebagai leluhur Nusantara berasal dari karya tersebut. Buku ini juga berisi kisah yang cukup lengkap tentang sejarah di beberapa daerah seperti Babad Banten, Babad Banyumas, dan sejarah daerah lainnya.

 

Ok, lupakan kontroversi penemuan karyanya. Yang pasti, catatan lain menyebutkan bahwa Pangeran Wangsakerta adalah pegiat literasi dan memang benar menulis buku tersebut. Bahkan ketika para pangeran lain lebih mendahulukan urusan politik dan kekuasaan, dia tak. Dia justru mengumpulkan banyak orang dari berbagai wilayah untuk menulis sejarah Nusantara.

Tentu saja, cara berpikir sang pangeran melampaui masanya. Jangankan zaman itu, pada era sekarang pun tak banyak orang yang peduli literasi, apalagi menulis sejarah Nusantara. Padahal, sudah terbukti di seluruh dunia sejak dulu sampai skearang, bahwa literasi menjadi salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa.

 

Kini, setiap kali saya berkunjung ke Cirebon, yang saya ingat bukan hanya empal gentong dan nasi jamblang. Bukan pula batik Trusmi. Di samping menghormati perjuangan Sunan Gunung Jati, juga membayangkan jejak literasi yang dilakukan oleh Pangeran Wangsakerta.

Baca juga: Jejak Peradaban Menulis di Tatar Sunda (2) 

***